Kanon Covid-19
ON STAGE TEATER KOSONG: HANYA LAYAR HITAM DAN LANTAI GELAP – MUNGKIN ADA BEBERAPA LEVEL. SAYUP-SAYUP TERDENGAR SUARA DERU PESAWAT HELI, MAKIN MENDEKAT, DISERTAI SOROT LAMPU MENCARI SASARAN, HINGGA SUARA DERU DAN SOROT LAMPU MENGHILANG. TINGGAL LAMPU REDUP DAN SUASANA MENCEKAM. SEPI, SINTRUH. TAPI ADA GERAKAN DUA ORANG LELAKI DAN PEREMPUAN, ANGIN DAN KUNANG SALING MENCARI DAN MEMANGGIL DENGAN DESAH TERTAHAN. SELEBIHNYA SUARA JENGKERIK DAN KATAK.
KUNANG MENGENDAP-ENDAP MEMBAWA KURUNGAN-AYAM BESAR.
ANGIN : (Mengendap dari sudut belakang, di antara level, membawa ponsel dengan cahayanya) Kunang..!
KUNANG : Angin..!
ANGIN : Kunang..!
KUNANG : Angin..!
SUARA JENGKERIK DAN KATAK TERDENGAR SEPANJANG PERTUNJUKAN.
PENCERITA 1 : (Di meja di sisi kiri panggung menghadapi laptop) Tanggul itu di hari-hari kemarin adalah tanggul terindah. Tanggul sungai membelah kota menjelma taman terpanjang. Bersama beberapa bangku dan lampu-lampu. Bintang-bintang bagai menyatu dengan ribuan bulan segi empat gedung-gedung tinggi. Bagai mencermin kunang-kunang di permukaan sungai. Di hari-hari kemarin inilah taman pertemuan, tempat berjanji, juga musik koplo. Sekarang sunyi menyaput diembus angin dingin menjekut tanah dan pohonan.
PENCERITA 2 : (Di sisi kanan panggung dalam pigura) Di lereng tanggul gubug-gubug plastik sudah ditinggalkan. Tinggal kibarannya mencipta musik tiupan angin. Bagai nafiri dunia gaib, seakan muncul dari sepasang pipa raksasa air serupa jembatan. Bersama desah suara perempuan seperti bernyanyi irama maya.
KUNANG : Angin, angin, ke mana kau pergi, kau tinggalkan aku di saat seperti ini…
ANGIN : Aku tidak ke mana-mana, aku di sini…
PENCERITA 1 : Ia memang memanggil Angin karena datang dan pergi seperti angin. Dan, Angin memanggilnya Kunang sebab suka melihat kunang. Angin akan datang dan membawa kabar dari gadget yang hidup kembali. Tentang keadaan sekarang yang membuatnya takut. Ia hanya bisa berharap Angin akan datang, tidak berberita data, tapi mengungkap pikiran yang ia sukai.
PENCERITA 2 : Ya, orang-orang di gedung-gedung tinggi itu dicekam rasa takut. Sedang dirinya hanya takut saat Angin pergi, dan begitu datang tak ada lagi rasa takut. Di sini tak ada pengurungan diri. Meski di gubugnya, di bawah jembatan, dekat sungai dan dekat kunang. Meski di tiap perjumpaan kembali rasa cemas mengilukan dada.
ANGIN : Aku tidak melihat seorang pun di jalan,
di stasiun juga tak ada lagi kereta lewat…
KUNANG : Stop, jangan kau kabarkan berapa hari ini yang sakit apalagi berapa yang mati… (Selalu ia kemudian sodorkan gelas kopi dari tungku. Lalu mereka merokok sembari menyeruput kopi. Sebagai orang Tegal sudah ia masakkan nasi ponggol setan yang disukai Angin. Walau Angin datang dari gedung-gedung tinggi itu. Mereka hampir seusia, hanya nasib beda, antara kaum menara kota dan urban pinggiran terbuang). Apa yang lebih indah dari pertemuan, apalagi ada kopi dan udud…
ANGIN : Masak apa kamu hari ini?
KUNANG : Biasa menu rakyat ala warteg. Coba tebak…
ANGIN : Ponggol setan..!
KUNANG : Pinter! Ada berita apa hari ini, Pinterku…
ANGIN : Dengar ini… (MEMBACA MELALUI GADGED DENGAN CAHAYA PONSEL MENCERCAHI WAJAHNYA)
KUNANG : Apa, Anginku…
ANGIN : Ini catatan nama-nama virus perenggut prosentase populasi dunia. Khusus di era kejayaan kapitalisme. 2003 Sars 10%, 2009 flu babi 4,5%, 2014 Ebola 25%. Kemudian di 2018 Bill Gates meramal, sesudah Ebola akan datang virus baru yang memakan korban tidak pandang bulu.
Bagi Bill, kekejaman virus melebihi perang nuklir sekali pun, bahkan tidak ada milisi yang mampu membarikade walau secara block down. Terbukti di 2020 di hari ke 78 COVID-19 telah membunuh 2% populasi manusia sedunia.
Setelah Bill apakah prediksi Yuval Noah Herari benar adanya. Bahwa era genetika-chips-teknologi pasca virus adalah era, “awal sebelum akhir”. Yakni era Homo Sapiens menuju Homo Deus. Setelah pesta kebersamaan, manusia akan hidup personae mengurung diri dan lebih percaya kepada Tuhan baru bernama ‘data raya’.
* * *
KRAMAGUNG — Angin berkostum serba jins belel dengan banyak lobang angin. Meski diceritakan, saat di rumah ia anak manis di hadapan papie–mamie. Kunang berpakaian biasa, meski sebentar nanti bagai sulapan, berubah menjadi bidadari. Setelah ia menyanyi yang dihafal Angin, sebab suka adegan sintren yang selalu disajikan Kunang. Suara tembangnya menyepi-nyepi menyelinapi beton dan baja kota, mengalun dan melantun.
KUNANG :
Turun turun sintren
Sintrene Widadari
Ana kembang yona-yoni
Ana kembang yona-yoni
Sintrene temuruna…
PENCERITA 1 : Cahaya hanya sinaran kuning lampu mercuri membias dari balik jeruji besi. Lalu bunyi tiang listrik dipukul batu beberapa kali tanda pukul berapa. Kunang masuk ke dalam kurungan ayam tertutup sarung. Di antara biasan cahaya mercuri muka Angin bagai takjub, seperti ingat orang-orang yang mengurung diri karena wabah penyakit. Ia seperti mau protes, ini memang wabah penyakit, mengapa banyak orang bicara kematian tersia.
PENCERITA 2 : Angin ingin mengatakan hal itu kepada Kunang di dalam kurungan, tapi terdengar lagi tembang sintren Kunang yang mengurung diri. Seperti suara nestapa dan kesedihan orang terkurung dan terancam suara-suara kematian. Turun-turunlah sintren, sintren-nya bidadari, menemu bunga warna-warni, o sintren turunlah. Pelan-pelan kurungan terkuak, dan muncullah Kunang sudah berias dandan layak ronggeng. Menari Kunang dalam tarian gemulai, diiringi tembangnya yang meluluh jauh.
PENCERITA 2 : O membayang serasa tak jauh, mayat-mayat korban wabah terbungkus plastik di pinggir jalan. Lalu tarian sintren, adakah gerak dalam sunyi. Sunyi dalam kesedihan, nestapa menunggu giliran. Sampai di mana wabah menjarah nyawa tak pandang sesiapa. Juga peti mayat terbuat dari kardus, menunggu diambil atau dikuburkan. Orang-orang di mana-mana bermasker, menjaga diri, menjaga jarak antara.
PENCERITA 1 : Bahkan bukan hanya orang, kota pun disemprot cairan antivirus. Jalan raya, kampung, pasar, perkantoran, rumah ibadah. Akan tetapi jumlah yang sakit dan yang mati terus meningkat. Di negara-negara maju korban lebih banyak, kemudian di negara-negara berkembang. Angin terpana pandang dalam tarian Kunang bagai virus ada tiada, menyepi-nyepi jiwa terlara.
KUNANG : Angin, bagaimana menurutmu virus mematikan itu..?
ANGIN : Dengar ini… Kapitalisme bukan mati oleh corona. Tapi karena inverioritas pelakunya yang terdidik kapitalisme terlalu mendramatisir. Bahkan mereka seperti mengalami ilusi-delusi massal. Ya kalau itu dialami satu-dua orang biasa pelebay. Bagaimana kalau itu dirasakan pemimpin, akan bagaimana jadinya. Betapa banyak negara akan hancur oleh mahluk kecil lemah yang bahkan tidak kasat mata.
Penyakit personae-individual itulah yang membuat mereka mengalami trans lalu melakukan ‘bunuh diri’ secara liberal. Sebagian bahkan sungguh menjadikannya panggung politik, sebagai permainan ala Joker di tengah wabah, dengan trik-trik ketakutan dan kecemasan.
Baik, saya mau menarik dua kemungkinan pembenaran. Pertama, bahwa kalau COVID-19 membuat kiamat kapitalisme, dan kalau kita memang sudah kapitalis, maka suka atau tidak suka kita mesti kembali ke sosialisme, mulai belajar menjadi manusia sosialis, sebelum kita memilih barbarian.
* * *
PENCERITA 1 : Benarkah virus itu begitu kecil, bahkan tak kasat mata, batin Angin. Virus Covid namanya. Betapa dalam khayalnya, begitu besar, lebih besar dari dunia, karena kekuasaannya begitu mencekam jagad. Apakah ia semesta yang bangkit maya tapi nyata pandeminya. Seperti yang dirasakannya, inikah cinta, bagian dari maya sang rindu begitu nyata dalam tarian sintren. Kunang yang maya sebagai perempuan entah berentah, tapi serasa nyata dalam rasa.
KUNANG : Ada apa Angin..? (tanya nyanyi Kunang berhenti menari, gemulai menghampiri Angin).
ANGIN : Terbalik..! (Menyanyikan lagu puisi Umbu Landu Paranggi) Apa ada angin di Jakarta…
ANGIN dan KUNANG (bernyanyi):
Seperti dihembus desa melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosar Yang diam di dasar jiwaku
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya…
KUNANG : Kamu mau pulang ke desaku, Angin..? (Bersimpuh ke dekat Angin. Senyumnya mengembang melihat Angin mengangguk, lalu membisik) Tapi kita tak boleh mudik… (Dalam jarak sepencium mereka bertatapan bagai saling berita. Lalu desah nyanyi mereka, merampungkan lagu puisi)
Pulanglah ke desa/Membangun esok hari/Kembali ke huma berhati
(Angin menghela serangkum napas)
KUNANG : Sekarang aku tahu, seperti katamu sintren bisa menjelma bidadari dengan satu syarat masih perawan…
(Tawa Kunang mendecah)
KUNANG : Padahal itu tak mungkin untukku.
ANGIN : Mungkin…
KUNANG : Kok..?
ANGIN : (Membisik) Hatimu perawan…
PENCERITA 2 : Dibiasi remang cahaya bayangan mereka menyatu, dalam bayangan hitam wabah terkelam. O bayangan terlempar bayang, dalam cinta yang ternyata hanya kepingan rindu mendera kalbu. Seperti desah, seperti nyanyi, seperti bisik, seperti dendam, seperti jeritan, seperti diam. Juga aroma melati di antara bau mayat, dalam bayangan paling sarat larat…..
PENCERITA 1 : Lalu mayat-mayat terapung terbawa aliran sungai membelah kota…
ANGIN : Hai, Yuval Noah Herari, benarkah kita sedang bergerak dari Homo Sapiens ke Homo Deus. Kita mulai hidup sendiri di rumah masing-masing sambil meyakini data teknologi. Dan aku harus percaya pada Tuhan baru bernama Data Raya..?!
KUNANG : Angin, di mana kau Angin..Angin..Angin…!
ANGIN DAN KUNANG SALING MENCARI DAN MEMANGGIL DENGAN DESAH TERTAHAN. SELEBIHNYA SUARA JENGKERIK DAN KATAK.
KUNANG : Angin, di mana kau Angin,,Angin..Angin…
ANGIN : Kunang..Kunang..!
KUNANG : Angin..jangan lari Angin..jangan lari..!
ANGIN : Kunang..Kunang..!
KUNANG : Angin..kmbalilah Angin..kembali..!
ANGIN : Kunang..Kunang..!
SAYUP-SAYUP TERDENGAR SUARA DERU PESAWAT HELLY, MAKIN MENDEKAT, DISERTAI SOROT LAMPU MENCARI SASARAN.
MUNCUL 5 ORANG PENGAMAN.
PENGAMAN 1 : Berhenti!
PENGAMAN 2 : Berhenti..jangan lari..!
PENGAMAN 3 : Berhenti..saudara kami amankan!
PENGAMAN 4 : Berhenti..angkat tangan..!
PENGAMAN 5 : Menyerahlah, saudara kami tahan..!
SAYUP-SAYUP TERDENGAR SUARA DERU PESAWAT HELLY, MAKIN MENDEKAT, DISERTAI SOROT LAMPU MENCARI SASARAN, HINGGA SUARA DERU DAN SOROT LAMPU MENGHILANG.
KUNANG : Angin..Angin…
KUNANG BERKESIAP LARI, KEMUDIAN MASUK KE DALAM KURUNGAN, MENYANYI SINTREN:
Turun turun sintren
Sintrene Widadari
Ana kembang yona-yoni
Ana kembang yona-yoni
Sintrene temuruna…
KUNANG KELUAR DARI KURUNGAN SUDAH BERDANDAN, MENARI SINTREN
KEMBALI TERDENGAR SUARA DERU PESAWAT HELLY, MAKIN MENDEKAT, DISERTAI SOROT LAMPU MENCARI SASARAN, MENYOROT KUNANG YANG TERUS MENARI SINTREN.
MUSIK GAMELAN SINTREN MENYENTAK DAN MENGALUN
Semarang 21 April 2020
Eko Tunas
Sastrawan Indonesia. Seniman serbabisa. Menulis, melukis, berteater sejak SMA. Lahir di Tegal tahun 1956. Sekarang tinggal dan menetap di Semarang.