Cerpen

Sejarah Harapan

karya Risen Dhawuh Abdullah

Tidak bisa kubayangkan bagaimana jika nanti Liza benar-benar berangkat. Semalam kami berdebat hebat, mempermasalahkan keinginannya. Ia belum kuberi lampu hijau.

Setelah perselisihan itu Liza tidur bersama Azka, anakku satu-satunya. Aku sendirian di kamar dan baru bisa terpejam pukul tiga pagi.

“Tentu aku tahu apa yang harus kulakukan sebagai tenaga medis,” kata Liza. Ucapannya seakan-akan mengandung makna aku bodoh dalam melihat statusnya yang sebagai perawat. “Kalau bukan tenaga medis, siapa lagi yang mau menangani?”

“Tidak harus kamu! Tolong pikirkan lagi masak-masak. Azka masih enam tahun. Peran ibu bagi anak lebih krusial daripada ayahnya,” kataku merendahkan nada suara di akhir ucapan dan menatapnya lekat-lekat.

“Tapi aku juga merasa terpanggil. Kalau menutup mata atas keadaan ini, aku berdosa karena jelas-jelas aku mampu mengambil andil,” suara Liza hampir tidak terdengar di akhir perkataan. “Mas bilang, kita harus menolong jika ada yang membutuhkan uluran tangan kita.”

“Iya. Masalahnya yang ini harus berhadapan dengan maut. Bercerminlah pada bukti-bukti yang ada, banyak tenaga medis gugur. Itu artinya apa? Mereka tidak bisa memberikan jaminan terhadap diri sendiri bahwa mereka aman,” ucapku.

“Justru berhadapan dengan maut itulah aku harus di sana!”

Liza bersimpuh kepadaku sembari menangis. Ia berkata jika aku mengizinkan dengan ikhlas, keadaan akan baik-baik saja. Ia berjanji pasti akan pulang.

Beberapa saat kemudian aku mendengar tangisan anakku. Rupa-rupanya suaraku dan istriku telah membangunkannya. Entah perasaaan semacam apa yang menyelimutinya, hingga ia menangis. Selama kami menikah, pertengkaran paling dahsyat ialah pertengkaran semalam.

Rupanya Liza tidak bisa memahami pengertianku. Ia berlalu ke kamar Azka, setelah merasa tidak mampu melawanku.

Gerah menghinggapiku. Kubuka jendela. Dalam sekejap angin malam langsung menusuk tulang. Aku mencoba bertahan, hingga gerahku hilang.

Sejujurnya hati kecilku berat melepaskannya pergi. Maksudku, aku menyuruhnya memikirkan masak-masak keinginan itu bukan serta-merta karena Azka. Anak itu hanya kugunakan sebagai topeng alasan. Sejatinya yang takut akan kenyataan pahit itu aku.

Usia pernikahan kami baru delapan tahun, waktu yang masih terlampau singkat untuk ukuran sebuah hubungan rumah tangga. Wajar jika pikiranku bermuara kepada hal yang sama sekali tidak kuinginkan.

Setiap hari aku mengikuti berita virus Covid-19 yang telah menyebar di berbagai negara. Di negara-negara lain, di Negeri Piza misalnya, banyak tenaga medis yang tumbang. Mereka terpapar dan bahkan tidak hanya satu-dua orang yang mati. Keadaan itu membuat beberapa negara mengambil kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Bagaimana dengan negeri ini?

Kurasakan sekujur tubuhku pegal-pegal ketika mataku menerang. Aku bangkit dari telentang. Dengan pandangan belum sempurna, kubuka jendela. Aku kembali duduk di tepi ranjang, lalu mengarahkan kepala ke jam dinding. Pukul setengah tujuh. Tidak biasa aku bangun kesiangan. Aku segera teringat dengan pertengkaran semalam. Keributan itu yang menyebabkan aku kesiangan.

Saat aku keluar, tidak tampak istri dan anakku di ruang tamu. Di dapur juga tidak ada orang. Agaknya Liza telah berangkat mengantarkan Azka ke sekolah. Kemarin Azka berkata esok harus ke sekolah untuk menyerahkan tugas yang dikirim guru via Whatsapp.

Aku mencium bau makanan. Kubuka tudung saji. Sepiring piza mi instan, sebakul nasi, semangkuk sayur sup, dan sepiring buah melon diiris kecil-kecil. Aku duduk dan memperhatikan piza mi instan. Itu menu kesukaanku.

Aku sudah lupa kapan bilang ke Liza, aku menginginkan hidangan itu dan ia tidak kunjung menurutiku. Kini setelah sekian lama penantianku, Liza memasakkan untukku. Padahal kami sedang….

Aku salut dan memujinya. Perempuan itu memang pantas kupuji. Kasih sayangnya tidak luntur sedikit pun walau kami sedang bertengkar. Mungkin istri-istri temanku tidak akan mau memasak jika mereka sedang marahan. Liza luar biasa. Ahh, romantis sekali rasanya. Menaruh perhatian dalam keadaan hati tidak kondusif. Sungguh.

Tiba-tiba aku berdiri. Berlalu ke kamar. Aku tidak akan menikmati masakan itu. Jelas ada semacam perasaan gengsi menguasai. Di sisi lain, biar aku terlihat tidak main-main dalam menghadapi masalah ini di hadapan Liza.

Namun aku tidak menyadari. Tindakanku justru memperlihatkan kebodohanku. Liza baru menampakkan diri saat aku asyik bermain hp, membalas pesan rekan kerja — keasyikan dengan hp membuatku tidak mendengar suara sepeda motornya.

Ia menanyaiku, mengapa tidak makan.

“Memang kamu masak?” tanyaku dengan dingin tanpa melempar pandang ke arahnya.

“Lo, Mas gimana? Kok lucu?”

“Apa yang gimana?”

“Mengapa bertanya seperti itu? Mas sudah tahu kan aku masak? Makanan di dapur tidak tertutup tudung. Siapa yang membuka kalau bukan Mas?”

Ibarat catur, aku terkena skakmat! Seharusnya aku mengembalikan tudung itu ke tempat semula. Aku malu tidak berhasil berpura-pura.

Perempuan itu mendekatiku. Tangan kirinya melingkar ke leherku. Ia tersenyum.

“Baru kali ini Mas tidak berkata terus terang. Setahuku, Mas tidak pernah begitu sekalipun sedang marah.”

Liza pun meminta maaf kepadaku atas apa yang terjadi semalam. Aku tidak langsung menanggapi. Kuresapi setiap ucapannya. Ia beberapa kali menyebut Azka, kemudian menyangkut-pautkan dengan apa yang terjadi pada hari-harinya bila ia pergi. Dalam ujarannya, Liza bisa memahami apa yang menjadi kegelisahanku. Hanya, aku merasa di sela-sela setiap katanya, ada harapan kecil yang ia sematkan. Ia masih berharap aku mengizinkannya pergi.

Permintaan maafnya mengundang kebimbangan. Aku tidak pernah tidak mengabulkan apa yang Liza inginkan, jika ia sudah merendah begitu. Ia berbicara seakan-akan sudah kalah dan menyerah.

Kami kembali tidur bersama. Saat Liza sudah terpejam, aku tidak dapat terpejam. Aku baru bisa terpejam sekitar dua jam kemudian.

Hal itu terulang hingga seminggu. Liza tidak pernah mengetahui. Dan, aku juga tidak bercerita padanya mengenai apa yang terjadi. Semenjak pertengkaran itu hingga kini, aku terus terbayang-bayang dengan keinginan Liza untuk pergi ke Ibu Kota — ke rumah sakit yang baru saja didirikan khusus untuk menangani pasien terpapar korona.

Selama itu pula aku tidak menyentuhnya. Keyakinanku akan harapan Liza yang masih ada makin kuat, karena ia tidak berusaha menggodaku atau merajuk. Mungkin untuk ukuran suami-istri, itu dianggap aneh, tetapi itulah kenyataannya.

Liza melewati hari-hari tanpa beban. Ia makin khusyuk menyimak berita penyebaran virus Covid-19 yang telah dinyatakan sebagai pandemi. Sementara aku seperti berada di sebuah ruangan sempit tanpa pintu; di situ aku disiksa cambuk oleh Liza dan Azka menyaksikan tanpa daya.

Haruskah aku melepaskan?

Azka pernah kutanya apabila Liza pergi. Kuterangkan segala hal tentang virus yang telah memakan banyak korban itu. Tidak luput juga kupaparkan dunia rumah sakit, tenaga medis, dan segala tetek-bengeknya. Tentu obrolan itu tidak diketahui Liza. Jawaban bocah itu di luar dugaanku. Bahkan aku berkali-ulang memastikan.

“Sekarang Azka memang bisa bilang Bunda boleh pergi. Tapi besok? Azka tidak kangen? Bunda lama lo perginya, kalau Azka perbolehkan.” Aku memang sengaja meneror, dengan harap Azka mengubah isi kepalanya.

Anak kecil sering berubah pikiran, apalagi melihat situasi lapangan yang tidak sesuai dengan keinginan. Apalagi ini menyangkut hari-harinya yang tidak berdampingan dengan ibunya. Paling-paling baru dua hari ditinggal, Azka sudah rindu.

Rasa-rasanya aku belum siap untuk itu; menghadapi tangisannya dengan penuh kesabaran. Liza, mengapa rasa ingin menolongmu begitu menggebu-gebu?

Jiwa Liza memang demikian. Saat masih berjibaku di bangku sekolah dan kuliah, Liza terlibat banyak kegiatan yang berhubungan dengan kemanusiaan. Keterangan itu kudapatkan saat kami masih berpacaran. Hal itu pula yang makin membuatku mengaguminya. Bahkan saat kami sudah berumah tangga, Liza masih menyempatkan diri di tengah kesibukannya. Aku sering tidak habis pikir. Perempuan itu seperti tidak punya lelah.

Terlepas dari keinginannya, sempat juga tebersit dalam benak, apa Liza tidak takut suatu hal yang dapat menjerumuskannya ke jurang kekecewaan? Sebegitu besarkah rasa kemanusiaannya, hingga membutakan hati? Kepergian Liza bisa memberiku kebebasan. Aku bisa saja menyeleweng dengan rapi dan bebas. Azka sangat mudah diatasi. Jika ketahuan? Mungkin aku tidak akan mengelak. Aku bisa saja menyalahkan Liza telah mengambil keputusan itu.

Tiba-tiba saja aku merasa bersalah dan cepat-cepat menyebut nama Tuhan. Selama ini aku tidak pernah mempunyai pikiran macam itu. Aku mengambil air wudu dan segera beribadah.

Aku sudah mengambil keputusan. Segala kemungkinan buruk akan kuhadapi, termasuk yang terjadi pada Azka nantinya. Sebelum kami tidur, aku memperhatikan istriku dengan bibir tersenyum. Kusibak sebagian rambutnya di depan wajah. Di atas ranjang, kami terbaring miring dan berhadap-hadapan.

Sebagaimana yang kuduga, ia heran dan menanyaiku, mengapa menatapku seperti itu? Aku tidak menjawab dan mengalihkan pada apa yang akan kubicarakan padanya. Mula-mula aku menanyakan kabar rumah sakit di mana ia bekerja; rumah sakitnya tidak digunakan sebagai rujukan pasien terpapar korona. Lalu setelah panjang-lebar, aku mengingatkannya akan keinginannya yang terdahulu.

“Berangkatlah. Doaku akan selalu menyertaimu,” kataku penuh kemantapan.

Liza berkaca-kaca, tidak percaya. Aku memeluknya. Ada semacam getaran kurasakan. Barangkali inilah kebahagiaan. Liza begitu bahagia dan terus mengucap terima kasih. Ia sama sekali tidak menyinggung Azka usai kuberi izin untuk pergi ke Ibu Kota.

“Rumah sakit itu sangat membutuhkan tenaga medis. Tepat jika kamu datang ke sana,” ucapku menyeka air matanya.

Aku berdoa supaya perjalanan Liza dan apa yang hendak dia lakukan dihitung sebagai amal ibadah oleh Tuhan. Jelang kepergiannya, Liza murung. Aku terus mendorongnya untuk menghilangkan keraguan itu. Aku juga menguatkan diriku sendiri.

Akhirnya Liza benar-benar pergi. Di tempat kerja barunya, ia mempertaruhkan nyawa.

Komunikasi terus terjalin. Liza selalu menyempatkan diri menelepon ataupun video call sebelum beristirahat dengan penuh. Pada bulan pertama Azka tidak terlalu rewel. Pada bulan kedua setelah kepergian Liza, bocah itu menanyakan kapan Liza pulang. Pada bulan ketiga pertanyaan kapan istriku pulang masih menghiasi. Bulan keempat Azka menangis. Bulan kelima pun juga. Liza ikut-ikutan menangis. Liza mengeluhkan keadaan. Pasien terus berdatangan. Waktu istirahat sering terpotong. Rindu menggunung.

Hingga bulan kedelapan Liza belum juga pulang. Ia takut jika pulang akan membawa hal buruk baginya dan Azka.

Sementara itu, selama pandemi, aku menjadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Pembelajaran kuliah berlangsung secara online; aku mengajar dari rumah. Hal baiknya, aku menjadi lebih mudah mengawasi Azka.

Sebelum Liza pergi, kakakku bilang jika sedang ada urusan yang mengharuskan keluar rumah, aku boleh menitipkan Azka padanya.

Tidak jarang, setiap aku komunikasi, Liza menyesali keputusannya meninggalkan rumah. Ia tidak kunjung mempunyai kesempatan untuk pulang. Berkali-ulang ia meminta maaf padaku atas apa yang telah dia putuskan. “Tidak perlu ada yang dimaafkan,” kataku.

Akhirnya ia tidak berdaya di hadapan rindu. Pun aku, juga Azka. Suatu kali ia pernah akan nekat pulang. Aku melarang. Itu bukan solusi yang tepat untuk mengatasi rindu. Lagipula telanjur basah. Kusuruh ia menuntaskan tugas. Mungkin hingga pandemi selesai.

Ah, apa aku sanggup menghadapi jika benar begitu? Aku tidak bisa membohongi diri, aku sebetulnya juga rapuh.

Pasien-pasien terus berdatangan. Presiden telah mengumumkan tenaga medis adalah sasaran utama penerima vaksin. Mendengar berita itu, aku bak musafir yang menemukan mata air di tengah gurun padang pasir. Peluang Liza terpapar mengecil dengan adanya vaksin. Artinya keselamatan Liza makin terjamin. Ia bisa pulang suatu saat. Aku mengangan-angankan kepulangannya. Terbayang, begitu pintu terbuka, Liza langsung memelukku. Tangisnya menjadi-jadi, seakan kami tidak mau saling lepas. Dan Azka? Ia tidak akan bisa membuat Liza tidur, sebab terus mengajaknya bicara, berpelukan, bermain, atau mengajarinya saat belajar.

Puncaknya, siang ini Liza mengabariku ia sudah disuntik vaksin. Sebelum itu ia telah melakukan tes swab dan hasilnya negatif. Aku gembira sekali. Barangkali kegembiraan itu setara rasa gembira atas kelahiran Azka. Kepulangan Liza tinggal menunggu waktu. Harapan terus membesar.

Kuberitahukan hal itu pada Azka: Bunda akan baik-baik saja. Ia tidak akan terpapar virus Covid-19. Aku tidak menyampaikan padanya kapan Liza pulang. Namun kemudian yang terjadi di luar dugaanku. Sebulan setelah Liza divaksin, harapan yang kupupuk selama ini sirna begitu saja.

Malam ini gerah menguasaiku. Aku duduk di teras rumah sembari mengoreksi pekerjaan mahasiswa. Azka sudah terlelap. Aku tidak menyangka, saat mataku tidak sengaja melihat ke arah gerbang rumah. Di sana telah berdiri Liza. Ia tersenyum. Spontan aku berdiri dan meneriakkan namanya. Saat aku hendak melangkah, tiada siapa-siapa di depan gerbang.

Aku membuka gerbang dan menoleh ke sana-kemari. Tidak ada orang. Pintu rumah-rumah tetanggaku sudah tertutup, jadi aku tidak dapat bertanya.

“Mungkin hanya halusinasi,” pikirku, setelah menunggu di depan gerbang tetap tidak ada siapa-siapa. Aku ke dalam, Liza video call. Dengan gemetar aku mengangkat. Liza sesenggukan.

“Aku terpapar korona, Mas.”

Ucapan singkat, tapi cukup membuat telingaku sakit. Jantungku berdegup sangat hebat. Aku pastikan lagi kata-katanya. Liza tidak main-main.

“Aku awalnya tidak percaya. Walaupun sudah divaksin, aku terus menerapkan protokol kesehatan tenaga medis.”

Liza mau tidak mau harus dirawat. Ia sudah meminta tolong rekannya agar memberi kabar mengenai perkembangannya. Sepanjang malam aku terus menggelar sajadah dan salat tahajud. Aku memohon ampun atas segala dosaku. Kemudian mendoakan Liza agar ia diberi kelancaran dalam perawatan sehingga ia bisa sembuh seperti sediakala.

Hpku berdering. Di layar hp tertulis Fitri. Rekan Liza.

“Bagaimana, Mbak?”

“Keadaan Liza menurun, Pak.”

Lemaslah sekujur tubuhku. Harapan yang kurawat perlawan terkikis oleh kenyataan. Kali ini air mataku tidak dapat kubendung. Aku langsung menutup telepon tanpa berkata-kata. Senyum Liza terlukis.

Bagaimana caranya aku mengatakan ini kepada Azka? Padahal aku telah membesarkan harapannya. Aku tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Aku hanya bisa duduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dengan hati perih.

 

Jejak Imaji, 2021

 

 

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit kumpulan cerpen Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.

 

Leave a Reply