Goethe: Jembatan Sastra Islam dan Sastra Barat
oleh: Tjahjono Widarmanto
Memperbincangkan khazanah sastra dunia, mustahil mengabaikan nama Goethe. Penyair dan cendekiawan termasyhur Jerman ini memiliki nama lengkap Johan Wolfgang Von Goethe yang lahir pada 28 Agustus 1749 di Frankrut. Dia dilahirkan dalam keluarga intelek yang mengoleksi dua ribuan jilid buku. Sejak usia belia, Gothe menggandrungi dunia kesenian, sejarah, sastra, hukum, artefak, filsafat, teater, tari, dan bahasa. Bahkan, dia sangat menguasai bahasa Latin, Yunani, Perancis, Inggris, Arab Persia, dan Ibrani.
Keterpukauannya terhadap sastra dimulai sejak berusia delapan tahun. Saat itu, dia mulai menulis puisi kemudian, di usia 16 tahun di tahun 1765, karena kecakapan berbahasa dan kecerdasannya, Goethe sudah kuliah di Jurusan Hukum Universitas Leipzig. Namun, dunia ilmu hukum kurang sungguh-sungguh ditekuninya. Goethe muda lebih suka menyelinap di bangku kuliah sastra, menulis dan melukis. Dua tahun di masa awal kuliah hukum tersebut, ia justru mengumumkan kumpulan puisi pertamanya berjudul Anette, teks-teks opera, dan drama. Bagi Goethe sendiri, buku puisi perdananya ini tidaklah memuaskan hatinya, dan di kemudian hari ia melenyapkan hampir semua karya perdana tersebut dan tertarik pada dunia mistik dan gaib.
Pada tahun 1770, Goethe pindah kuliah di Strasbourgh dan dengan ‘terpaksa’ berhasil menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum serta berhasil memperoleh gelar Licentatius Juris yang sepadan dengan gelar doktor. Dia mengacuhkan gelar akademis tersebut bahkan makin kuyup menekuni dunia sastra, filosof, kebudayaan, dan kritik seni. Lebih-lebih saat di Strasbourgh tersebut, dia bertemu dengan Johann Gottfried Herder, seorang kritikus seni dan budayawan Jerman terkenal saat itu.
Melalui Gottfried Herder inilah, Goethe terpesona oleh teori asal usul bahasa dan daya cipta bahasa yang terjelma dalam karya-karya sastra semua bangsa. Pengaruh Herder inilah yang membuat Goethe begitu terbuka pada kebinekaan khazanah sastra berbagai negara, semua genre, dan sastra semua bangsa apalagi didukung dengan kemampuannya menguasai berbagai bahasa. Pada priode ini pula, ia menerbitkan buku puisinya berjudul Sensenhiem Lieder (Dendang-dendang Sensenhiem), berturut kemudian terbit pula naskah dramanya berunsur sejarah: Ksatria Gotz von Berlichingen, strum und drang (badai dan desakan) yang beraliran antirasionalisme yang mementingkan otonomi sastrawan sebagai jenius dan merdeka. Pada periode itu pula lahir novelnya Die Leiden des jungen Werthers (Penderitaan Pemuda Werthers), yang segera novel ini membuat Goethe terkenal di seluruh daratan Eropa, bahkan tokoh-tokoh novel ini dikultuskan seperti terjadi pada tokoh-tohoh Ramayana, Mahabaratha, Don Quixote, Hamlet, atau Faust. Setelah novel itu terbit pula puisi-puisinya dengan subur sekaligus memperkokoh kedudukannya sebagai sastrawan bewsar yang pernah dipunyai Jerman.
Pada periode berikutnya, Goethe tinggal di Italia selama dua tahun. Mempelajari kesenian dan arsitektur klasik dari zaman Romawi, Yunani. Di Italia pula ia merampungkan kumpulan puisinya yang gemilang Romische Elegien (Elegi-elegi Roma), Iphegenie auf Tauris (Ifgenia di SepanjangTauris), Egmont dan beberapa buku drama sejarah.
Sekembalinya dari Italia, Goethe menjadi Inspektur lembaga kesenian dan pengetahuan di universitas Jena. Juga menjadi sutradara teater Kehertogen sekaligus bergaul dengan para pemikir sains dan filosof seperti Hegel, Schelling, Alexander von Humbolt, Freiderich von Schiller dan bersama mereka menerbitkan majalah budaya Die Hoeren dan Propylaen. Pada era itu lahir karya besar Goethe berikutnya yaitu Faust, dan karya ilmiahnya Teori Warna dan Sumbangan Ilmu-ilmu Optik.
Pada masa tuanya, Goethe tetap melahirkan karya-karya yang memukau dunia. Dua karya agung yang paling fenomenal yang ditulisnya pada masa itu adalah kumpulan puisi west Ostlicher Diwan (Diwan Barat-Timur) dan Faust II. Dua mahakarya ini semakin mengokohkan nama Goethe dalam konstelasi sastra dunia.
Ratusan bahkan ribuan puisi yang ditulis Goethe membuktikan bahwa produktivitasnya sejak remaja hingga usia tua tak pernah menurun. Bentuk dan tema puisinya pun amat beragam, mulai dari epik, himne, balada, soneta, epigram, bermetrum bebas, berjejak tradisi, maupun klasik Yunani. Semua tema ditulisnya bahkan tema-tema ilmiah ia tulis dalam bentuk puisi misalnya dalam karyanya Metamorphose def Plazen (Metamorfosis tumbuh-tumbuhan) sehingga jelaslah bahwa bagi Goethe bahwa ilmu alam, filsafat, hukum dan manusia merupakan sesuatu yang utuh dalam puisi.
Menulis puisi bagi Goethe adalah sebuah kebutuhan yang mustahil diabaikan. Melalui puisi, Goethe melihat dan memperlihatkan segala keduniawian mengandung rahasia luhur yang nyata. Hal itu menunjukkan bahwa hakikat kehidupan manusia serta keteraturan spiritual selalu berada di belakang yang tampak. Maka, bagi Goethe puisi hadir sebagai dokumentasi sebuah perjalanan batin dan perjalanan pemikiran yang menjelma kosmos tersendiri. Tak mengherankan bahwa pada kenyataannya dunia memandang Goethe sebagai salah satu penyair dunia yang hebat. Berkait dengan pengakuan itu, filosof dunia Nietzce, berkomentar:”Goethe bukan saja tokoh besar, ia adalah sebuah kebudayaan!”
Yang paling menarik dari pemikiran dalam karya-karya Goethe adalah kita temukan sebuah pandangan bahwa dunia Barat dan dunia Islam bukan sebuah dikotomi atau keterbelahan. Kenyataan itu menjadikan sastra Barat dan sastra Islam, sebagai salah satu anasir budaya Barat dan Arab (Persia) saling berkelindan, saling berpilin, saling mengisi, saling memengaruhi, bahkan saling merajut dengan tak terpisahkan.
Kegairahan Goethe terhadap khazanah sastra Islam muncul, ketika ia belajar bahasa Arab Persia, membaca Al Quran, membaca lantas gandrung pada karya-karya klasik sufistik yang ditulis oleh Ferdusi, Hafiz, dan Rumi. Dari pembacaannya terhadap karya-karya sufistik Islam tersebut, Goethe yakin bahwa Barat dan Timur bukan sesuatu yang bulat dan definitif sehingga pergaulan, pertemuan, dialog, dan pergumulan antara Barat dan Timur tersebut bukan saja mungkin, melainkan justru diharuskan serta membawa hikmah.
Keyakinan akan keterjalinan tersebut dituliskannya dalam larik puisi Mukadimah Diwan: /yang kenal diri juga sang lain/di sini pun kan menyadari:/timur dan barat terpilin/tak terceraikan lagi//arif berayun penuh manfaat/di antara dua dunia;/melanglang timur dan barat/mencapai hikmah mulia!/.
Puisi-puisi Goethe dalam kumpulan puisi Diwan Barat, Diwan Timur menggambarkan dengan seterang-terangnya perjumpaan Goethe dengan khazanah sastra Islam sufistik. Perhatikan kutipan larik puisi Unbegrenzt (Tak Terbatas) berikut: …/Hai Hafidz, hanya dengan kau seorang/ingin aku bertanding!/Nikmat dan siksa/bagi sang kembar, kita berdua!/
Bahkan dalam puisi yang lain, Mathal Nameh (Kitab Parabel), Goethe tak menutup-nutupi kekagumannya pada Al Qur’an:
Aku memandang takjub dan girang
Bulu merak dalam Al Quran terpasang:
Selamat datang di bentangan suci,
Sang khasanah tertinggi di jagat ini!
Padamu, bagai pada gemintang di langit,
Terdedah keagungan Tuhan dalam alit;
Bahwa Dia, yang di ketinggian pandangi semesta,
……..
Keterpesonaannya terhadap Islam dan Al Qur’an diulanginya lagi dalam sebuah puisinya berjudul Saki Nameh (Kitab kedai Minuman):
Apakah Al Qur’an abadi?
Itu takku pertanyakan
Apakah Al Quran ciptaan?
Itu tak kutahu!
Bahwa ia kitab segala kitab,
Wajib kupercaya
………
Walau bukan seorang muslim, Goethe bertutur dalam larik puisinya Sabda Sang Nabi: …Tuhan berkenan/berkati Muhammmad kebahagiaan dan lindungan/…pada tiang rumahnya terbesar/ikatkan diri dan jiwa di sana…//. Di puisi Kitab Surgawi dituliskannya pula: muslim sejati bicarakan surga/seolah berada di sana/ia yakin sebagaimana gambaran Qur’an/atas itulah ajaran yang benar didasarkan//sang nabi penerima kitab suci,/di surga mampu hapuskan kedaifan kami…//
Penyair-penyair sufi menjadi rujukan Goethe dalam memahami khazanah sastra Islam. Ketertarikannya pada puisi sufistik Rumi diabadikannya dalam puisi Jalalludin Rummi Bicara: kau mukimi dunia, ia luput bagai bayang/kau bertualang, nasib tetapkan ruang;/tak panas tak dingin mampu kau genggam,/yang mekar bagimu, kan segera menyilam//
Kekaguman Goethe pada puisi-puisi sufistik Islam tak hanya karena estetika bahasa, namun juga pandangan-pandangan sufistiknya. Misalnya pandangan sufistik yang memandang kematian dengan begitu indah, suci, sebagai manifestesi kecintaan dan kerinduan mahluk pada Khaliqnya, pun sangat memengaruhi cara pandang Goethe terhadap maut. Ungkapan-ungkapan tradisi sufi menjadi pandangan tersendiri yang mengejutkan bagi orang Barat: ../sang peminum bagaimanapun juga,/memandang wajahNya…// (Kitab Diwan). Bahkan dalam Selige Sehnsuct (Rindu Dendam), Goethe dengan indah menjabarkan maut sebagai kupu-kupu yang merindu mati di kobaran api, perlambangan yang penuh ajaran sufistik bahwa kematian adalah jalan merindu cahaya Illahi.
Membaca kembali puisi-puisi Goethe menjadi sangat relevan di saat ini, ketika kita merindukan dunia dan peradaban yang damai. Puisi-puisi Goethe bisa menjadi titian dialog yang mesra bahkan indah antara dunia islam dan dunia Barat. Melalui pembacaan ulang puisi-puisi Goethe kita bisa meredakan rasa pertentangan, curiga, bahkan perseteruan, dan mengubahnya menjadi dialog, saling memahami, saling bertabik. Pendek kata membaca puisi-puisi Goethe adalah membuka ruang untuk saling menyapa, berbagi kearifan, menuju ke peradaban dunia yang damai. Semoga!
Tjahjono Widarmanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pernah belajar di program doktoral Unesa. Menulis fiksi dan nonfiksi. Buku puisinya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016) menerima anugerah buku Hari Puisi Indonesia tahun 2016.