Jejak Pengaruh dan Makna Puisi Liris Chairil Anwar
oleh: Ranang Aji SP
“Hati setiap pemuda adalah kuburan yang di dalamnya tertulis nama-nama seribu seniman yang telah mati, tetapi penghuninya yang sebenarnya hanyalah beberapa hantu perkasa, seringkali antagonis.”
-Andre Malraux-
Puisi-puisi Chairil Anwar secara umum – seperti kita baca, dipenuhi dengan sajak-sajak liris yang bisa saja banyak dipengaruhi persinggungan dengan bacaannya pada puisi-puisi modern, seperti Stéphane Mallarmé, Rilke, Rimbaud, Auden, dan lain-lain di luar sastra lokal yang berkembang di masa kolonial. Beberapa puisi lirisnya bisa kita baca dalam suasana eligi dan lainnya ode. Namun, rasukan puisi Amir Hamzah terasa juga meresap dan memberi pengaruh, misalnya dalam bentuk, puisi Chairil Anwar yang sarat skema sajak yang tidak terlalu banyak bisa kita dapatkan pada puisi WH Auden atau penyair-penyair barat modern lain yang lebih bebas, ketika Chairil sempat menuliskan terjemahananya. Dalam jangkauan yang lebih dekat, puisi Chairil Anwar secara bentuk rima atau sajak – justru nyaris serupa dengan puisi Amir Hamzah yang jelas dia kritik dengan menyertakan pujian sebagai modern dan padat[1]. Namun, nama Stéphane Mallarmé yang dianggap nabi modernisme di Prancis mungkin sedikit banyak juga memberikan jejak pengaruh penerapan unsur sintaksis dalam puisi Chairil. Meskipun penyair Prancis itu dalam beberapa puisinya masih setia dengan gaya soneta dan alexanderia dengan pola 12 suku kata, tetapi puisi tradisionalnya dinilai menapakkan revolusi linguistik, khususnya unsur sintaksis yang melampaui makna. Penerapan monometer dalam baris-baris puisi lirisnya juga kita dapatkan dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Puisi Mallarmé yang paling besar secara modern Un coup de dés jamais n’abolira le hasard (1914), sedikit meyakinkan itu.
UN COUP DE DÉS JAMAIS QUAND BIEN MÊME LANCÉ DANS DES CIRCONSTANCES ÉTERNELLES
DU FOND D’UN NAUFRAGE
SOIT
que
l’Abîme
blanchi
étale
furieux
sous une inclinaison
plane désespérément
d’aile
la sienne
par
avance retombée d’un mal à dresser le vol
et couvrant les jaillissements
coupant au ras les bonds
très à l’intérieur résume
l’ombre enfouie dans la profondeur par cette voile alternative
jusqu’adapter
à l’envergure
sa béante profondeur en tant que la coque
d’un bâtiment
penché de l’un ou l’autre bord
Puisi Mallarmé tersebut, bila kita bandingkan dengan puisi-puisi lirik Chairil yang dianggap mewakili perubahan posisi sintaksis dalam linguistik puisi Indonesia setelah era Pujanga Baru nyaris memiliki persamaan. Sebagai contoh, puisi “Diponegoro”, Chairil menempatkan satuan kata monometer dalam beberapa baris seperti halnya puisi Mallarmé.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Sejarah Lirisme dan Chairil
Puisi liris, tentu saja, seperti tradisi awalnya di masa Yunani kuno, adalah bagaimana perspektif seorang penyair meletakkan persepsinya tentang suatu hal atau tentang kehidupan personal (individu) dibentuk. Biasanya orang pertama menjadi point of view (pov) atau sudut pandang tertentu. Penggunaan orang pertama ini memudahkan penyair mengawal imajinasi. Selain Amir Hamzah (penyair yang ada dalam catatan Chairil Anwar dalam perjalanan pendeknya sebagai penyair), tentu banyak penyair liris yang bermunculan di dunia sebelum Chairil Anwar, terutama pada masa romantisme dan modern. Sebagai contoh, Sappho, yang tercatat sebagai penyair liris pertama di dunia. Menurut catatan sejarah, Sappho merupakan wanita penyair yang dilahirkan di Lesbos sekitar 620 SM. Dia pernah diasingkan ke Sisilia pada kurun 594 hingga 604 SM. Puisi Sappho, beberapa di antaranya bersifat homoerotik, “lesbian” dan “sapphic” yang memiliki denotasi dan konotasi seksual. Salah satu puisi bernomor XII di bawah ini – diterjemahkan dalam Inggris dan dipublikasikan The Academy of American Poets, bisa menjadi contoh puisi liris pertama di dunia dan pembanding:
In a dream I spoke with the Cyprus-born,
And said to her,
“Mother of beauty, mother of joy,
Why hast thou given to men
“This thing called love, like the ache of a wound
In beauty’s side,
To burn and throb and be quelled for an hour
And never wholly depart?”
And the daughter of Cyprus said to me,
“Child of the earth,
Behold, all things are born and attain,
But only as they desire,—
“The sun that is strong, the gods that are wise,
The loving heart,
Deeds and knowledge and beauty and joy,—
But before all else was desire.”.
Terjemahan XII dalam Indonesia:
Dalam sebuah mimpi aku bicara pada Cyprus
yang melahirkan,
Dan berkata padanya,
“Ibu dari kecantikan, ibu dari kegembiraan,
Mengapa kau lahirkan seorang pria?
“Itu disebut cinta, seperti rasa sakit dari luka
Di sisi kecantikan,
terbakar dan berdebar sejam sebelum padam
Dan tak sepenuhnya menghilang?”
Dan putri Siprus berkata kepadaku,
“Anak bumi,
Lihatlah, segala sesuatu dilahirkan dan dicapai,
Tapi hanya seperti yang mereka inginkan,—
“Matahari yang kuat, para dewa yang bijaksana,
Hati yang penuh kasih,
Amal dan pengetahuan, keindahan dan kegembiraan,—
Tapi sebelum segalanya adalah keinginan.”.
Puisi liris Sappho tersebut, mungkin saja tak langsung memengaruhi gaya puisi Chairil Anwar, tetapi mengalir melalui Horace, misalnya, yang melahirkan mode ‘Ode Horatian’ hingga penyair masa romantisme dan moderinisme di akhir abad-19 yang kemudian terbaca oleh Chairil. Puisi liris biasanya mengacu pada puisi pendek, seringkali dengan kualitas seperti lagu yang mengungkapkan emosi dan perasaan pribadi penyair. Secara historis memang dimaksudkan untuk dinyanyikan bersama iringan musik. Oleh sebab itu, puisi Chairil Anwar biasanya pendek-pendek dan bersifat referensi diri dengan tekanan pengaruh modernisme yang salah satu cirinya adalah membawa semangat individual, selain bentuk konvesionalnya yang bersajak. Barangkali, pilihan artistik itu adalah pilihan yang disengaja mengingat nuansa musikalnya yang secara naluriah diidamkan oleh banyak seniman. Walter Pater, misalnya, menulis, “Semua seni terus-menerus bercita-cita menuju kondisi musik[2]. Aristoteles sendiri menyebutkan puisi liris (dimainkan pada cithara, alat musik yang mirip dengan lyre, sebuah alat cikal bakal gitar modern) dalam bukunya Poetics. Namun, puisi liris pada mulanya polanya tidak berirama hanya menggunakan meteran iambik atau yang didasarkan pada jumlah suku kata atau tekanan – dengan dua suku kata pendek biasanya dapat ditukar dengan satu suku kata panjang, tetapi pada tahun-tahun awal abad ke-20, puisi liris berubah menjadi berirama, biasanya mengungkapkan perasaan penyair, adalah bentuk puisi yang dominan di Amerika, Eropa, dan koloni Inggris. Penyair Inggris seperti AE Housman (1859-1936) dan Walter de la Mare (1873–1956) menggunakan lirik berirama yang membawa nada ruminatif. Contoh puisi Housman dan Mare:
Now, of my threescore years and ten,
Twenty will not come again,
And take from seventy springs a score,
It only leaves me fifty more …
-Loveliest of trees, the cherry now, AE Housman –
Where the bluebells and the wind are,
Fairies in a ring I spied,
And I heard a little linnet
Singing near beside.
-Bluebell, Walter de la Mare-
Namun, perubahan tersebut kembali terjadi terutama dengan pengaruh yang meluas dari lahirnya puisi-puisi bebas Walt Whitman yang juga memengaruhi vers libre Perancis, termasuk puisi prosa Charles Baudelire di abad-19, dan selanjutnya memengaruhi puisi-puisi avant-garde Ezra Pound dan TS Eliot di abad-20. Di Timur sendiri, selama abad kedelapan, penyair Jepang juga mengekspresikan ide dan emosi mereka melalui ‘Haiku dan Tanka’. Puisi Imagisme Ezra Pound bahkan mengadopsi bentuk Haiku dan Tanka selain simbolisme Perancis. Di China, Tao Li Po (710–762), penyair Tiongkok mengekspresikan kehidupan pribadinya melalui puisi lirik dan menjadi salah satu penyair paling terkenal di Tiongkok. Puisi liris modern Indonesia, seperti diakui Chairil Anwar terutama ditunjukkan pada puisi Amir Hamzah. Dalam puisi Chairil Anwar sendiri kita banyak mendapatkan bentuk liris dengan skema sajak dan meteran pada hampir semua karyanya dibanding jenis drama atau naratif. Puisi eligi Chairil berikut contohnya:
NISAN
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942
Puisi tersebut hanya satu bait kuatrin atau empat baris dengan skema sajak A-B-A-B. Kita bisa merasakan efek emosinya dalam diksi setiap baris dengan meteran baik melalui suku kata dan sajak (rima). Pada baris pertama yang terdiri dari lima kata Chairil membuka penjelasannya bahwa bukan soal kematian yang menyakiti kalbunya karena pada baris kedua memberi keterangan bahwa neneknya seperti dia tahu adalah seorang religius yang rela menerima kematiannya. Pada baris ketiga adalah alasan utamanya yang dijelaskan pada baris penutup sebagai kedukaannya: ‘dan duka maha tuan bertakhta’. Dalam baris ketiga sebagai alasan utama, Chairil menulis ‘tak kutahu setinggi itu di atas debu’. Baris ini membawa makna jarak fisik (debu) yang bisa berarti neneknya dengan dunia realitas fisik (di dalamnya adalah dirinya) terpisah.
Selain menulis dalam skema sajak, Chairil Anwar juga menulis puisi dalam mode puisi kosong dan bebas. Dalam lirik puisinya “Pemberian Tahu” Chairil menggunakan mode ‘puisi bebas’ tanpa skema sajak beraturan, tetapi tetap menggunakan meteran yang terukur setiap baris dengan mode liguistik bahasa sehari-hari yang menekankan pada gagasan eksistensialisme yang masih asing dalam tanah yang baru lepas dari penjajahan.
Pemberian Tahu
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
1946
Dalam bait sektet/sextet (enam baris) pertama, Chairil membuka dengan penjelasan pemahamannya tentang posisi seorang manusia, sebagai individu yang secara jelas harus menerima takdir atau nasibnya sendiri. Bahkan bila itu adalah sebagai pasangan hidup (suami-istri). Tak ada penjelasan siapa di sini yang disebut ‘kau’ secara aspotrof. Akan tetapi, asumsi paling kuat adalah seorang gadis. Chairil menjelaskan bahwa gadis itu adalah pilihan dari banyak gadis dan dia pernah menginginkannya, tetapi pilihan hidupnya yang bohemian jelas tak memungkinkannya untuk menyatukan perasaan dalam ikatan yang lama. Oleh sebab itu, Chairil meminta pada gadis itu jangan menyertakan perasaan: ‘Rasa tak sanggup kau kulepaskan./Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,/ Pada dua baris terakhir di bait quatrain, Chairil menutup dengan penegas dan alasannya: ‘Aku memang tidak bisa lama bersama/ Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
Puisi liris ini, setidaknya menjelaskan bagaimana persepsi Chairil Anwar terhadap hubungan antarmanusia yang dia nilai tak akan memengaruhi posisi manusia di bawah takdir atau nasibnya masing-masing. Bahkan, hubungan antara seorang pria dan wanita yang lazimnya terikat secara batin dan khusus – tak juga akan memengaruhi posisi nasib setiap manusia yang selalu akan berbeda. Konsistensi sikap ini jelas terbukti ketika Chairil berpisah dengan istrinya Hapsyah. Sikap yang dikonfirmasi mantan istrinya karena Chairil tak bisa hidup terikat. Valorisasi individu ini mencerminkan penerimaannya terhadap pandangan modernisme-nya, dan membentuk tema-tema karyanya yang dinilai modern. Jean-Paul Sartre, misalnya, menulis dalam Being and Nothingness (1943) seperti yang mencerminkan sikap Chairil Anwar:
“It is therefore senseless to think of complaining since nothing foreign has decided what we feel, what we live, or what we are.”
“Oleh karena itu, tidak masuk akal untuk mengeluh karena tidak ada orang asing yang memutuskan apa yang kita rasakan, apa yang kita jalani, atau siapa diri kita.”
Tulisan Sartre sang nabi eskistensialisme modern itu memperjelas posisi dan pandangan Chairil Anwar yang terbaca baris kedua bait pertama puisi di atas sebagai eksitensialis: ‘nasib adalah kesunyian masing-masing.’ Frasa ini, tak berbeda makna dengan seluruh kalimat yang ditulis Sartre di atas. Keduanya mencerminkan cara melihat posisi individu sebagai pusat. Sebuah posisi di antara batas gagasan yang berada pada sikap silopsisme Chairil di antara pandangan hidup masyarakat luas tentang hubungan antarmanusia, terutama hubungan kolektif wanita dan pria yang secara tradisi mengenal pernikahan sebagai puncak hubungan yang serius. Puisi ini, seperti juga Chairil tuduhkan pada karya Amir Hamzah sebagai puisi gelap (duistere poezie) karena bereferensi pada agama. Tentu saja bila kita menggunakan perspektif masing-masing orang yang berbeda ukuran.
Pilihan liris dalam puisi-puisi Chairil menjadi seolah memang dibangun atas kesadaran eksitensialisme. Setidaknya bila kita membaca seluruh puisi yang dicatat H.B Yassin, kita menemukan seluruh puisinya bersifat liris dengan pelbagai bentuk seperti eligi, ode, dan (mungkin ada) himne. Misalnya, puisinya “Derai-Derai Cemara” ditulis sekitar tahun 1949, kondisi fisik Chairil sudah dalam keadaan yang sakit-sakitan. Puisinya ini juga masuk dalam kategori eligi yang membawa emosi muram dan membawa renungan sebagai intropeksi diri. Kita simak puisi berikut:
DERAI-DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Dalam puisi yang ditulis sebagai sajak dengan skema A-B-A-B ini Chairil membuka bait dengan sebuah suasana dengan gambaran yang muram, sendu, dan mengkorfirmasi waktu yang bergerak menuju malam. Sebuah keadaaan di mana waktu sebagai hukum alam bergerak secara kronologis menjadikan apa yang ada di dunia menua dan menjadi rapuh. Penegasannya ada pada baris: ‘ada beberapa dahan di tingkap merapuh’. Chairil dalam suasana citra ini merasakan itu, selagi fisiknya yang juga tengah digerogiti penyakit. Bait kuatrin pertama itu seolah menggambarkan dirinya yang menderita beberapa penyakit dalam. Pada baris terakhir tersirat menggambarkan itu: ‘dipukul angin yang terpendam’.
Dalam bait kedua yang juga kuatrin, Chairil, setelah menggambarkan suasana dan akibat waktu yang mengeroposkan (sakit dalam), dia mulai memberikan semacam apologi yang bersifat intropeksi terhadap keadaannya yang sakit, dengan menuliskan ‘sekarang aku orangnya bisa tahan’ ditambah baris kedua sebagai keterangan ‘sudah berapa waktu bukan kanak lagi’. Chairil ingin mengatakan tentang pendewasaan diri yang terbentuk oleh waktu bahwa ia bisa menerima risiko dari semua yang dia lakukan sejauh waktu telah mengantarkannya pada keadaan saat itu kemudian dalam dua baris terakhir, Chairil menulis dengan mengawali dengan konjungsi ‘tapi’ untuk mengantarkan penjelas atau keterangan bahwa dulu ketika masih anak-anak, remaja dia memiliki bahan atau semacam apa saja seperti keinginan, cita-cita, emosi, atau tindakan-tindakan yang pada akhirnya berbeda sama sekali sebagai bahan pertimbangannya. Chairil menulis baris penutup bait kedua dengan: ‘yang bukan dasar perhitungan kini’.
Kuatrin terakhir, Chairil menutup dari renungannya atas bait kedua dengan sebuah kesimpulan bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan’. Sebuah kesadaran faktisitas di mana ia menyadari kelemahan eksistensi manusia di hadapan waktu dan alam. Baris kedua pada bait ini Chairil bermain waktu sebagai memori yang menempatkannya pada perasaan yang semakin menjauh, terasing dari masa kini. Chairil seolah tengah merenungkan keadaannya, capaian hidupnya di saat di dalam kesadaran menuju ancaman kematian. Memorinya yang menjangkau masa lalunya, mungkin cita-citanya dan keadaannya saat itu, membuatnya sadar. Ia menulis: ‘dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan’. Lalu, Chairil menutup kuatrin akhir dengan kesimpulan sebagai penegas baris pertama pada bait ini: ‘sebelum pada akhirnya kita menyerah.’
Selain lirik eligi di atas, Chairil Anwar juga menulis beberapa dari jenis ode seperti puisi berikut:
IBU
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu…
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu…
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun…
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu…
Ibu…
Aku sayang padamu…
Tuhanku….
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya…
Dalam lirik ode ini, Chairil membagi puisinya menjadi empat bait dengan awal sektet/sextet, kemudian sektet, dilanjutkan dengan soneta 14 baris, dan diakhiri bait sestet (6 baris) dengan skema sajak berpola meteran, bukan sajak teratur hingga bait tiga. Bentuk ini biasa disebut sajak kosong (blank verse). Bait pertama hingga tiga Chairil menggunakan teknik pengulangan di setiap dua baris melalui antistrophe. Bait terakhir memberikan kesimpulan dengan sajak A-A-A-A-B-B. Dalam puisi ini Chairil mengenang seluruh kemuliaan ibunya dan mendoakan kebahagiannya. Sebuah ode untuk ibunda.
Nasionalisme
Chairil Anwar meskipun tak terlalu banyak, juga menulis beberapa puisi dengan tema kebangsaan, nasionalisme dengan bumbu patriotisme. Puisi Diponegoro adalah salah satunya, selain ada yang lain, misalnya “Prajurit Jaga Malam”. Sebuah ode untuk para pemuda pejuang seperti berikut ini:
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
Ode liris ini memiliki sepuluh baris dalam satu bait atau secara tradisional disebut dizain. Puisi tersebut dengan skema meteran tanpa sajak beraturan di akhir. Jadi puisi ini adalah puisi kosong (blank verse) bukan puisi bebas. Chairil memulai puisinya dengan monometer disertai cesura atau jeda tengah. ‘Waktu jalan’. Kemudian Chairil meneruskan dengan kalimat: ‘Aku tidak tahu apa nasib waktu’. Dalam baris ini subyeknya adalah waktu dalam konteks masa itu. Chairil menggunakan perangkat sastra yang disebut antropomorphisme menjadikan waktu yang bukan manusia sebagai karakter manusia (mungkin lebih tepat personafikasi). Waktu untuk merepresentasikan bangsa Indonesia sebagai alegori yang tengah dalam perjuangan kemerdekaan. Jadi, secara makna, baris itu ingin mengatakan bahwa belum diketahui nasib bangsa Indonesia, apakah bisa lepas merdeka sepenuhnya atau tidak dari ancaman kaum penjajah. Pada baris kedua dan seterusnya, Chairil memberikan keterangan dengan menggambarkan para pejuang, baik muda dan tua yang dia sebut: ‘Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,/ bermata tajam’. Kemudian baris berikutnya memberi keterangan tujuan mereka hidup sebagai bangsa: ‘Mimpi-mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya/kepastian’. Chairil kemudian memberikan keterangan bahwa mereka semua ada di sisinya dalam berikutnya, disusul dengan keterangan perasaannya yang memuji mereka yang dia nilai memiliki daya hidup atau vitalitas (untuk kemerdekaan).
‘Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…’
Pada baris terakhir, Chairil menulis dengan mengulang baris pertama untuk menegaskan bahwa waktu atau bangsa ini nasibnya belum bisa dipastikan:
‘Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!’
Chairil Anwar, dalam puisi itu meskipun pada dasarnya memuji sikap dan tujuan orang-orang di sekitarnya dalam konteks perjuangan sebuah bangsa atau manusia yang ingin merdeka, tetapi puisi ini pada dasarnya adalah sebuah pernyataan skeptis terhadap sebuah keadaan. Skeptisme dalam tradisi sastra lama, tentu saja bertentangan, misalnya mengacu pada tradisi puisi masa Victoria yang berciri optimisme, kejayaan, kemenangan, serta moral. Tema puisi Chairil Anwar ini menjadi salah satu ciri atau tanda puisi moderinisme yang lazimnya membawa di antaranya pesimisme, skeptisme, kehancuran, selain inovasi bentuk.
Kesadaran Chairil Anwar dalam pilihan bentuk estetika dalam puisi-puisi lirisnya setidaknya bisa kita tangkap sebagai keniscayaan pilihan hidup yang diwarnai dengan silopsisme di antara hamparan tradisi bangsa yang tengah merdeka. Jalan silopsisme ini dipenuhi dengan pandangan hidupnya yang individualisme dalam beberapa konteks dilawankan misalnya dengan pandangan hidup religius sebagian besar masayarakat atau dicerminkan puisi-puisi Amir Hamzah yang bergaris Timur, menjadikan mode Barat sebagai pilihan martabat dan kiblat kehidupan. Silopsisme dalam liris puitis Chairil tentu saja bergerak dalam gagasan individu yang dipengaruhi gagasan estetika dan filsafat Barat, seperti halnya Eropa dan Amerika terpengaruh oleh sastra klasik Yunani dan Timur karena tentu tak ada penyair yang bisa lepas dari pendahulunya. Tak ada satu pun penyair yang berdiri secara otonom, seperti Herlad Bloom sarankan.
“We need to stop thinking of any poet as an autonomous ego, however solipsistic the strongest of poets may be. Every poet is a being caught up in a dialectical relationship (transference, repetition, error, communication) with another poet or poets…”
Kita harus berhenti menganggap penyair sebagai ego otonom, seberapa kuatnya silopsismenya, tulis Bloom di atas, karena setiap penyair pasti dipengaruhi oleh penyair lain. Puisi liris Chairil pun membawa jejak Amir Hamzah dalam hal skema sajak, dan sekaligus tradisi penyair-penyair Barat, baik klasik atau modern. Oleh karena itu, secara prinsip jelas bagi kita bahwa semua tempat baru dimungkinkan lahir bentuk baru seperti puisi-puisi Chairil Anwar, baru tapi sekaligus lama. Karena tentu saja di dunia ini tidak ada yang baru di bawah matahari seperti kidung dalam Ecclesiastes 1:9:
Yang telah ada akan ada lagi,
apa yang telah dilakukan akan dilakukan lagi;
tidak ada yang baru di bawah matahari.
Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan berbagai media cetak dan digital. Ranang dapat dihubungi via pos-el: ranangajisuryaputra@gmail.com atau Instagram: Ranang_Aji_SP.
[1] Dalam Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya karya Dra. Sri Sutjiningsih (2009)
[2] Dalam Pengantar “The Renaissance Studies in Art and Poetry (1893)