Terjemahan

Puisi Terjemahan oleh Triman Laksana

TANDA TANYA*
mata, mata hanya memandang
telinga, telinga hanya mendengarkan
hati, hati kehilangan perasaan
sudah pulang, dari keterasingan tempat
untuk meraup semua yang ada
begitu jauh tak terlihat
langkah dipenuhi jejak
tanpa bisa mencari letak keadaan
sudah tidak lagi menjadi titik
tangan, tangan hanya mampu melambai
raga, raga hanya berdiri mematung
kaki, kaki memijak terpatrikan bumi tersayang
Padhepokan djagat djawa, magelang 2019

(* diterjemahkan dari geguritan “Tandha
Pitakon”, karya Triman Laksana, dimuat majalah
Panjebar Semangat No. 52, 28 Desember 2019)

TEMBANG HATI*
pukulan gendhang begitu menantang
masih menjadi tandha membuka jalan
pada suara memenggal kejadian jaman
dari peristiwa yang ada
saron terus mencari tempat
agar bisa memilah di antara keadaan
mencari letak di mana larinya
menjadi satu dalam irama semangat
ketika bonang menggema
penuh pralambang mencari bertiupnya angin
dapat digenggam dalam kedua tangan
siter membuat hati begitu menyayat
mengitari panjangnya langkah penuh misteri
dari pundak dengan penuh keyakinan
suara-suara sinden
berlayar dengan angin dan angkasa
menrejang awan yang begitu tebal
di dalam mimpi-mimpi masa lalu
gambang merangkul awan
menghentikan datangnya musim yang datang
terus mengikuti persaudaraan yang telah kehilangan makna
gong bakal menghentikan semuanya
pada tembang gotong-royong
dari hati, berjalannya keutamaan
sudah waktunya menjadi prasasti
mendiami seluruh tatanan
tanpa bisa berbicara lagi
jaman sudah penuh beban
hanya tembang hati
menyatu dengan keadaan
bergandengan erat bersama
di bumi terkasih, bumi pertiwi, Indonesia
Padhepokan djagat djawa, magelang, 2018

(* diterjemahkan dari geguritan “Gendhing Tresna” karya Triman Laksana, dimuat
majalah Panjebar Semangat No. 48, 1 Desember 2018)

TIVI DI KAMAR 717*
gambar-gambar bersliweran
saling berkejaran mencari yang paling benar
tidak ada yang mau mengalah
berebutan mencari siapa yang paling dahulu
agar bisa dikatakan paling pandai
suara-suara bermunculan
bersahut-sahutan tanpa jelas
penuh rasa emosi yang memuncak
hilang mana yang menjadi pakaian
semakin lupa dengan apa yang bernama awal
sudah tidak bisa dihentikan
semua menjadi hantu bergentayangan
penuh raga-raga yang misterius
mengitari seluruh kehidupan
di hadapan mata ini
lupa dengan yang kelihatan
tidak lagi untuk gambaran
dengan anak cucu
terlanjur jauh
tak kenal lagi
Hotel @Hom, semarang, 2020

(*diterjemahkan dari geguritan “Tivi Ing Kamar 717” karya Triman Laksana,
dimuat majalah Jaya Baya No. 18, Minggu I Januari 2021.)

DAUN GUGUR
sampai kapan langkah ini
tetap bisa mencari ke mana arahnya
tempat yang sama, dengan sudut-sudut keadaan yang memesona
bakal menjadi ketenteraman, mengejar sepi yang panjang
di dalam bayang-bayang serba membawa rasa hambar
gedung-gedung tinggi menantang langit
sudah menjajah dalam ikatan luasanya
tetap hanya menyeruak di antara musim tidak bisa ditahan
kehausan langkah yang masih begitu jauh pada zaman berjalan
di tempat yang penuh beban, menghitung hari
sambil menunggu datangnya nasib
daun-daun gugur
di tetanahan
Malioboro, yogya, 2020

(*diterjemahkan dari geguritan “Godhong Gogrok” karya Triman Laksana, dimuat
majalah Jaya Baya No. 49, Minggu I Agustus 2020)

TITIK NOL*
Ini!
tandha yang bakal dicari
menjaga jarak dengan seluruh angin
tetap menyatu di dalam pusat bumi
ketika hanya bisa menatap
tanpa harus berteriak pada keadaam
sampai waktunya harus menjadi tumpuan
mendiami hati yang tengah bergejolak
tetap dijaga di dalam raga yang penuh kemarahan
musim terus berganti
belum bisa berhenti
di sini!
Malioboro, yogya, 2020

(*diterjemahkan dari geguritan “Titik Nol” karya Triman Laksana, dimuat majalah
Jaya Baya No. 49, Minggu I Agustus 2020)

Triman Laksana lahir di Yogyakarta. Menulis dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Tulisannya banyak tersebar di media lokal dan nasional. Buku kumpulan bersama yang sudah terbit lebih dari 60-an. Bukunya novel, cerpen, geguritan yang sudah terbit, di antaranya: Sang Juara, Anak Payung, Ing Awangawang, Tembang Sendhal Jepit, Sepincuk Rembulan, Menjaring Mata Angin, Jaman, Kacamata, Sang Pewaris, Anak Getuk, Jejak Pertiwi, dll.
Tahun 2012, mendapat penghargaan sastra “Acarya II” dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemendikbud. Tahun 2015 mendapat penghargaan sastra Jawa “Rancage” dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Tahun 2017, mendapat penghargaan Tokoh dan bahasa Jawa “Prasidatama” dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. Tahun 2019, mendapat penghargaan penggiat sastra dan literasi “Nugra Jasadharma Pustaloka” dari Bupati Magelang. Ia juga mengelola TMB dan sekolah menulis di Gubuk Padhepokan Djagat Djawa. Tinggal di Jalan Raya Borobudur Km. 01 Citran, Paremono, Mungkid, Magelang 56512. Posel: triman.laksana@gmail.com.

Leave a Reply