Para Pembuat Mitos
oleh Nizar Machyuzaar
Bahasa dapat merepresentasikan sebuah dunia. Di dalamnya terdapat peristiwa dan makna. Realitas simbolik ini diperkenalkan Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1961). Penemuan mesin cetak (1860) telah mengukuhkan kuasa manusia atas rasionalisasi pesona magis alam. Hasilnya, ilmu pengetahuan dan teknologi mendasari peradaban modern.
Kala itu tradisi tulis-cetak telah berhasil memantapkan modernitas dalam pembangunan kota-kota pencakar langit. Televisi dan telepon dapat dikatakan menjadi ikon puncak peradaban. Pertukaran barang dan jasa terdukung dua benda ini. Namun, memasuki abad XX, informasi telah mengambil bentuk transmisi digital hasil pemaduan kedua benda tersebut. Kita mengenalnya dengan istilah internet.
Segala informasi dalam media internet sering diistilahkan konten. Bahasa verbal dan nonverbal telah membakukan pesan informasi ke dalam dokumen berbentuk rekam gambar, suara, dan kombinasi keduanya. Dengannya, konten dapat dianggap sebagai teks –segala produksi bahasa yang terpatri dalam dokumen rekam transmisi digital.
Penerimaan atas teks membutuhkan pembingkaian ulang atas aspek-aspek yang melingkungi teks diproduksi. Setidaknya, aspek pemroduksi, teks, pengonsumsi, dan acuan peristiwa yang melingkungi ketiga aspek ini menciptakan makna subjektif pemroduksi, makna objektif teks, dan makna relatif pengonsumsi.
Dengan kata lain, ketiga makna tersebut sejajar dengan peristiwa saat teks diproduksi, peristiwa yang direpresentasikan teks, dan peristiwa yang dipahami pengonsumsi. Pembingkaian teks melalui ketiga konteks telah menciptakan peristiwa dan makna yang tidak identik lagi. Syahdan, hal inilah yang menjadi lokus sekaligus fokus investigasi akademik Paul Riceour (1976) dalam buku Interpretation Theory, Discourse and The Surplus of Meaning.
Narasi Subversif | Keberlimpahan konten yang memiliki relevansi sosial dan budaya menandakan tindakan nyata manusia dengan ekspresi bahasa yang bersifat simbolis. Idealnya, tujuan pemroduksi melalui konten sampai pada pengonsumsi. Begitu pun sebaliknya, tujuan pengonsumsi konten tercapai manakala konten yang diproduksi menyediakannya. Namun, kesalahpahaman dimungkinkan terjadi karena konteks peristiwa bahasa terjadi dalam dunia maya.
Namun, konten sebagai teks dapat kita pahami dengan menempatkannya sebagai sebuah wacana yang dinarasikan. Referensi diri dan makna otonom konten dijamin oleh kegramatikalan kalimat dan ikonisitas gambar transmisi digital. Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, konten dapat dikonsumsi asalkan memiliki akses internet.
Pada dasarnya ragam narasi menyertakan peristiwa yang berhubungan langsung dengan kenyataan (narasi faktual) dan peristiwa yang berhubungan tak langsung dengan kenyataan (narasi fiksional). Namun, dalam proses penafsiran, sering ditemukan bahwa ragam narasi faktual pun diperlakukan seperti ragam narasi fiksional.
Mungkin, kita masih ingat pernyataan Wiwi adalah presiden boneka yang dipasang oleh Sembilan Naga untuk mengamankan kepentingan ekonominya atau pernyataan Wowo adalah seorang jenderal purnawirawan yang gagal menjadi presiden karena tersandung kasus HAM di era Orde Baru. Kedua pernyataan itu dikonstruksi sedemikian rupa melalui kecanggihan teknologi informasi dalam berbagai bentuk konten di media sosial, seperti dalam berita, caption, meme, video, dsb.
Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa internet telah memproduksi konten-konten sebagai ekspresi simbolik para penggunanya (pemroduksi-pengonsumsi) dalam narasi yang mirip fiksi, yang tidak menuntut perjumpaan atau kontak langsung dengan narasumber, bersifat simbolik dan tidak perlu pembuktian faktual, dan menuntut kebenaran dalam realitas simbolik (citraan digital).
Selain itu, kita dengan sadar atau tak sadar meyakini bahwa realitas itu ada. Model interpretasi narasi fiksional yang diterapkan pada narasi faktual dalam konten-konten internet pun terjadi karena sifat internet yang serbacepat, luas, dan masif dalam menyebarkan informasi. Hal ini telah membuat fakta dan fiksi menjadi bias dan cenderung subversif. Sementara di pihak lain, keberlimpahan konten telah memosisikan pengonsumsi konten untuk mendapat informasi dengan serbacepat, tepat, dan praktis.
Pandemi Kleptoteks | Konten dibuat dengan referensi peristiwa nyata yang dituliskan, dilisankan, dan divideokan, seperti pada teks berita. Namun, konten juga dapat dibuat dengan referensi jejaring konten yang melingkunginya tanpa harus mengacu pada peristiwa nyata. Singkatnya, konten hadir dari keberjamakan konten yang telah ada.
Dengan perilaku unggah dan unggah ulang konten oleh warganet, konten mendapatkan energi replikasi yang tak terbantahkan. Sebagai contoh, konten yang kemudian mendapat banyak apresiasi warganet (viral) dapat merangsang warganet lainnya untuk mereplikasinya dalam bentuk utuh, dalam bentuk pengurangan atau penambahan, atau membuat baru, seperti pada aplikasi Tiktok.
Hal ini sangat mungkin terjadi. Namun, saya akan mengulasnya bukan dari peniruan kontennya, melainkan dari kebiasaan mereplikasi konten dalam peristiwa mengunggah dan mengunggah ulang konten yang dikonsumsi. Dalam hal ini saya menduga bahwa dalam perilaku berkomunikasi di dunia maya, boleh jadi, kita telah mewajarkan replikasi dan kreasi ulang konten.
Boleh jadi, semesta teks yang terentri di dunia maya memang memosisikan kita memiliki kebiasaan untuk unggah dan unggah ulang konten. Sebabnya, konten yang dimaui pasar adalah konten yang viral, yang banyak dikunjungi warganet. Dari sini, kalkulasi kapital muncul. Siapa yang bergegas masuk ke aras ini, dia mendapat imbalan finansial.
Gejala psikis ini dapat menimpa siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Gejala psikis yang didukung oleh budaya populisme ini memang menjanjikan untuk serius ditekuni sebagai profesi atau sekadar iseng dengan tujuan tertentu. Bolehlah kita katakan gejala psikis yang sadar atau tak sadar seperti virus ini menjadi pandemi kita bersama. Virus baru ini mungkin kita katakan kleptoteks.
Mitos Baru | Kodifikasi masif melalui serangkaian signifikasi atas ekspresi simbolik konten dalam penerimaan penanggap terjadi setiap kita mengakses media internet. Tentu, penerima di sini adalah pengonsumsi konten yang sadar menggunakan internet, terutama media sosial. Namun, dalam proses penafsiran konten, pengonsumsi teks sering terjebak dalam prosedur penafsiran fiksi sehingga menghasilkan narasi subversif.
Peristiwa interpretasi seperti ini mirip dengan peristiwa penafsiran atas narasi ambivalen yang dikenal di masyarakat dengan istilah mitos. Ambivalensi mitos terjadi karena ketegangan terma mitos, yakni (1) narasi yang berhubungan dengan sistem keyakinan atau agama dan (2) narasi yang direduksi sebagai fiksi atau cerita bohong.
Kedua terma mitos ini menuntut kerelaan kita untuk memperlakukannya sebagai narasi tanpa pembuktian faktual. Namun, tidak semua narasi yang ada dalam media sosial dapat menjadi mitos. Setidaknya, kredibilitas pemroduksi, baik individu atau organisasi, dapat menjamin realitas simbolik konten sebagai informasi yang referensi dan maknanya mengacu pada realitas faktual.
Akhirnya, diperlukan kajian lebih mendalam dan spesifik atas narasi dalam relasi horizontal antarnarasi (relasi sintagmatik) dan relasi vertikal antarkekuatan sosial dalam struktur kemasyarakatan (relasi paradigmatik). Sebabnya, narasi subversif yang hampir seperti mitos ini adalah konsumsi sehari-hari masyarakat di era digital.
Mungkin, kita dapat menyebut dalam deretan panjang narasi yang hampir menjadi mitos, seperti narasi komunis versus khilafah, narasi cebong versus kadrun, dsb. Narasi-narasi yang dikodifikasi masif oleh para pembuat mitos, terutama di media sosial.
Mangkubumi, 22 Oktober 2021.
Nizar Machyuzaar merupakan narateks dan ketua Mata Pelajar Indonesia. Karya tulis dimuat di laman artikel Badan Bahasa (Kemdikbudristek), Koran Tempo dan Majalah Tempo, Harian Kompas, Harian Umum Pikiran Rakyat, Koran Sindo, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Karya: buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Terbaru, artikel bahasa dimuat di Kolom Bahasa Majalah Tempo, Kolom Bahasa Harian Nasional Kompas, Wisata Bahasa Harian Umum Pikiran Rakyat, artikel bahasa di beberapa portal berita digital, seperti badanbahasa.kemdikbud.go.id, kapol.id.