Esai

Sastra Pencerahan

Wawancara Abdul Wachid BS

Mula-mula, kami mengucapkan selamat kepada Bapak karena telah memenangi Penghargaan Mastera untuk kategori sastra nonkreatif pada tahun lalu atas karya Sastra Pencerahan yang terbit pada 2019.

Ya, terima kasih untuk itu.

Bisa diceritakan latar belakang penulisan buku itu, Pak?

Buku Sastra Pencerahan itu sebetulnya semula merupakan tiga buku, yaitu Sastra Melawan Slogan, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke Mustofa Bisri, dan Sastra Pencerahan. Nah, karena buku itu disatukan dan dengan rentang waktu yang juga agak lama (Sastra Melawan Slogan itu tahun 2000 terbit oleh Forum Kajian Budaya dan Agama di bawah pimpinan Prof. Dr. Amin Abdullah, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke Mustofa Bisri itu diterbitkan oleh Grafindo tahun 2005, dan Sastra Pencerahan terbit tahun 2006 oleh Sangka Publishing), buku tersebut sebenarnya atas permintaan penerbit Basabasi, Diva Press Group. Penerbit Basabasi.co itu meminta untuk diterbitkan, tetapi disatukan di bawah judul Sastra Pencerahan sehingga buku itu menjadi buku yang sangat tebal, 460 halaman.

Nah, adapun Sastra Melawan Slogan merupakan esai-esai saya yang sifatnya merespons kehidupan sosial-politik di Indonesia, tetapi dalam perspektif kesusastraan yang kebanyakan dengan objek material puisi. Jadi, saya melihat fenomena sosial itu dari puisi-puisi yang ditulis oleh kawan-kawan, mulai dari Wiji Thukul dan lain-lain. Nah, saya merespons juga mengenai pernyataan dari Kepala Seksi Penerangan di lingkungan TNI menyatakan bahwa sastra berpihak pada sosialisme-komunisme karena banyaknya diksi “rakyat”. Waktu itu saya jawab di Suara Merdeka, bukankah untuk menunjukkan nation state kita juga membutuhkan kata “rakyat Indonesia”. Lantas, apa gak boleh kita menggunakan kata “rakyat”? Kalau begitu berarti Hartoyo Andangdjaja dalam puisi “Raktjat”, rakyat adalah kita//jutaan tangan yang mengepal… dan seterusnya, ‘kan jadi masalah begitu ya? Ya, karena waktu itu represif sekali, saya tetap hati-hati, bersiasah, dan berstrategi guna menjembatani antara kepentingan susastra, dalam hal ini bagaimana respons-respons sastra terhadap fenomena-fenomena sosial itu bisa ada yang ngrewangi, ada kritik yang menyuarakan dari perspektif susastra itu sendiri, dengan (dalam hal ini face to face) negara.

Sekalipun, pada saat itu ya ketar-ketir (ha-ha-ha). Jadi, kalau dulu menulis, bisa enggak bisa tidur. Saya pernah ya, Mas, nulis puisi di Republika judulnya “Kisah Kursi Senja Hari” itu sampai saya membuat surat pembaca bahwa jika puisi itu bermasalah bagi “lembaga yang merasa terganggu”, anggap saja puisi itu tidak pernah terbit. Hal-hal itu sudah mulai diwaspadai pada tahun 1992-an, karena gerakan reformasi itu ‘kan embrionya sekitar 1991-an.

Kembali ke judul buku Sastra Pencerahan itu, Pak. Buku itu kan tadi sebenarnya gabungan antara Sastra Melawan Slogan, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke Mustofa Bisri, dan Sastra Pencerahan, mengapa judul Sastra Pencerahan yang dijadikan judul buku? Apa sih hubungan sastra dan pencerahan menurut Bapak Wahid?

Jadi, wacana-wacana respons sosial bagi saya penting untuk dikemukakan karena nantinya juga berdampak kepada buku yang kedua, yaitu membaca makna Membaca Makna dari Chairil Anwar ke Mustofa Bisri. Fenomena-fenomena kesusastraan Indonesia itu memang ada yang estetisme, tetapi juga ada yang menempatkan sastra sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Nah, itu di buku yang kedua saya membahas 15 penyair Indonesia. Jadi, itu terdiri atas 15 artikel. Di dalamnya, ada Joko Pinurbo, Dorothea, Chairil Anwar, dan Mustofa Bisri.

Kemudian, saya mengidentifikasi pemikiran-pemikiran yang muncul di dalam karya sastra Indonesia dan saya lihat bahwa sastra menjadi tempat atau cara untuk memahami realitas dalam rangka melakukan dazzling gitu. Saya melihat sosok itu, baik itu yang estetisme, baik itu yang menurut S.T. Alisyahbana dengan istilahnya sastra yang bertanggung jawab, sastra profetik, sufistik, dan seterusnya. Dari berbagai konsep itu, saya melihat benang merah bahwa semua karya sastra di Indonesia ini ada upaya untuk melakukan pencerahan, baik pencerahan yang bersifat individual, sosial, maupun kultural. Makanya kemudian, di samping juga konteks saat ini yang paling relevan,  kalau misalkan Sastra Melawan Slogan sudah tidak kontekstual dengan kondisi sekarang, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke Mustofa Bisri lebih karena analisis banget, ya Sastra Pencerahan lebih bisa “kena” semuanya. Maka, itu yang diangkat sebagai judul buku.

Salah satu bab buku tersebut mengungkapkan ekologi sastra. Bagaimana sih ekologi sastra yang sehat menurut Bapak?

Iya itu sampai hari ini sangat relevan. Di Indonesia itu banyak sekali orang menulis karya sastra,  khususnya menulis puisi. Akan tetapi, yang mengapresiasi karya sastra sedikit. Yang membaca dalam pengertian sebagai ahli–katakanlah yang membaca sungguh-sungguh— sedikit sekali. Padahal, harusnya karya sastra yang baik itu pasti meresonansi produktivitas. Kalau di dalam dunia sastra, seharusnya memunculkan kritik sastra.

Pada tingkat masyarakat, hasil karya sastra yang bagus ya memunculkan produktivitas kerohanian karena sastra itu memberikan deskripsi gambaran dan lukisan tentang, kalau saya menggunakan istilah dalam Alquran, yakni minadzulumati ilan nur ‘dari kegelapan menuju cahaya’. Nyaris, karya sastra yang bagus itu selalu memiliki kompleksitas itu. Bagaimana keluar dari “kegelapan”, kegelapan sosial, kegelapan budaya, kegelapan eksistensi manusia, menuju pada pencerahan, menuju pada cahaya, dan menuju pada jalan keluar. Karya sastra yang bagus selalu ada problematika demikian dan memunculkan daya kritis sehingga masyarakat menuliskannya. Akan tetapi, yang terjadi, dalam sastra Indonesia itu ada kesenjangan. Karya sastra terus ditulis, tapi kita tidak cukup gesit untuk membersamai karya sastra. Jadi, seperti itu. Harusnya dalam kondisi yang ideal itu tidak demikian.

Jadi, sekarang spesifiknya ini dulu, masyarakat akademisi sastra. Kita punya banyak fakultas sastra, pendidikan sastra, lulusannya pun juga banyak, tetapi mereka hanya menulis analisis karya sastra sebagai persyaratan kesarjanaan, kemudian selesai, dan ditaruh di perpustakaan atau di gudang. Yang bagus itu memunculkan apresiasi sastra karena itu memunculkan apresiasi, kemudian value atau ‘penilaian’, kemudian judgement atau ‘penghakiman’. Inilah esensi dari kritik sastra. Kritik sastra yang bagus itu bukan hanya bersifat apresiatif, melainkan harus ada penilaian.

Penilaian membutuhkan perbandingan. Perbandingan membutuhkan standardisasi. Standardisasi berarti suatu kesepakatan (konvensi) yang bisa dijadikan tolok ukur dalam menilai, sekalipun karya sastra yang bagus itu senantiasa berdiri di antara kebaruan, konvensi, dan inovasi. Kalau ada puisi yang sifatnya itu hanya konvensional, puisi itu akan dianggap sebagai puisi iki jadul. Misalkan saya nulis puisi kayak Chairil Anwar, pembaca akan mengatakan bahwa puisi saya mengekor puisi-puisi Chairil Anwar. Akan tetapi, kalau ada orang menulis puisi terlalu kemajon (berorientasi ke depan atau bersifat futuristik), dia membuat eksperimentasi, inovasi yang berlebihan, dia tidak memiliki standarisasi penerimaan masyarakat pembaca (suatu konvensi) yang itu kemudian disebut iki lho puisi (begini lho puisi itu), iki lho cerpen (begini lho cerpen itu), iki lho novel (begini lho novel itu), yang terjadi juga tidak akan diapresiasi oleh masyarakat pembaca kita. Idealnya adalah di antara konvensi-inovasi itu.

Nah, ketika pada ranah konvensi-inovasi itu butuh standarisasi, berarti itulah teori, yang dipelajari oleh kalangan akademisi. Teori sastra selalu lahir dari karya sastra. Maka, apresiasi sastra dan kritik sastra membutuhkan itu. Karena adanya perbandingan tadi, tolok ukur penilaian membutuhkan teori sastra, sastra perbandingan membutuhkan sejarah sastra. Hasil apresiasi sastra terhadap karya sastra yang kemudian diterima oleh masyarakat menjadi kritik sastra. Nah, ini kondisi ideal semacam ini sampai hari ini masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Akan tetapi, ya syukur alhamdulillah, Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) masih memberikan porsi itu. Memberikan porsi sesederhana pun. Yang muncul dari apresiasi kritik sastra (penghargaan) itu senantiasa diberikan tempat sekalipun belum berimbang antara karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan Indonesia dan kritik sastra. Jadi, penghargaan semacam itu belum seberapa dengan 250 juta masyarakat pembaca di Indonesia. Di sinilah tugas pemerintah, seperti Badan Bahasa, menjadi sangat signifikan.

Dari diksi yang digunakan Bapak tentang “pencerahan” ini, saya malah curiga dari keterangan sebelumnya. Jangan-jangan diksi itu suatu saat nanti akan menjadi teori, Pak.  Karena saya membaca di dalam bukunya Pak Tirto Suwondo pun hanya mengungkapkan dua estetika, yaitu keselarasan dan juga pertentangan. Nah, justru dari keterangan Bapak saya curiga nanti setelah pertentangan, lalu keselarasan, kemudian satu lagi, pencerahan?

He-he-he, amin! Ya, paling tidak saya hanya selalu memotivasi kepada teman-teman di kalangan perguruan tinggi, dalam hal ini di lingkungan IAIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, sesederhana apa pun apresiasi kita terhadap budaya tulis itu akan menjadi sejarah ini. Jadi, menulislah. Menulislah atas bacaan yang kita baca, dalam hal ini karya sastra. Saat ini sedikit sekali orang yang berkenan rela hati untuk meluangkan waktu, bukan hanya sakedar membaca dalam koridor budaya keberlisanan, melainkan membaca dalam koridor budaya keberaksara. Jadi, hasil bacaannya atas karya sastra itu seharusnya ya ditulis, sesederhana apa pun. Nah, kemudian muncul problematika. Apa itu? Kalau pada masa 80-an, 90-an hingga 2.000-an, ada determinis bahwa perkembangan sastra itu juga diarahkan oleh media massa kerena ada patronase ya ‘kan? Namun, saat ini tidak. Padahal, dahulu hal itu akhirnya memunculkan istilah yang dikemukakan oleh HB Jassin sebagai sastra koran gitu.

Adanya pembatasan kolom jumlah halaman itu ternyata juga akhirnya menjaga menjadi stylish (gaya bahasa). Dalam estetisme, baik itu puisi, cerpen, termasuk di dalamnya adalah esai-esai, artikel-artikel sastra, itu menyebabkan adanya penyesuaian dan tidak setiap media massa menyediakan rubrik esai sastra (budaya), kecuali puisi dan cerpen. Saat ini ada Facebook, ada Instagram, ada media sosial lainnya yang kapan saja kita mau bisa memunculkan apresiasi kita terhadap hasil bacaan kita, dalam konteks ini adalah karya sastra. Akan tetapi, masalahnya adalah mengapa sih masyarakat kita yang notabene merasa bahwa kita udah kok punya budaya literasi, nyatanya tidak juga. Coba kita lihat saja jika berhenti di lampu lalu lintas, pasti banyak orang cenderung menengok ke bawah hanya untuk membaca status-status di ponselnya: ada statusnya di Facebook, ada statusnya Twitter, dan lain sebagainya. Padahal, menurut saya, status-status itu tidak memunculkan sebuah apresiasi yang menjadi bagian dari pendukung budaya literasi itu sendiri sebab hanya semacam curhat.

Nah, inilah yang menjadi keprihatinan kita bersama. Saat ini bagaimana kita terhadap karya sastra yang sudah tumbuh dengan baik, yang sudah diikhtiarkan oleh para penyair yang hebat itu, untuk meluangkan waktu (menyediakan waktu) sebagaimana yang dilakukan oleh seseorang HB Jassin. Iya jadi, karya tulis itu harus memunculkan budaya tulis dalam pengertian yang sebenarnya bukan sekadar komentar karena itu belum sampai kepada esensi budaya tulis. Itu ‘kan hanya keberlisanan yang dituliskan. Ini tentu saja membutuhkan peran negara: melalui Badan Bahasa, melalui balai bahasa, melalui perguruan tinggi. Tentunya harus ada porsi masing-masing. Sebagai contoh, saat ini pemerintah memiliki jargon Merdeka Belajar. Saya rasa seharusnya dalam Merdeka Belajar itu memberikan porsi dengan kata lain perhatian kepada karya sastra. Saya jadi teringat candaan antara Sutan Syahrir dan M. Hatta. Saat M. Hatta kembali dari Belanda dan membawa banyak buku (memamerkan buku sepertinya hal yang lumrah dalam kalangan intelektual), Sutan Syahrir menyidir bahwa tidak ada satu pun buku sastra di antaranya. Lantas ia menyeloroh, “Bung, coba lihat di ensiklopedia arti sesungguhnya dari intelektual? Tentu itu akan berbeda dengan intelegensia.” Nah, istilah itu kemudian dipertajam oleh M. Dawam Raharjo dalam bukunya Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa yang diterbitkan oleh Mizan. Kita ini banyak yang pada tataran inteligensia yang budaya baca dan tulis belum sampai pada bagaimana menjadikan bacaan-bacaan sastra menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang mencerahkan.

Tidak sebagaimana, misalkan, di Jepang setelah adanya Restorasi Meiji. Di sana, karya sastra itu diproduksi oleh negara dan kemudian didistribusikan serta dibaca dari kalangan TK sampai perguruan tinggi. Bahkan, contoh-contoh studi budaya dan studi lainnya menempatkan karya sastra menjadi bagian dari data penelitiannya. Saya punya teman yang sedang berada di Jepang, dia bercerita bahwa novel Dunia Sophie merupakan bacaan wajib siswa kelas satu SMA. Yang memprihatinkan menurut saya, mengapa sih kita tidak mendorong juga untuk menerbitkan ulang terhadap novel-novel Balai Pustaka atau Pujangga Baru dan dikerjakan secara profesional dan kemudian distribusikan ke sekolah-sekolah. Sebetulnya hal itu sudah dimulai oleh Horison, dengan memilih 60 judul karya sastra bagus versi teman-teman di Horison, yang kemudian direkomendasikan pada Kementerian Pendidikan Nasional (pada saat itu) dan ditindaklanjuti oleh Pusat Bahasa (Badan Bahasa) pada saat itu untuk diterbitkan dan distribusikan secara gratis ke SMP dan SMA seluruh Indonesia.

Nah, ini kok kayaknya sekarang jadi sepi gitu. Yang saya katakan mengenai ekologi sastra yang sehat itu sebetulnya miniatur dari ekologi-ekologi yang lain. Itu kan ekologi sastra. Saya kira ekologi-ekologi lain juga demikian. Maka, dalam konteks ini, kalau kita mengandalkan untuk persoalan-persoalan budaya kaya gini dari ranah swasta, sepertinya sangat susah. Jadi, perlu dukungan dan meneruskan kembali apa yang sudah dilaksanakann oleh Badan Bahasa dalam penyelenggaraan semacam itu dan harusnya diperbanyak untuk distribusi sekolah-sekolah di Indonesia.

 

Berarti untuk menciptakan ekologi yang sehat itu harus ada daya upaya dari ekologi-ekologi lainnya ya, Pak?

Iya. Itu bisa dilihat dari gerak budaya itu sendiri, bisa dilihat dengan melakukan sample-limited-focus. Data bisa sangat banyak maka ekologi sastra itu menjadi sample atau miniatur lah.

Sepanjang pengetahuan kami, ekologi sastra itu di dalamnya ada penulis, sastrawan, kemudian ada juga kritikus sastra. Saat ini kita semua tahu bahwa kelangkaan kritikus sastra itu terjadi di Indonesia. Nah, kami ingin tahu pandangan Bapak mengenai kelangkaan kritikus sastra ini dan juga kira-kira apakah ada ide atau pencerahan baru dari Bapak?

Mungkin penghargaan-penghargaan seperti itu diperbanyak, khususnya untuk buku esai atau kritik sastra. Terlebih pada Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dengan Penghargaan Prasidatama-nya karena belum ada penghargaan untuk buku esai atau kritik sastra. Selain itu, untuk kalangan swasta, sebagai contoh, Lontar Foundation pun juga terbatas gitu. Apalagi Asosiasi Penulis Indonesia (API) yang sudah berusaha maksimal, tetapi belum mampu mengimbangi jumlah rakyat Indonesia yang 247 juta itu loh.

Sebaiknya, untuk menghadapi fenomena budaya di Indonesia, mau tidak mau (pemerintah) harus memiliki keberpihakan terhadap kinerja budaya, kinerja sastra. Misalnya dari segi anggaran untuk menjalankan ekologi-ekologi tersebut. Saya kira dampaknya akan besar sekali dan negara tidak bakal rugi gitu untuk menambah support ini gitu. Anggaran dana pendidikan yang berorientasi kepada literasi, literasi yang lebih mendalam bukan sekadar literasi penghiburan melainkan hingga pencerahan.

Selain itu, jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah). Artinya, janganlah melupakan naskah-naskah sastrawan lama dan seharusnya, seperti yang saya katakan terdahulu, harus dicetak ulang kalau bisa secara besar-besaran. Dari jika dirunut dari naskah-naskah terdahulu itu, saya melihat terdapat kekerasan berbasis sosial-agama karena ada kesenjangan historis. Maka dari itu, kita harus memproduksi banyak hal-hal yang bernuansa kesejarahan termasuk di dalamnya adalah sastra.

Anak-anak sekarang sangat pintar, tetapi, sebagai contoh, mereka cenderung lupa pada sejarah Majapahit. Padahal, bisa diketahui dari naskah drama Sandyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane. Kita juga lupa bagaimana pergerakan nasional (tarik-menarik) antara kutub Timur dan Barat yang bisa diketahui dari novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana atau Belenggu karya Armijn Pane.

Apakah estetika Timur perlu digali lebih dalam dari karya-karya tersebut?

Iya karena sastra (Indonesia) merupakan rekaman dari pergerakan masyarakat budaya Indonesia. Jadi, jangan dipahami bahwa sastra hanya berisi peristiwa klangenan. Itu bisa menjadi data, yang setidak-tidaknya menurut pernyataan Prof. Kuntowijoyo dalam buku Budaya dan Masyarakat dinamakan sebagai sejarah profetik. Jadi, data sejarah itu bukan hanya angka-angka tahun kekuasaan belaka, melainkan bagaimana fenomena pergerakan perilaku budaya manusia yang terpotret di dalam karya sastra.

Jadi, hal itulah yang mencerminkan intelektual dan inteligensia sebuah bangsa ya, Pak?

Iya. Benar sekali. Itu intinya.

 

 

Abdul Wachid B.S. seorang penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) dan menjadi dosen negeri di Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.

Leave a Reply