Merawi Manakib Bawor
Karya: Mufti Wibowo
Tak ada keramat bagi Bawor. Dia bukan sebongkah asteroid bernyawa yang tak tersaring atmosfer yang tiba-tiba bercokol di bumi pada suatu malam yang paling sunyi. Tidak. Dia saudara lelakiku. Kami murid Kiai Semar.
Saat aku merawikan ini, jasad Bawor baru saja ditanam di liang lahat dengan protokol Covid-19. Aku berusaha keras tak menambahkan terlalu banyak atau mengurangi sesedikit mungkin hal-hal yang mungkin mencemari dan akan menyebabkan setiap kebenaran menjadi bias. Semua bersumber dari apa yang terekam dalam ingatanku belaka.
Seperti kisah yang satu ini. Saat itu, kami berdua harus bermalam tiga malam berturut-turut di dalam keranda tanpa mengenakan sehelai pun kain —sesuatu yang semula kupikir kesialan sebab dia kalah dalam pertaruhan itu —Rumidi mendapat suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa. Celaka sekali Bawor; mengapa aku ikuti saja kemauannya saat dia menjadikanku sebagai bagian dari taruhannya. Dia sungguh payah seperti saudara tertua Pandawa itu.
Namun, karena kekalahan itu pula, aku jadi dapat merawikan semua ini kepadamu. Jika ada yang membuat aku tak habis pikir dan mengingatnya sebagai kekonyolan adalah Bawor sepanjang malam bisa tidur sangat pulas dan ngorok hebat. Sementara aku tersiksa oleh bisikan-bisikan setan yang menggoda. Setelah hukuman itu berakhir lunas, dia memberi uang yang persis jumlahnya dengan biaya persalinan istriku.
Bawor memang asu. Beberapa hari kemudian, dia baru mengatakan dari mana memperoleh uang untuk biaya persalinan istriku yang tanpa rencana harus operasi caesar. Dia bilang mendapatkan dari togel empat angka yang dia pasang sehari sebelumnya. Sebagai ganjaran, aku memberi dia sebuah tinju yang membuat hidungnya berdarah. Bawor nyengir menahan sakit. Dengan begitu, aku telah memaafkannya. Lantas dia memberi pelukan seorang ayah. Dia membuatku kehilangan kehormatan seorang pria; aku menangis.
Saat bulu-bulu halus di kemaluanmu berubah menjadi helai-helai tebal dan lebat, Bawor dijangkiti sakit aneh. Ia tak pernah lagi tidur hingga bertahun-tahun kemudian. Itu dia lakukan atas kemauan pribadi untuk menghukum dirinya lantaran setiap kali tidur, ia selalu bermimpi berjumpa dengan mantan kekasihnya. Tidak pernah tidak, mimpi itu selalu berakhir dengan adegan bercinta yang hebat. Penyakit aneh itu baru benar-benar hilang setelah ibumu meninggal karena penyakit hati, bukan liver. Ibumu adalah pengidap skizofrenia. Ia kerap melihat sesuatu yang tak orang lain lihat. Celakanya, penyakit gila itu justru membuatnya bisa melihat mimpi-mimpi Bawor. Seolah dia melihat film yang diproyeksikan dari mimpi Bawor.
Kamu jangan terkejut, nama kekasihnya sama dengan nama anakku. Nama anakku adalah nama pemberian Bawor, atas permintaanku.
Sebagai penulis cerita, tak tidur berarti menjadi waktu produktif. Pada saat itulah lahir sebuah novel yang isinya akan kuceritakan padamu. Kamu tahu, karena suatu hal, buku itu kemudian dinyatakan terlarang beredar di negeri ini. Setiap orang yang ketahuan menyimpan buku itu di dalam rumah akan dibakar bersama buku dan rumahnya.
Kudengar kamu juga pandai menulis. Tulisanmu kerap muncul di halaman koran-koran orang Jakarta itu. Dengan alasan itu, aku ingin kamu tahu semua cerita ini.
***
Suatu hari, berita kematian seorang perempuan 40-an di sebuah apartemen seakan menjadi wabah yang menjangkit melalui televisi, media sosial, hingga koran. Wanita itu mati dalam keadaan sendirian dan dalam puncak karier; barang tentu mapan secara ekonomi dan berpendidikan. Ia mati dalam keadaan telanjang dan memeluk sebuah novel setebal 512 halaman berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci.
Kamu tahu, itulah karangan Bawor yang dilarang itu. Laporan polisi menyebutkan dia mati dengan cara yang sama yang dilakukan seorang tokoh dalam buku yang dipeluknya. Tokoh perempuan dalam novel itu mati dalam keadaan menanti kekasihnya.
Kesialan itu berpangkat, sebab rak di apartemen perempuan itu hampir seperempat berisi buku karangan Bawor. Sisanya adalah buku-buku bermutu karya penulis dunia lintas generasi yang pada bagian sampul dalam tertera nama Bawor beserta variasi titi mangsa yang entah menyiratkan apa. Setiap variasi memiliki tujuh dan delapan judul buku berbeda. Variasi itu terletak pada angka 1 sampai 12 yang sepertinya merujuk jumlah bulan dan tahun yang membuat pola variasi 2013—2020, sedangkan untuk tanggal selalu ajek 14. Dengan asumsi ada hampir 100 buku koleksinya, buku-buku itu adalah pemberian setiap bulan sekali oleh orang yang sama pada rentang waktu delapan tahun terakhir.
***
Malam itu, Bawor dicokok polisi di rumahku. Polisi menemukan riwayat komunikasi yang panjang antara Bawor dan perempuan yang ditemukan mati itu jauh sebelum berita kematiannya. Riwayat komunikasi itu berakhir beberapa bulan saja sebelum kamu lahir. Aku tak yakin ingat pasti waktunya, tetapi komunikasi itu terjalin kembali bertahun-tahun kemudian melalui media sosial. Itulah saat Bawor dijangkiti penyakit aneh tak pernah tidur.
Saat sidang pertama dengan agenda jaksa membacakan tuntutan, tak tampak ekspresi berlebihan di wajah Bawor yang telah berstatus terdakwa. Penampilannya waktu itu justru mengingatkanku pada cara berpakaian pelajar SMK yang sedang magang menjadi sales panci atau sejenisnya; dengan celana bahan berwarna hitam dan atasan hem lengan berwarna putih susu yang tampak terlalu pucat. Yang membuatnya tampak wibawa adalah peci hitam yang dia kenakan. Itulah satu-satunya hal yang ia minta dariku seumur hidup.
Saat mendengar dia didakwa bersalah atas kematian wanita yang memiliki nama yang sama dengan anakku, Bawor justru nyengir kuda. Kelucuan berikutnya adalah saat Bawor dan majelis hakim sama-sama tertawa — lebih karena terkejut daripada perasaan konyol — ketika mendengar jaksa mengajukan tuntutan hukuman.
Sang hakim mengernyitkan dahi. Sepertinya ia sedang memastikan itu adalah pengalaman pertama setelah bertugas selama 30 tahun. Itulah yang bisa kusimpulkan dari seberapa tebal lemak yang tertimbun di perutnya yang buncit. Juga dari helai-helai rambut di kepalanya yang tak menyisakan sehelai pun yang warna hitam. Bawor yang didakwa bersalah karena kerja kepengarangannya itu, untuk beberapa saat membulatkan bibir seperti ikan mas. Bukan hukuman mati atau penjara ratusan tahun, melainkan jaksa menuntut dengan hukuman cuci otak atas indikasi gegar otak yang pernah dia alami dan menimbulkan efek traumatik. Itulah yang konon tercermin dalam buku-buku Bawor — untuk membuktikan dakwaan itu, jaksa menghadirkan Prof. Faruk sebagai ahli dalam bidang sosiologi sastra.
Pada sidang berikutnya, ketika hakim memberikan kesempatan memberikan jawaban atas tuntutan jaksa, Bawor malah menghabiskan waktu lima belas menit pertama untuk tertawa, terpingkal-pingkal. Saat tertawa itu juga, mata Bawor menyipit hingga terpejam sama sekali, lalu jatuh tidur. Itulah untuk kali pertama Bawor sembuh dari penyakit tak bisa tidur.
Lima belas menit kemudian, Bawor terbangun dari tidur setelah dikejutkan oleh tusukan jarum suntik di bokong oleh seorang petugas medis yang memprediksi ia mendapat serangan jantung. Pada saat itu juga dia menyatakan siap mengikuti persidangan dengan satu permintaan ganjil: sebotol vodka. Atas pertimbangan hakim, semua pihak yang berperkara dan hakim berhak atas satu sloki vodka. Tak lebih. Setelah itu, sidang pun berjalan lancar.
Dua bulan kemudian, sidang vonis menyebut Bawor dinyatakan bersalah atas kematian mantan kekasihnya. Hal-hal yang dianggap memperberat adalah unsur intrinsik buku ceritanya yang berpotensi melemahkan otak setiap pembaca, oleh sebab itu buku itu dinyatakan dilarang beredar dan yang telanjur beredar ditarik kembali.
Bawor dianggap mengangkat cerita yang membuat pembaca merasa bebas memilih antara hidup atau mati. Buku itu juga mengajak pembaca bercita-cita masuk ke surga. Sementara, ia menyuruh pembaca mencari kunci surga itu, yang sebelumnya telah ia lempar ke tengah samudra. Hakim menyebut hal-hal itu cukup untuk membuktikan Bawor secara sistematik mengarahkan pembaca untuk menjadikan mati sebagai satu-satunya metode generik menemukan kebahagiaan. Yang dilakukan Bawor disamakan dengan kerja para ilmuwan yang menyemai radioaktif atau bibit virus Covid-19 di dalam laboratorium yang bertanggung jawab mengancam kematian jutaan umat manusia.
Lebih dari itu, Bawor disebut sebagai lelaki yang tak setia dan tak bertanggung jawab karena menelantarkan istrinya yang mengidap skizofrenia akut setelah melahirkan. Ia berselingkuh dengan cinta pertamanya yang dimulai pada 14 Februari saat Bawor berusia lima belas.
Bawor tak sedikit pun menunjukkan rasa bersalah, tapi juga tidak melakukan upaya hukum lanjutan untuk membanding vonis hakim. Dua tahun kemudian, eksekusi atas hukuman itu dijalankan. Tengkorak Bawor dipecah, membuka jalan untuk mencuci otaknya.
Setelah operasi itu dinyatakan sukses, negara mengembalikan Bawor ke pihak keluarga. Bawor menjadi sesosok bayi dengan ukuran raksasa. Sungguh menggelikan. Dia belajar bicara dan menghafal nama-nama benda. Hingga suatu ketika, ia membunuh seekor kucing jantan liar yang sedang saling tindih dengan kucing betina miliknya.
Fakuntsin, 2021
Mufti Wibowo berdomisili di Purbalingga. Dapat dihubungi melalui alamat surat elektronik bowoart60@yahoo.co.id.