Rajam (Pelempar Batu Pertama)
Karya: Idham Nurcahyo
SEBUAH KERUMUNAN DIDATANGI SEORANG PEREMPUAN YANG MEMBAWA BATU DI KEDUA TANGANNYA, IA MENGUMUMKAN DIRI SEBAGAI SEORANG PEZINA DAN MENUNTUT HUKUM RAJAM ATAS DIRINYA.
Mohon perhatiannya! Hukum rajam adalah pantas untuk seorang pezina seperti saya. Ya! Tangan-tangan kalian berhak untuk melempar batu kepada tubuh bernaung iblis ini. Silakan lempar batu padaku!
Jadi adakah di antara kalian yang pantas untuk menjadi pelempar batu pertama? Adakah?
Adakah di sini orang yang benar-benar suci dan bersih dari segala dosa untuk menjadi pelempar batu pertama?
Adakah orang yang benar-benar tak memiliki kesalahan, bersih hati dan pikiran? Adakah laki-laki yang tidak akan terangsang melihat tubuh telanjangku meronta kesakitan? Atau perempuan yang tidak menikmati kedengkian dan pelampiasan atas lemparannya kepada tubuh ini?
Adakah di antara kalian yang sanggup menghukum tanpa melampiaskan sifat keji dan kefrustasian hidupnya?
Jika ada, segeralah ambil batu, dan lemparkanlah padaku sebagai aba-aba untuk memulai babak rajam, lalu persilakanlah yang lainnya untuk melempar juga, terus dan jangan berhenti sampai pendosa ini mati berkubang batu yang bebercak darah.
Kenapa diam? Kenapa tak segera berterbangan batu ke arah tubuhku? Kenapa? Kenapa diam saja?
Apa tak ada yang merasa pantas menjadi pelempar batu pertama? Karena kalian semua sadar bahwa manusia mustahil untuk tidak pernah bersalah? Ataukah kalian sadar bahwa perbedaan antara kalian dan saya hanyalah saya terbongkar dan kalian tidak? Yakni perzinahan saya telah menjadi berita di seantero negeri dan perzinahan anda masih tersimpan rapi sebagai rahasia. Atau, baru sekadar rencana dan keinginan di dalam pikiran?
Apakah kalian sadar atas kekotoran diri hingga tak merasa pantas untuk menjadi pelempar batu pertama? Ataukah tak segera berlangsungnya hukum rajam atas diriku ini adalah lantaran kepengecutan massal? Kalian ingin tapi tak ada yang berani mengawali?
Oh! Tibalah kita pada sebuah masa ketika hukum rajam kembali ditegakkan oleh masyarakat pengecut yang lempar batu sembunyi tangan. Lempar postingan dan komentar tanpa merasa perlu berpikir panjang dan mempertanggungjawabkan! Ini adalah masa orang-orang pengecut diberi kesempatan bertingkah terlalu banyak. Masa ketika orang-orang yang tak tahu apa-apa dibukakan pintu untuk turut menilai dan menghukum siapa saja.
Oiya, adakah di antara kalian yang sudah melihat video viralku? Apakah kalian turut menyebarkan? Like? Love? Share? Komentar? Komentar seperti apa? Katakan sekarang, mumpung kita berhadapan. Masak tidak ada? Atau sekadar tidak berani? Atau, aku harus telanjang di sini agar kalian mengenali dan percaya bahwa itu aku?
Ya, akulah perempuan yang diarak telanjang karena dituduh berzina di rumah kontrakan. Akulah perempuan di dalam video yang kalian sebar-luaskan itu!
Akulah perempuan yang kalian hujat itu!
Akulah perempuan yang kalian rajam dengan lemparan-lemparan komentar kalian!
Akulah perempuan yang kalian lucuti kemanusiannya, diarak tak henti-henti di dunia maya, berkitaran ke seluruh dunia, dilahap segala usia, segala mata dan semua menudingku dan berkata; hei itulah betina hina!
Akulah perempuan yang telah kehilangan apa saja yang berkaitan dengan identitasnya. Akulah manusia yang telah kalian ledakkan riwayatnya. Bahkan kini aku tak berani lagi berangan untuk melahirkan seorang anak. Aku takut kelak ia akan mendapati video ibunya yang diarak dan ditelanjangi.
Kini apalah arti hidup seorang manusia yang telah kehilangan harkatnya sebagai manusia. Manusia yang tak sanggup lagi berhadapan dengan manusia lain.
Bukankah itupun kematian? Ya, masyarakat suci dari negeri yang ramah tamah ini telah membunuhku dengan menegakkan hukum rajam di dunia maya. Kesejatianku sebagai manusia telah mati, maka kini aku menuntut kematian tubuhku juga!
Aku sudah tidak ingin hidup, hidup yang tidak hidup ini lebih buruk daripada kematian. Aku telah berkeliling ke seluruh negeri dari satu kerumunan ke kerumunan yang lain. Menuntut hukum rajam dan kematianku pada kerumunan-kerumunan itu. Akan tetapi, selama ini tak ada yang berani. Mereka begitu santun dan rendah hati, merasa tak pantas untuk menjadi hakim dan pelempar batu pertama. Bahkan ada yang justru memelukku sambil menangis. Jadi siapakah mereka yang begitu ganas dan keji di dunia maya? Apakah mereka orang lain? Apakah mereka adalah dua kepribadian yang berbeda? Ataukah itu sekadar wujud kepengecutan?
Hah, kalian lucu! Negeri ini memang lucu! Aku tak kuat lagi menahan tawa yang pedih ini!
Hei! Kuberitahu kalian, Riko itu lelaki bajingan! Suami yang tak tahu diri, kini justru kalian bela dan kasihani karena telah dikhianati oleh saya, istrinya? Hah! Kalian itu lucu! Ia itu bajingan yang pengecut, sembunyi dan pura-pura jadi korban perselingkuhan.
Setiap malam ia pulang dalam keadaan mabuk hanya untuk mengamuk. Aku telah begitu lama memendam sendiri kengerian itu. Hubungan kami sudah tak lagi bisa disebut cinta. Aku tak lagi mencintainya. Pun tentunya seorang yang berkali-kali mencaci, menampar, dan memukulku, apapun alasannya, tak pantas disebut mencintai. Aku memendam, aku menyembunyikan. Sesakit apapun tak mudah untuk memutuskan dan memilih bercerai.
Dulu, aku sendiri heran bahkan menganggap bodoh para perempuan korban kekerasan suami yang memilih diam dan menyimpan rapat-rapat kekerasan yang dialaminya, tetapi ternyata ketika mengalami, semua tak semudah himbauan-himbauan itu. Mengungkap dan melaporkan bagi kami seperti membuka aib sendiri. Dicap gagal dalam berumah tangga adalah sesuatu yang mengerikan bagi perempuan. Perempuan pun tidak akan berani melompat jika tak ada yang berjanji menangkap. Ia takkan berani berlari jika tak ada yang berjanji untuk menjadi tempat berhenti.
Lelaki yang diarak dan ditelanjangi bersamaku di video itulah yang berjanji menangkapku. Malam itu aku berlari dan kepadanya aku berhenti. Ia bukanlah orang baru di hidupku. Mas Tedjo, betapa naas nasibmu, karena terlanjur mencintai perempuan sial seperti saya. Dulu kamu kutinggalkan karena aku memilih Riko yang memiliki pekerjaan mapan dan sanggup meyakinkan bapak-ibu.
Siapa bisa menyangka jika pilihanku ternyata hanya tepat di saat yang baik saja. Riko adalah suami yang baik ketika gaji bulanan dan tunjangannya masih sebagaimana matahari yang pasti terbit pada waktunya. Kesalahannya ialah ia berpikir bahwa jaminan itu akan selamanya. Ia mengira tak akan ada yang berubah. Tak ayal saat perubahan itu terjadi, Riko menjadi orang yang kehilangan diri. Ia tak sanggup menerima kenyataan bahwa ia tak lagi dibutuhkan perusahaannya.
Bagaimana sejatinya seseorang? Ialah bagaimana ia ketika sedang berada di puncak permasalahan. Maka nampaklah kenyataan di hadapanku seorang laki-laki yang tak berkepribadian. Tanpa dasi ia merasa tak memiliki leher, tanpa jas ia seperti tak bertulang belakang!
Salah jika kalian mengira aku tidak lagi mencintai suamiku lantaran ia tak lagi memiliki pekerjaan mapan sebagaimana dulu ketika kepadanya pilihan itu kujatuhkan. Bukan itu permasalahannya. Aku sanggup bekerja untuk menjadi tulang punggung keluarga, aku tak keberatan.
Namun, lelaki yang telah kehilangan diri sungguh-sungguh duri yang musti kutelan setiap hari. Selalu kukatakan padanya dengan hati-hati, “sudahlah lupakan yang sudah, hiduplah untuk masa depan, bangkitlah Mas, carilah pekerjaan yang lain, apa saja tidak masalah; setidaknya ada alasan untuk memulai hari lagi.”
Namun, ia justru memilih lari kepada kemabukan.
Aku sering bertanya dalam hati, lelaki macam apa ini? Kenapa sebegitu habisnya hanya lantaran kehilangan pekerjaan mapan? Tetapi demi Tuhan yang tahu isi hati, dalam keadaan itu tak pernah terbersit pikiran untuk meninggalkannya. Aku masih menganggapnya sebagai permasalahan hidup yang harus dihadapi.
Hingga tiba malam itu, duri di kerongkongan itu mendesak masuk ke ulu hati. Riko telah kehabisan uang tabungan, ia meminta uang dariku, aku tahu itu untuk mabuk-mabukan lagi. Tentu aku menolak, aku tak suka dengan pelariannya itu, jelas tak sudi aku, jika harus menyokongnya. Ia katakan, ia akan menggantinya nanti.
“Hei Mas, ini bukan soal diganti atau tidak, tapi aku tak suka dengan mabuk-mabukanmu. Mas, jangan terus-terusan lari dari masalah.”
Namun, ia justru membentak, “istri tak tahu diri, mentang-mentang sekarang aku lagi tak punya kerjaan kamu jadi berani ceramahi, aku ini cuma pinjam, nanti aku ganti!”
“Mas, ini bukan soal uang….”
Belum selesai aku bicara, pintu ia banting lalu pergi. Kukira cekcok malam itu hanya sampai di situ. Ternyata itu menjadi malam yang panjang dan mengerikan. Aku terkaget ketika tubuhku yang sedang tidur tiba-tiba ditindih dengan kasar. Hampir-hampir aku menjerit, tetapi kutahan ketika sadar bahwa itu suamiku sendiri, tetapi aku tetap meronta ketika tangannya menggerayangiku dengan kasar. Bukan aku menolak persetubuhan dengan suami, tetapi kenapa harus dengan cara begitu, apa yang hendak ia tegaskan?
Aku tercenung ketika ronta perlawananku ia jawab dengan sebuah tamparan keras di pipi kanan. Aku terdiam, aku benar-benar terpukul, ia justru berkata, “mentang-mentang sekarang kamu bekerja, kamu jangan merasa lebih hebat di rumah ini!”
Kata-kata berbau alkohol itulah yang menandas-habiskan perasaanku kepada Riko, aku tak cinta lagi. Itu adalah malam ketika aku menjadi tahu betapa menyakitkannya pemerkosaan. Tak rela, tetapi tak memiliki keberanian dan kekuatan untuk melepaskan cengkeraman persetubuhan itu. Aku menangis dan lelaki itu justru seperti kesetanan. Jadi jangan katakan bahwa pemerkosaan terhadap istri itu tidak ada!
Itu ada dan terjadi atas diriku. Berulang di malam-malam berikutnya, setiap ia marah dan ingin melampiaskan kekecawaannya atas keadaan. Kekerasan seksual kualami hampir di setiap malam. Hampir setiap malam, ranjang adalah siksa yang musti kujalani. Akan tetapi, aku menyimpannya rapat. Kengerian yang hanya bisa kujeritkan dalam diam….
Lalu itu mulai terbersit.
Aku ingin berlari.
Aku ingin lepas dari penderitaan itu. Setidaknya aku ingin mencari tempat berbagi. Maka aku nekat membuka pintu belakang, sebuah sosok dari masa lalu, Mas Tedjo. Ia kuhubungi lagi dan dari situ aku tahu ia masih mencintaiku dan, dari situ, tak kusangka petaka itu bermula.
Bermula dari chatting akhirnya kuberanikan diri untuk bertemu. Bermula dari bertemu aku jadi membawa pulang rasa rindu. Aku kembali memiliki mimpi lagi. Bahkan saat Riko kembali memperkosaku, kupejam mata dan kuangan Mas Tedjo. Itu adalah caraku bertahan waras di dalam rumah tangga yang gila.
Iya! Aku sadar telah bersuami! Itu salah, ya memang salah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Riko kepadaku bukankah itu juga salah!? Bersalah kepada sesuatu yang salah apakah itu salah?!!
Aku akhirnya berlari juga malam itu. Ketika Riko tiba-tiba bertanya, siapa Tedjo? Entah darimana ia tahu. Aku memilih tak menjawab. Ia membentak dan hendak memukul, aku langsung berlari meninggalkan rumah.
Dalam kekalutan hanya Mas Tedjo yang ada di pikiranku. Aku pun menujunya. Sesampai rumahnya kutumpahkan segala kecamuk perasaan. Kami berpelukan, tangan kami menggapai apa saja yang ingin digapai, tubuh kami mengungkap apa saja yang ingin terungkap. Tetapi hanya beberapa saat saja. Saat emosiku reda, kami berhenti, kami menahan diri. Kemudian kami bersepakat, Mas Tedjo akan mengantarku pulang ke rumah orang tuaku.
Namun, pintu rumah kontrakan yang setengah terbuka itu ditendang!
Kerumunan massa menyeruak masuk ke rumah kontrakan. Serempak mereka berujar, “astaghfirullah!” Berikutnya mengumpat, “iblis, bajingan, lonte, begundal, sundal, brengsek, anjing, babi…”
Beberapa umpatan ditegaskan dengan tendangan, pukulan, jambakan, injakan atas tubuh kami. Kami disudutkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan! Mereka telah meyakini kami berzina dan hina. Ruangan semakin sesak dan panas, semua orang ingin berlaga. Tiba-tiba seseorang memercikkan kata; “telanjangi, arak keliling kampung!”
“Setuju, telanjangi, arak keliling kampung!”
Kata-kata itu membakar massa, menjadi gelombang tangan-tangan yang menghempasi kami. Tangan-tangan yang melucuti kami. Tangan-tangan yang mendorong dan menyeret kami. Maka lucutlah kami dari harkat kami, sebagai pesakitan kami diarak, disoraki, dicaci, ditertawai, bahkan difoto dan divideo! Aku menangis, Mas Tedjo memohon, mereka tak peduli, mereka tak ingin berhenti, mereka terus menerus bersorak sorai tanpa peduli.
Manusia macam apa kalian ini!
Riko bajingan pengecut kamu! Jika memang kamu tidak terima istrimu berselingkuh kenapa tidak kau hadapi sendirian! Kau lemparkan aku pada masyarakat gila ini!
Ini yang kamu inginkan?!
Kini video laknat itu telah tersebar luas dan menjadi arak-arakan yang tidak akan pernah selesai. Sebuah perajaman yang tak henti-henti. Ribuan komentar penghakiman terus berterbangan. Apakah ini hukuman yang pantas untuk seorang istri yang lari dari laki-laki bajingan semacam kamu?
Aku sudah tak sanggup lagi menanggung ini. Kepada siapa aku harus memohon, hentikan, hentikan, hentikan penghakiman ini. Kepada siapa aku harus memohon, tolong, tolong, sudahi semua ini. Mungkinkah ada kekuatan yang menolongku? Tangan yang sanggup menghapus seluruh video yang tersebar itu?
Tidak ada?
Baiklah jika tidak. Sepertinya perajaman di dunia maya itu tidak akan pernah berhenti. Maka kuputuskan untuk berdiri di hadapan kalian. Menghadapi kalian di dunia nyata, dengan tubuh yang nyata. Aku menuntut sebuah kematian yang nyata!
Jadi, wahai kerumunan dari masyarakat pengecut. Ini aku seorang istri yang telah kalian anggap berzina, tunggu apa lagi? Inilah wanita hina itu! Segeralah ambil batu! Siapa saja! Tak perlu lagi rasanya aku menuntut kepantasan seorang pelempar batu pertama. Sebab sosok itu tak mungkin ada, dan aku tak peduli lagi!
Siapa saja kuperbolehkan untuk merasa suci dan melempar batu kepadaku. Ayo segeralah mulai babak rajam, aku sungguh tak sabar untuk mati, aku ingin segera menjadi hantu yang bergentayangan di lembaran sejarah kalian! Ayooooo pengecut rajamkan batu moralitas kalian!!!!!!”
LALU BATU-BATU PUN BERTERBANGAN!
Sukoharjo, 2019
Idham Nurcahyo penulis naskah drama dan teaterwan. Pemenang I Prasidatama tahun 2022 kategori Naskah Drama. Bermastautin di Sukoharjo, Jawa Tengah.