Esai

Etnografi Sastra: Pertarungan Antara yang Disebut Fakta dan yang Dianggap Fiksi

oleh Akhmad Idris

Sejak dulu, realita dan karya sastra kerap kali menjadi dua hal yang saling diadu. Realita dianjurkan tak perlu banyak gaya dalam bercerita, apa adanya saja. Sementara karya sastra lebih ditonjolkan dengan permainan kata secara sembunyi-sembunyi, melebih-lebihkan yang semestinya, dan membuat metafora-metafora dari kejadian yang sebenarnya. Oleh sebab itu, tulisan-tulisan ilmiah⸻hingga saat ini⸻masih saja dibanding-bandingkan dengan karya-karya fiksi yang dalam hal ini berarti karya sastra.

Ujung-ujungnya, ada kelompok yang memandang karya ilmiah lebih mulia daripada karya sastra dengan dalil fakta jauh lebih dihargai dan bisa dipertanggungjawabkan daripada sekadar imajinasi yang hanya bersifat khayal.

Superioritas yang ditunjukkan oleh kelompok tersebut tentu saja mengundang perlawanan dari kelompok tandingan yang dianggap inferior. Mengamini gagasan yang diungkapkan oleh Foucault bahwa selama ada kekuasaan, di sana akan selalu muncul perlawanan. Akhirnya, muncul tanggapan atas pernyataan kelompok yang pertama bahwa karya sastra lebih istimewa daripada karya ilmiah. Dasarnya sederhana karena menuangkan imajinasi menjadi barisan kata-kata indah jauh lebih sulit daripada sekadar menulis ulang fakta-fakta yang telah ada. Kemudian dua kelompok tersebut terus saling membantah dan tak ada yang mau mengalah. Sementara itu, kajian karya sastra tak hanya berkutat pada analisis intrinsik saja. Perkembangan lintas disiplin ilmu juga dapat dilakukan, seperti psikologi sastra, sosiologi sastra, hingga antropologi sastra.

Dari sinilah kompleksitas masalah semakin jelas terlihat. Secara teoretis, antropologi memiliki produk tulisan yang bernama etnografi yang dikategorikan sebagai karya ilmiah, bukan karya fiksi. Di sisi lain, antropologi sastra berusaha membuat karya etnografi memiliki roh karya sastra. Berawal dari problematika ini, agaknya usaha mencari titik temu antara etnografi dan karya fiksi perlu dilakukan agar pertarungan ini tidak semakin memakan banyak korban. Usaha itu dapat dimulai dengan memahami hakikat etnografi yang disusul juga dengan mengungkap kesenjangan antara etnografi dan karya fiksi. Kemudian menyelami lebih dalam lewat contoh-contoh karya etnografi sekaligus karya fiksi yang telah ada, hingga pada akhirnya mencoba memberikan penawaran yang terbaik dengan tetap berpegang teguh pada konsep-konsep etnografi maupun karya fiksi.

Etnografi sebagai Produk Tulisan Antropologi

Kamus serba tahu, Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai etnografi secara umum sebagai deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa. Tak jauh berbeda dengan definisi ini, Imam Setyobudi (2009) dalam tulisan ilmiahnya yang bertajuk “Etnografi dan Genre Sastra Realisme-Sosialis” secara lebih terperinci mengungkap kandungan etnografi sebagai metode penelitian sekaligus sebagai metode penulisan. Etnografi sebagai metode penelitian merupakan cara mengumpulkan fakta-fakta (yang nantinya akan menjadi data) saat berada di lapangan, sedangkan etnografi sebagai metode penulisan adalah upaya mengabstraksikan data-data yang telah diperoleh selama di lapangan atas dasar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan; masuk akal; dan sistematis. Selain argumentasi, hal yang tak kalah penting dalam karya etnografi adalah gaya retorika dalam menulis.

Karya etnografi pada dasarnya memang membahas tentang kehidupan sosial dan budaya suatu komunitas tertentu sehingga terkesan mirip dengan objek kajian sosiologi. Gradasi perbedaan antara antropologi dan sosiologi adalah batas ruang lingkupnya. Sosiologi bisa memotret semua kehidupan sosial masyarakat, sedangkan etnografi hanya membatasi diri dengan suatu komunitas tertentu saja. Seorang etnografer harus terlatih menggunakan sepasang mata dengan jeli dan memanfaatkan sepasang telinga dengan teliti karena proses pengabstraksian dalam menulis teks etnografi membutuhkan hubungan yang logis dan urutan kejadian yang sistematis. Sekali saja ada fenomena yang luput tertangkap oleh mata atau gagal didengar oleh telinga, maka akan berpengaruh terhadap kualitas teks etnografi apalagi dengan klaim tentang statusnya sebagai karya ilmiah.

David Jacobson (1991) dalam bukunya yang berjudul Reading Ethnography menambahkan bahwa sebuah karya etnografi harus berupa hasil interpretasi atas reality of human action, tak hanya sekadar berwujud deskripsi. Dua hal yang perlu digarisbawahi dari ungkapan Jacobson tersebut adalah deskripsi dan interpretasi. Interpretasi adalah tahapan yang harus dicapai oleh etnografer. Jika masih berada di taraf deskripsi, karya tersebut belum bisa disebut etnografi. Deskripsi terbatas hanya pada cara melukiskan sesuatu tanpa melibatkan emosi di dalamnya, sedangkan interpretasi telah melewati tahap itu. Interpretasi bahkan berusaha mengungkap makna yang diasumsikan bersembunyi di balik yang terlihat, terdengar, dan terasa oleh pancaindra.

Kesenjangan Antara Etnografi dan Karya Fiksi

Sebagaimana anggapan kontradiktif antara realita dan karya sastra, anggapan tersebut juga berlaku dalam pandangan para etnografer yang mengeklaim etnografi sebagai produk penelitian ilmiah, bukan produk olah imajinasi selayaknya karya-karya fiksi. Klaim ini didasari atas asumsi dasar bahwa karya etnografi sudah seharusnya bersumber dari fakta autentik yang bersifat empiris dan dapat dicerna oleh pancaindra. Dari sini, tampak jelas bahwa karakter utama dari karya etnografi adalah menjunjung tinggi realisme. Aspek realisme menjadi yang paling utama karena teks etnografi dibuat berdasarkan pengalaman etnografer selama berada di lapangan. Nantinya, teks tersebut akan mendeskripsikan kebudayaan secara mendalam agar dapat diungkap makna yang terkandung di dalamnya.

Berbeda dengan konsep karya fiksi yang sudah langsung diketahui ruang lingkupnya melalui label ‘fiksi’ pada namanya. Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri memaknai karya fiksi sebagai cerita rekaan atau khayalan yang tidak berdasarkan kenyataan seperti roman, novel, cerpen, dan sejenisnya. Dalam pengertian yang lebih luas, karya fiksi diartikan oleh Rene Wellek & Austin Warren (2016) dalam karya legendarisnya Theory of Literature sebagai olah kreasi pengarang yang bersifat imajinatif dengan memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya. Jika karya etnografi mengedepankan fakta-fakta yang ditemui di lapangan untuk dipilah dan dipilih sebagai data, karya fiksi lebih menonjolkan konflik-konflik yang didramatisasi sebagaimana lazim ditemui pada novel maupun cerpen atau lebih mempertontonkan akrobatik permainan kata-kata seperti yang dapat dinikmati dalam barisan puisi.

Ada jurang besar antara karya etnografi dan karya fiksi, tetapi tidak berarti mustahil menghubungkan keduanya dengan sebuah jembatan yang kokoh. Ada dua pertanyaan besar yang membuat kemungkinan itu masih terbuka lebar, yaitu benarkah karya etnografi hanya menuliskan fakta yang autentik⸻tanpa ada sedikit pun niat untuk membuat pembacanya berdecak kagum? Lalu yang kedua, apakah karya sastra memang sekadar imajinasi semata⸻mengabaikan semua fakta-fakta yang ada di sekitarnya?

Jika menilik konsep etnografi yang disebutkan oleh Imam Setyobudi dan David Jacobson sebelumnya (etnografi harus memiliki style dalam penulisannya serta harus sampai ke tahap interpretasi, tak sekadar deskripsi), agaknya klaim untuk memisahkan karya etnografi dengan karya fiksi perlu dikaji lebih jauh lagi.

Benarkah Etnografi Hanya Menuliskan Fakta yang Autentik?

Sebagai sebuah produk tulisan dari antropologi, etnografi pada dasarnya akan menyajikan abstraksi fakta-fakta yang ditemui di lapangan berdasarkan argumentasi yang valid; logis; dan sistematis yang tentunya akan sangat membosankan jika menggunakan gaya penulisan yang kaku⸻anggap saja tidak renyah untuk dibaca. Oleh sebab itu, I Nyoman Kutha Ratna (2011), Guru Besar di Universitas Udayana dalam karya ilmiahnya yang berjudul Antropologi Sastra: Mata Rantai Terakhir Analisis Ekstrinsik menyebut bahwa etnografi memang sebuah karya ilmiah, tapi gaya penulisannya mengadopsi gaya penulisan karya sastra.

Pengadopsian tersebut dapat ditemui pada ungkapan kalimat naratif tentang kehidupan kelompok tertentu yang meskipun disampaikan secara objektif, secara sadar maupun tidak sadar tetap menampilkan kesan subjektivitas sebagai ungkapan perasaan penulis. Pola seperti ini tidak jauh berbeda dengan kalimat-kalimat yang ada di dalam karya fiksi seperti novel maupun cerpen. Satu di antara karya etnografi yang menampilkan pola seperti ini adalah The Gulag Archipelago karya Solzhenitsyn, seorang pemenang perhargaan bergengsi Nobel Sastra pada tahun 1970. Pada bagian-bagian tertentu, Solzhenitsyn (2019) tampak menunjukkan subjektivitasnya terhadap fenomena yang dihadapinya sebagaimana pada kutipan berikut ini.

“Sepertinya Anda harus memaafkan kami, saya akan meminjam dia barang semenit.” Istri itu mengangguk, dan dengan penuh kepercayaan, membiarkan suaminya digandeng pemuda itu untuk semenit, atau sepuluh tahun! (halaman 8)

Ungkapan semenit atau sepuluh tahun adalah ungkapan subjektif dari perasaan penulis sendiri atas tragedi operasi penangkapan masyarakat Uni Soviet pada masa kekuasaan Stalin. Tampak jelas bahwa gaya penulisan yang dihadirkan oleh Solzhenitsyn adalah gaya penulisan karya fiksi, bukan gaya penulisan karya ilmiah. Di dalam penulisan karya ilmiah, setiap hal yang disampaikan harus objektif dan faktual. Sementara ungkapan sepuluh tahun adalah ungkapan subjektif dan imajinatif sebab belum dapat dipastikan durasi si suami saat dipinjam oleh pemuda yang melakukan operasi penangkapan.

Solzhenitsyn memang menyebut karya fenomenalnya ini sebagai novel investigatif, tetapi sang penerjemah ke dalam bahasa Indonesia, Yudi Santoso mengungkapkan dengan gamblang bahwa The Gulag Archipelago adalah karya ilmiah tentang fenomena Gulag yang dialami oleh masyarakat Uni Soviet. Sebutan ‘novel’ yang diberikan oleh Solzhenitsyn disebut Yudi Santoso sebagai wujud kerendahan hati dan objektivitas Solzhenitsyn dalam melaporkan semua peristiwa yang telah terjadi dalam fenomena Gulag tersebut. Pernyataan Yudi Santoso pada dasarnya juga senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh Solzhenitsyn sendiri pada bagian pengantar bahwa di dalam karyanya tidak ada tokoh maupun kejadian fiktif di dalamnya. Semua disebutkan dan diceritakan sesuai dengan kenyataan yang terjadi saat itu. The Gulag Archipelago sejatinya juga menjadi bukti bahwa karya etnografi memerlukan gaya penulisan seperti karya fiksi untuk membuatnya bisa dinikmati dengan nyaman, membuat ketagihan.

Selain The Gulag Archipelago, karya etnografi lainnya yang menampilkan gaya penulisan selayaknya karya fiksi adalah Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa karya Clifford Geertz. Di dalam karya etnografinya tersebut, Clifford Geertz (2014) menyembunyikan nama informan dan menyajikannya dalam bentuk cerita sebagaimana yang ditampilkan oleh karya fiksi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Seorang tukang kayu muda, yang lebih sistematis dalam menguraikan hal-hal itu daripada orang Jawa pada umumnya, mengisahkan kepada saya bahwa ada tiga jenis makhluk halus yang utama…” (halaman 9)

Ada unsur kerahasiaan dalam kutipan tersebut, yakni menyebut informan dengan tidak menggunakan namanya, tetapi pekerjaannya. Padahal dalam karya ilmiah, transparansi data adalah tolok ukur kualitasnya agar bisa dilacak kebenaran data yang telah disajikan. Penggunaan sebutan seorang tukang kayu muda tak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh karya-karya fiksi dalam mengimplisitkan tokoh-tokoh dalam cerita. Sebut saja seperti tokoh laki-laki pemanggul goni yang digunakan oleh Budi Darma dalam salah satu judul cerpennya.

Jika menelisik dua karya etnografi tersebut, sepertinya jawaban atas pertanyaan besar yang pertama adalah karya etnografi tak hanya menyajikan fakta yang autentik, tetapi juga mengolahnya ke dalam gaya penulisan yang indah sekaligus memesona seperti yang dimiliki oleh karya-karya sastra. Tujuannya sebenarnya sederhana saja, dua pengarang besar tersebut tidak ingin karya etnografinya hanya menjadi hiasan museum barang langka yang hanya dikunjungi untuk persyaratan study tour lembaga-lembaga pendidikan. Mereka ingin menghadirkan karya etnografi yang menginspirasi pembacanya seperti yang telah berhasil dilakukan oleh karya-karya sastra.

Apakah Karya Sastra Sekadar Imajinasi Semata?

Dalam kajian sosiologi sastra, karya sastra dipahami sebagai gagasan kreatif pengarang yang dipengaruhi oleh kondisi sosial di sekitarnya, mulai dari status sosial lapisan masyarakat tempat pengarang berasal maupun tinggal; ideologi politik yang dianut oleh pengarang; hingga kondisi ekonomi yang mengelilinginya. Menanggapi klaim yang meyakini bahwa karya sastra hanya imajinasi semata, bukankah klaim ini tidak sesuai dengan ranah kajian sosiologi sastra? Bukankah pada akhirnya karya sastra juga tidak semata-mata hanya imajinasi? Ia juga⸻sedikit banyak⸻merefleksikan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia nyata.

Mengamini pendapat Rene Wellek & Austin Warren (2016) dalam Theory of Literature, bahwa karya sastra memang bersifat imajinatif, tetapi ia merupakan olah kreasi seorang pengarang yang terinspirasi dari kehidupan di sekitarnya untuk dituangkan ke dalam rekaan. Belum lagi tentang teori mimetik yang diajukan oleh Aristoteles untuk mengkritik Plato, yang menyebutkan bahwa setiap karya seni merupakan representasi dari tipe-tipe tindakan masyarakat. Artinya, karya sastra tidak semata-mata sekadar imajinasi yang langsung ditulis begitu saja. Ia juga bisa terilhami dari pengalaman pengarang pribadi yang sangat membekas di hati sehingga merangsangnya untuk mengabadikannya ke dalam sebuah karya sastra. Bisa juga terinspirasi dari pengalaman pengarang atas hal-hal yang terjadi di sekitarnya, entah sahabat; keluarga; atau lingkungan tempatnya tinggal selama bertahun-tahun.

Salah satu karya sastra yang memotret dengan asyik peristiwa-peristiwa nyata di sekitarnya⸻bahkan sampai menggemparkan dunia pada masanya⸻adalah Max Havelaar karya Multatuli. Nama ‘Multatuli’ sebenarnya hanyalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang pernah menjabat sebagai Asisten Residen Lebak, Banten pada abad ke-19, masa-masa pemerintah Kompeni yang menindas Bumiputra (Indonesia) dengan penerapan sistem tanam paksa. Multatuli berhasil mengisahkan kekejaman sistem tanam paksa dengan canda serta tawa, juga dengan tragis sekaligus humanis. Meskipun Max Havelaar berlabel fiktif⸻dengan dalih nama tokoh-tokoh yang tidak sebenarnya, juga gaya bahasa khas sastranya⸻Multatuli dengan tegas menyebutkan bahwa semua kontennya adalah fakta. Bahkan Multatuli sempat menantang pemerintah Belanda untuk membuktikan kefiktifan isi karyanya, jika memang karyanya dianggap hanya membual semata. Hingga saat ini, kebenaran dalam novel Max Havellar tak pernah ada yang berhasil membuktikan kekeliruannya.

Jawaban untuk pertanyaan besar yang kedua juga sudah tampak menunjukkan titik terang, yaitu karya sastra tak sekadar membual dengan imajinasinya semata, ia juga dapat dengan indah menghadirkan kebenaran yang sejak lama (sengaja) disembunyikan. Tak berlebihan rasanya jika Seno Gumira Adjidarma mengatakan bahwa ketika jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra justru berbicara dengan kebenaran.

Lalu, Baiknya Bagaimana?

Akhir kata, satu di antara jalan terbaik untuk menghindari pertarungan adalah mengambil ‘jalan tengah’. Artinya, penawaran yang diajukan atas ‘perselisihan’ ini adalah kebersediaan untuk saling berbagi. Etnografi membagi karakter realismenya kepada karya sastra dan karya sastra membagi ciri khas keindahan gaya bahasanya kepada etnografi sehingga disiplin baru yang bernama etnografi sastra menjadi sebuah kepingan puzzle yang melengkapi kerumpangan. Karya sastra tak lagi dianggap imajinasi semata sebab ia bisa mengungkap fakta yang tak bisa dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Karya etnografi tak lagi disebut karya yang kaku serta membosankan karena ia bisa ‘meminjam’ gaya bahasa indah memesona yang dimiliki oleh karya sastra. Mengangguki konsep yang diajukan oleh I Nyoman Kutha Ratna (2011), pada akhirnya hasil akhir dari antropologi sastra (baca: etnografi sastra) adalah sebuah karya sastra yang bernilai literer, tetapi tetap mengandung unsur-unsur antropologis.

Referensi

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2018. KBBI V. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Geertz, Clifford. (2014). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Jacobson, David. (1991). Reading Ethnography. United States of America: State University of New York Press-Albany.

Multatuli. (2019). Max Havelaar. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Ratna, I Nyoman Kutha. (2011). “Antropologi Sastra: Mata Rantai Terakhir Analisis Ekstrinsik”. Jurnal Mabasan. Januari Vol. 5, No. 1. Hal. 39—50.

Setyobudi, Iman. (2009). “Etnografi dan Genre Sastra Realisme-Sosialis”. Jurnal Acintya. Desember Vol. 1, No. 2. Hal. 109—118.

Solzhenitsyn. (2019). The Gulag Archipelago. Yogyakarta: Diva Press.

Wellek, Rene & Warren, Austin. (2016). Theory of Literature. Jakarta: PT. Gramedia.

 

 

Akhmad Idris lahir pada tanggal 1 Februari 1994. Salah satu cerpennya menjadi juara 2 kategori umum dalam lomba menulis cerita fiksi berlatar sejarah yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur. Selain cerpen, puisinya yang berjudul “Rindu Palestina 3” menjadi puisi terbaik menurut Emirbooks (Penerbit Erlangga) dalam lomba yang bertema “Kerinduan pada Palestina”. Baru-baru ini esainya yang berjudul “Kasidah Burdah, Lara, dan Nusantara” lolos kurasi dalam seleksi pembicara yang diadakan oleh Komunitas Salihara 2021. Beberapa artikel ilmiah juga pernah dimuat di dalam Jurnal Pena (Universitas Jambi), jurnal Salingka (Kemendikbud), Jurnal Telaga Bahasa (Kemendikbud), Jurnal Medan Makna (Kemendikbud), Jurnal Pembelajaran Bahasa & Sastra (Universitas Negeri Malang), dan Jurnal Efektor (Universitas PGRI Kediri).

 

Leave a Reply