Cerpen

Perangkap bagi Para Pencuri

“Nanti malam, berkumpullah di puncak bukit Apel. Akan aku ajari saudara-saudara bagaimana memasang perangkap itu!” kata Kepala Kampung dengan suara serak tetapi terdengar tegas.

Kami, yang telah didera kemalangan berupa kemalingan berminggu-minggu, begitu antusias mendengar pengumuman itu, tak sabar menunggu datangnya matahari tenggelam. Betapa pencuri-pencuri itu telah begitu meresahkan kehidupan di kampung kami. Entah dari mana mereka datang dan bagaimana cara mereka merampok apel-apel di kebun kami. Kami nyaris kehilangan semuanya dan hampir putus asa karena tak bisa menangkap satu pun di antara para pencuri itu.

Kampung Apel, begitulah orang-orang menyebut kampung kami. Sebuah kampung kecil di lembah bukit Apel yang hampir keseluruhan tanahnya ditanami pohon apel. Pohon apel dengan buah-buahnya yang sebesar kepal tangan, jika matang berwarna ungu berkilauan, dan lezatnya tak tertandingkan. Apel yang tidak manis, tidak asam atau sepah, melainkan perpaduan antara ketiganya.

Bagi warga yang memiliki kebun yang luas tentulah sangat beruntung, karena mereka dapat hidup sejahtera dari pohon-pohon apel yang berbuah tanpa kenal musim. Tetapi bagi warga yang tak memiliki kebun, tak patut berkecil hati, karena mereka tetap dapat menikmati buah apel setiap hari. Setiap warga juga menanam pohon apel di depan rumah mereka, yang dari sepohon apel saja, setiap harinya dipastikan ada yang masak, siap disantap. Kalaupun kurang puas hanya dengan sebuah apel satu hari, bagi warga yang tidak memiliki lahan, boleh-boleh saja bertandang ke kebun yang sedang panen; tanpa harus malu-malu meminta, mereka yang panen pasti akan menawari makan apel dan membawa pulang secukupnya.

Ai, ai, alangkah damainya kehidupan di kampung kami. Sesama warga  hidup tekun berkebun, rukun, saling mengerti dan senang memberi, bahkan merelakan apel-apelnya dipetiki oleh anak-anak yang kelaparan sehabis berenang di sungai siang-siang, atau para pemburu dan pemancing yang kebetulan melewati perkebunan apel kami. Ya, mulanya memang boleh-boleh saja orang memetik buah apel yang bukan miliknya dan tidak akan pernah dipermasalahkan oleh yang punya, dengan syarat apel itu untuk disantap bukan untuk dijual.

Dulu, tiada seorang pun terkejut ketika menyadari buah-buah apel di depah rumah atau di kebun ada yang hilang—meski jarang sekali ada orang yang menyadari akan kehilangan apel mereka. Kalau toh ada yang merasa kehilangan, mereka justru bangga, karena menganggap bahwa pastilah buah apelnya lebih lezat dibanding milik orang lain.

Itu cerita masa lalu, Kawan. Sekarang, tiada seorang pun berani lancang memetik buah apel tanpa mendapat ijin pemiliknya. Semua itu bermula setelah terjadi pencurian—sebagian menyebutnya wahab—yang baru pertama kali terjadi. Pagi itu, kampung kami gempar oleh kabar seorang warga yang mengaku telah kehilangan semua apel di lahannya.

Di kebun-kebun, warung-warung, gardu, di depan tungku dan tempat tidur, orang-orang ramai membincang kejadian itu.

“Pastilah bukan warga kita yang mencuri!”

“Warga kita?”

“Tidak mungkin. Sejak kapan warga kita senang mencuri?”

“Pencuri itu pastilah orang jahat.”

“Warga kampung ini tidak ada yang jahat ‘kan?”

“Ah, barangkali ini cobaan.”

“Jelas-jelas ini pencurian!”

“Tetapi apel yang dicuri itu tidak seberapa dibanding apa yang telah kita dipanen selama ini.”

Belum genap seminggu, seorang warga kembali murka karena buah-buah apel yang hendak dipanen tak lagi tersisa. Beberapa hari setelah itu, pencurian kembali terjadi di kebun yang lain. Peristiwa yang sama terus terjadi dan terjadi, dari satu kebun ke kebun lainnya.

“Apa ini ulah binatang?” tanya seseorang di tengah kerumunan.

“Apa bedanya pencuri dan binatang?” sanggah yang lain, seperti tengah mengumpat. Lagian, binatang apa yang sanggup menghabiskan begitu banyak apel dalam semalam kecuali binatang berkepala manusia?

Kami benar-benar marah, dan setuju menyebut rentetan peristiwa pencurian ini sebagai wabah. Dan sejak itulah kami membuat jadwal ronda, juga memagari kebun-kebun kami yang tadinya dibiarkan terbuka. Tetapi begitulah, Kawan, pencurian demi pencurian kembali terulang dan terulang. Para pencuri itu seperti tupai yang lihai meloncat-loncat dan mencari waktu yang tepat.

Kami mencoba menebak, barangkali pencuri itu datang dari kota. Akhir-akhir ini kami sering mendengar cerita tentang pencurian yang sedang marak di kota. “Ya, bisa saja. Orang kota memang pintar. Bukan hanya siasat yang mereka gunakan untuk mencuri, tetapi cara mereka menyembunyikan hasil curian, dan bagaimana supaya bisa terbebas dari hukuman. Lebih mudah memburu celeng ketimbang memburu orang seperti mereka,” kata seorang pemburu yang kebetulan tengah melintas pulang, bersama rekannya menggotong seekor celeng.

Esok hari, kami berduyun-duyun melapor ke kantor keamanan di kota kecamatan. Tapi para petugas di sana tidak memberikan kepastian kapan pencuri-pencuri itu bisa ditangkap. Kami pun buru-buru pergi dari kantor itu, melangkah dengan percakapan yang lebih banyak berisi makian. Ketika salah seorang di antara kami mengeluarkan prasangka bahwa mungkin para polisilah pencurinya, kami menghentikan langkah sejenak. Polisi? Mungkin saja. Tetapi mungkin juga orang yang mengatakan bahwa polisilah pencurinya itu yang sebenarnya adalah pencurinya, siapa sangka.

Selama pencuri itu belum tertangkap, selama itu pula pikiran kami liar menebak-nebak.  Maka, warga yang tidak memiliki kebun yang tadinya tidak menyimpan cemas karena tidak memikirkan akan kemalingan, kini turut gelisah dan susah tidur karena mereka sering diawas-awasi, dicurigai, dan tidak bebas lagi memetiki apel-apel milik tetangga.

Sampai suatu hari, kami dikejutkan dengan sebuah kabar. Kabar tertangkapnya seorang pencuri. Kabar itu berhembus seperti angin. Dalam waktu singkat, warga sudah bergerumbul, di sebuah kebun apel milik Kepala Kampung.

“Lihatlah! Orang itu terus berlari. Dan akan terus berlari sampai kehabisan tenaganya. Tidak lain karena ia telah mencuri apel di kebunku ini,” terang Kepala Kampung dengan dada membusung. “Itu hukuman yang pantas bagi seorang pencuri,” sambungnya, sembari menunjuk lelaki tua yang masih berlari dan sesekali terjatuh tetapi kembali bangkit dan berlari.

Kami yang mendengar keterangan itu hanya terbengong. Kami mengenal lelaki tua yang dikatakan sebagai pencuri itu. Ia memang kerap memetiki apel kami tanpa izin, sebab ia sendiri tidak memiliki pohon apel. Tetapi biasanya, ia memetik apel hanya untuk dimakan di tempat, sebagai pengganjal perut lapar, bukan untuk dijual.

“Ya, mungkin bukan dia pencuri sesungguhnya. Barangkali memang, dia hanya mencuri sebiji saja sebagaimana sudah menjadi kebiasaannya. Tetapi saudara harus tahu, mulai detik ini kita tidak perlu cemas lagi. Aku sudah punya cara ampuh untuk menjerat para pencuri.”

Ucapan itu seperti nyala api yang menghangatkan jiwa-jiwa kami.

***

Malam itu kami berkumpul. Dibimbing Kepala Kampung yang mengaku telah menemukan cara ampuh untuk menjerat pencuri, kami merapal mantra-mantra. Mantra-mantra yang asing, yang seketika membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami tidak peduli dari mana Kepala Kampung mendapat mantra-mantra itu. Di kampung kami, Kepala Kampung adalah orang yang berusia paling tua. Mungkin saja ia mendapatkan ilmu itu dari para moyang kami dulu dan baru sempat ia turunkan kepada kami. Entahlah, kami hanya ingin kebun-kebun kami aman,  dan untuk itu kami bersedia melakukan apapun yang diperintahkan Kepala Kampung.

Usai merapal mantra-mantra, kami diberi potongan-potongan kain segi empat yang sudah ditulisi rajah.

“Tanam kain-kain itu persis di tengah-tengah kebun kalian!” ujar Kepala Kampung terdengar seperti suara seorang dukun. “Siapa pun orang yang berani mencuri apel-apel kita, maka akan bernasib sama seperti Pak Tua yang kalian lihat pagi tadi.”

Demikianlah, kami tidak sabar lagi menunggu ada pencuri yang terjerat perangkap yang kami pasang. Kami merindukan menyaksikan pencuri berlari-lari mengitari kebun kami seperti hukuman yang dijalani Pak Tua di kebun Kepala Kampung.

Dan ternyata kami tidak perlu menunggu lebih dari tiga hari. Pagi-pagi, seorang warga memukul-mukul kentongan, mengumumkan kalau di kebunnya ada sekelompok pencuri sedang berlari-lari mengitari kebunnya.

Ayaya. Tontonan yang sangat menarik. Kami tertawa sampai serak menyaksikan tampang-tampang pencuri yang telah menghilangkan kedamaian tidur kami selama beberapa minggu ini. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, sebagian sudah jatuh tak sadarkan diri, pastilah karena tidak kuat lagi berlari.

Ternyata betul kata si Pemburu, para pencuri itu berasal dari kota. Mereka mengaku hanya sebagai suruhan, agar kami kapok menanam apel dan kemudian rela menjual lahan-lahan kami. Pengakuan itu seketika membuat kami teringat peristiwa beberapa tahun lalu, saat kami keras menolak rencana Kepala Kota membangun gedung-gedung dan pusat wisata di pebukitan tempat kami tinggal.

***

Sebenarnya kami malas bertutur hal-ikhwal aturan di kampung kami. Kami sudah bosan, Kawan. Berulang kali telah kami ceritakan pada para pencari berita dan tak lupa pula kami buka keterangan yang belum ditanyakan kepada mereka. Sekali lagi, berulang kali. Mulut kami lelah kalau disuruh berkata yang itu-itu juga. Namun begitu, sungguh kami tidak ingin membuat orang celaka hanya karena tidak mengetahui aturan yang berlaku di kampung kami, terlebih lagi kampung kami kini banyak dikunjungi wisatawan. Selain itu, setelah Kepala Kampung kami mangkat dan kemudian kami dipimpin oleh Kepala Kampung utusan dari kota, kami disuruh untuk berhati-hati. Sebab katanya, pemerintah sudah menetapkan aturan yang bisa menyeret kami ke penjara.

Duh! Apa salahnya dengan aturan kami? Kami tidak paham. Benar-benar tidak paham. Kepala Kampung dari kota itu menerangkan bahwasannya aturan kami dianggap main hakim sendiri.

Kami pikir bukan itu alasan yang sebenarnya. Barangkali mereka hanya ketakutan jika kami merapal mantra-mantra dan kemudian menanam kain yang sudah dituliskan rajah di sekitar gedung-gedung tempat mereka menyusun aturan dan siasat pencurian.

 

Wonosobo, 2020

 

 

TENTANG PENULIS

Jusuf AN lahir di Desa Lipursari, Wonosobo, Jawa Tengah 2 Mei 1984. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai tersebar di berbagai media daerah dan pusat, antara lain Majalah Sastra Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, dll. Kumpulan puisi tunggalnya berjudul Sebelum Kupu-kupu (2009) mendapat penghargaan dari Pusat Perbukuan Nasional, Hikayat Sri (2018) mendapat penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Novelnya, Jehenna (2010), Burung-Burung Cahaya (2011) dan Mimpi Rasul, Pedang Rasul (2012), Kailasa (2016). Kumpulan cerpennya, Gadis Kecil yang Mencintai Nisan (2012), Ibu yang Selalu Berdandan Sebelum Tidur (2017)

 

Email jusufan1984@gmail.com. Hp: 085230373555.

Leave a Reply