Cerpen

Ziarah

karya Adi Zamzam

Suara gemuruh itu mengagetkan Nono yang tengah memunguti perangkap kepiting yang ia pasang kemarin sore. Kedua matanya langsung mengawasi pergerakan air. Suara kecipak air beradu dengan akar-akar bakau kembali terdengar jelas setelah gemuruh yang mengagetkannya menghilang.

“Satu lagi yang kalah dan tumbang,” batin Nono, sebelum beralih memandangi rumahnya yang tak jauh dari posisinya. Rumah itu tampak tua, lelah, dan kesepian.

Cahaya pagi menerobos celah-celah bakau. Namun, di sepanjang kanal yang memisahkan Nono dari rumah, bias cahaya itu tetap menyilaukan juga.

Satu perangkap ia angkat. Satu-dua kepiting bakau membuat kantuknya menghilang. Sesekali pandangannya kosong menembus jauh ke dalam air payau yang keruh, sesekali juga jauh menelusup di antara barisan acak pohon bakau.

Dalam kesunyian itu, kadang Nono seperti mendengar suara bus, meski sadar bus-bus itu tak lagi ada. Namun, kadang kala Nono ingin menikmati kenangan itu; saat air tawar dan air asin damai berdampingan. Sewaktu Bedono masih dikelilingi sawah dan pantainya ramai pengunjung yang sekadar ingin menikmati kuliner. Dan, ia begitu penuh semangat menjajakan aneka olahan hasil laut kepada mereka. Beberapa bahkan menjadi pelanggan tetap.

Dari situlah sejarahnya dengan Marni bermula. Ia memberanikan diri melamar Marni, meski perekonomiannya belum jaya. Bermodal niat, keyakinan, dan kepercayaan Marni, ia pun menghadap calon mertua.

Nono tidak pandai memoles diri dengan omongan. Ia pesimistis ketika bapak Marni menyuruhnya pulang dan menunggu jawaban sepekan kemudian.

Nono ingin membeli sepeda sebagai bukti ia punya penghasilan. Namun Marni melarang. Lebih baik menabung untuk membangun rumah. Lihatlah, saudara Marni banyak. Kalau tak memisahkan diri dari orang tua, mereka tak akan mendapatkan keleluasaan penuh.

“Lalu mengapa bapakmu menyuruh menunggu jawaban?”

Marni menjawab, “Bukankah itu lumrah?”

Namun, Nono stres saat mendengar selentingan kabar, Pak Zamroni ingin menawarkan anak mbarep dulu. Perempuan jika sudah dilangkahi adik perempuannya, bisa tak laku-laku nanti.

Dan, kekhawatiran Nono ternyata benar. Ia ditawari mengambil kakak Marni saja. Nono terdiam hingga pulang.

Nono tak berani lagi datang ke rumah Marni. Ia berharap segera ada lelaki lain yang datang untuk melamar mbakyu Marni. Sampai gantian Marni yang mendatanginya.

“Sebenarnya Bapak hanya menguji kesungguhanmu denganku. Datanglah lagi. Lalu bilang lagi,” kata Marni menyemangati.

Nono lega. Bukan hanya lantaran ia telah mengetahui ujian dari calon mertuanya itu. Hikmahnya, ia jadi tahu kesungguhan Marni. Inilah yang kemudian ia sebut berjodoh. Dan, mereka pun akhirnya menikah.

Saat itu pantai masih jauh, dan malam-malam tak pernah dihantui kecemasan seperti sekarang.

Rumah itu ia bangun justru ketika sadar pantai itu mendekat. Semua orang kebingungan. Dan, setiap hari mereka berusaha melawan dengan aneka benda yang bisa dijadikan bendungan lantaran membeli tanah uruk butuh biaya besar.

“Kita bangun sajalah, Kang. Pantai kan memang begitu, maju-mundur. Kalau ndak mulai sekarang, nanti malah ndak jadi-jadi,” ujar Marni ketika Nono didera kekhawatiran akan fenomena itu.

Pantai sudah jelas bergerak mendekati perkampungan.

Mereka pun sepakat membangun rumah. Berusaha merajut kebahagiaan, meski enam tahun bersama belum juga dikaruniai keturunan. Nono pun berpikir, sepertinya cobaan hidup naik selevel demi selevel mengikuti umur.

Dulu, saat membayangkan bisa membangun rumah sendiri, kebahagiaan akan sempurna di hati Nono. Ia yatim sejak kecil. Sementara ketiga saudaranya terpencar setelah masing-masing diadopsi orang. Bapaknya tak pernah pulang dari melaut saat umurnya masih tujuh. Ia bahkan belum paham apa arti air mata emaknya yang keluar tiap kali memandangi keempat anaknya saat makan bersama berlauk ikan asin buatan sendiri. Makan yang lebih sering dua kali sehari.

Bisa membangun rumah adalah kemewahan tersendiri bagi Nono. Setidaknya ia tidak mengecewakan dan bisa membuktikan diri di hadapan mertua. Meski kesunyian kemudian menjadi musuh tersendiri yang harus ia terima dan hadapi.

***

Nono mendapati kepulangan Marni kala jelang siang.

“Hari ini semua kepiting habis lagi, diborong juragan rumah makan dari Kudus.”

Seperti biasa, tak ada keluhan. Setelah membongkar oleh-oleh dari pasar, ia ganti menjenguk keranjang penghasilan Nono. Bila penghasilan Nono terlalu sedikit, biasanya Marni akan gegas ke rumah Supri atau Ujang untuk menanyakan apakah mereka punya barang (bisa kepiting, kerang, atau ikan-ikan) berlebih untuk dijual besok pagi. Dulu mereka bertetangga, kemudian hijrah ke kampung tetangga yang masih utuh daratan.

“Airnya tambah keruh. Dan sepertinya ucapan mahasiswa dari Semarang itu benar. Laut akan bertambah tinggi terus,” sahut Nono setelah mengambilkan cerek berisi air minum untuk istrinya.

“Tadi aku melihat orang-orang kampung yang sudah diajari cara mengolah buah bakau. Jenang dan sirup bikinan mereka laris sekali. Aku jadi ingat waktu kau kali pertama membuat kerupuk tengiri dulu.”

Marni menyandarkan punggung ke tembok rumah. Genangan air hanya setengah meteran dari ujung kakinya.

Percakapan yang tidak nyambung. Namun kalian sepenuhnya mengerti itu sekadar usaha mengelabui sunyi yang menyelinap di antara suara kecipak air, desau angin, dan sesekali kicau burung-burung yang singgah di sesela bakau.

“Aku tadi dikasih jenang buatan Ikah. Sisanya aku kasihkan si Endut, anak Pat. Lucu sekali anak itu. Sayang dia nangis mulu kalau mau kuajak ke sini. Takut setan, katanya. Ha-ha-ha, entah siapa yang mengajari.”

Nono mengerti maksud kalimat itu. Ia juga suka pada Gimbut, anak Mugni. Sama saja. Anak itu juga takut diajak ke sini. Takut genderuwo, katanya.

“Aku jadi ingin tahu apa yang mereka buat. Orang-orang PKK kan? Siapa tahu aku bisa bikin,” ujar Nono, yang lalu memangku keranjang yang sudah kosong. Semua kepiting yang diikat sudah dikelompok-kelompokkan berdasar ukuran.

“Buat apa sih, Pak?” potong Marni dengan nada malas.

Nono memandang istrinya. Heran. Kemudian beralih ke deretan pohon bakau. Hanya sisa bangunan-bangunan tua yang harus berjuang melawan korosi air laut. Padahal, dua puluh lima tahun silam Nono masih bisa bercengkerama dengan banyak tetangga di teras rumah ini. Dan, suara bus itu bukanlah hal yang absurd, seperti sekarang.

***

Nono tersentak bangun ketika suara kecipak air memenuhi semesta pendengarannya. Ia pikir air hanya menggempur habis-habisan dinding samping rumah seperti biasa. Namun, entah bagaimana tiba-tiba ia sudah terkepung air. Nono terapung-apung seorang diri di tengah lautan lepas.

“Marnii!” teriaknya begitu teringat sang istri.

Berbekal satu dayung, Nono melajukan perahu dengan kalap, tanpa tujuan.

“Marnii!” teriaknya lagi, tak kuasa membendung kedatangan kenangan-kenangan.

“Apa yang akan kita lakukan andai kampung kita benar-benar tenggelam?”

“Kang Nono omong apa sih? Kalau kampung kita tenggelam, berarti akan ada banjir besar. Dan itu berarti….”

“Takkah kaulihat itu, air laut terus saja mendekat.”

“Orang-orang sudah melawan.”

“Apa? Hanya dengan tumpukan karung pasir, batako, kayu, dan sampah-sampah begitu?”

“Lantas harus dengan apa? Apa lebih baik jual rumah tanah seperti yang lain?”

“Kenapa tak mau?”

“Bapak-ibuku dan sebagian besar keluargaku dimakamkan di sini. Lagipula, siapa mau beli?”

Hening.

Entah sudah berapa lama Nono terlelap di dalam perahu. Ia merasa aneh ketika sejauh ia mendayung perahu, daratan tak juga tertangkap mata. Hingga ia kelelahan. Dan, suara Marni menyeruak lagi.

“Masa depan apa sih, Kang?”

“Masa kamu tidak ingin hidup bahagia, seperti orang-orang?”

“Aku sudah cukup!”

***

Nono tersentak kaget ketika bangun dalam keadaan basah. Air pasang ternyata telah membasahi lantai rumah.

“Bangun, Mar! Ayo bangun!”

O, nikmat apa yang mampu membuatnya tidur sepulas dan selama tadi? Matahari bahkan sudah sempurna tenggelam. Nanti sajalah urusan mandi. Seperti dua hari sebelumnya, ia harus mendahulukan semua perabot rumah sebelum semua diporandakan air laut yang lancang masuk rumah. Saat melewati galengan yang ia buat menuju kanal utama, air telah melewati lutut.

Hampir satu jam semua perabot yang ia punya akhirnya beralih ke atas perahu. Siluet  di atas perahu menyatu dengan bayang-bayang pepohonan bakau.

“Tak ada lagi yang tertinggal kan?” tanya Nono.

Setelah memeriksa kekuatan tali yang mengikat perahu ke sebuah pohon bakau, Nono pun kembali ke dalam rumah. Ia pandangi setiap inci dengan penuh kerinduan. Pun dengan sosok yang tak bisa lagi ia jumpai di situ, meski suaranya masih bisa ia dengar setiap saat, setiap kali ingin.

Seperti tiga hari yang sudah berjalan, beranjak malam adalah waktu ia meninggalkan tempat penuh kenangan itu. Di depan dua pasang patok pinus laut yang tertancap cukup dalam di samping rumah, ia menyandarkan perahu sejenak di situ. Itulah nisan ketiga setelah dua nisan sebelumnya menghumus di dalam laut.

“Aku pergi dulu, Mar. Besok aku pasti kembali,” ujarnya sembari membelokkan perahu. “Tidak, aku tidak pernah meninggalkanmu,” ujarnya kemudian, sembari mengayuh perahu pelan, sepelan air matanya yang diam-diam meleleh tanpa kendali.

“Di rumah inilah kita sama-sama pernah menanam cita-cita bersama,” sambungnya. Perih. “Kenangan yang layak diziarahi setiap hari.”

Dia berusaha kembali tegar, untuk terus mengayuh perahu, menuju daratan.

 

Jepara-Demak, 2018-2021

 

Catatan:

Anak mbarep: anak sulung

Galengan: pematang; berfungsi sebagai tanggul.

 

Adi Zamzam adalah nama pena Nur Hadi, kelahiran Jepara, 1 Januari 1982, yang tinggal RT 11 RW 03 Desa Banyuputih, Gang Masjid Baitush Shamad, Kalinyamatan Jepara. Tulisannya bisa dibaca di blog pribadi, Langitsemestacerita.blogspot.com. Cerpennya dimuat di berbagai media massa. Dia menulis cerita bersambung di Majalah Kartini, Femina, dan Annida-Online. Dia juga menulis puisi, resensi buku, opini, dan esai di berbagai media. Bersama kawan-kawan, saat ini aktif di sekolah kepenulisan Akademi Menulis Jepara. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit  Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya (UNSA Press, 2016), Menunggu Musim Kupu-kupu (Basabasi/Diva Press Grup, 2018), Hanya Firman Tuhan (SIP Publishing, 2021), sedangkan novelnya Persembahan Teruntuk Bapak (Diva Press, 2017) dan Melihat (Bhuana Sastra, Bhuana Ilmu Populer, 2017).

 

Leave a Reply