Erotisme Seksual dalam Sastra Jawa Klasik
Oleh Tjahjono Widarmanto
Seks merupakan naluri dan obsesi dasar yang merupakan naluri paling purba dalam diri manusia, oleh karena itu tidak mengherankan segala hal yang berkait dengan permasalahan seksualitas selalu menjadi buah bibir yang menarik. Termasuk di dunia kesastraan menjadikan seksualitas sebagai salah satu sumber inspirasi yang tak pernah kering digali, dengan kata lain seksualitas dan ungkapan erotisnya banyak mewarnai karya-karya sastra, bahkan pada karya-karya seni yang lain. Erotisme seksualitas dalam sastra tidak hanya menjadi monopoli para sastrawan di zaman ini saja, tetapi juga diminati para pujangga kuno.
Ketertarikan pujangga-pujangga kuno kita pada erotisme seksual terbukti dengan banyak dijumpai karya sastra-karya sastra klasik Jawa yang menggambarkan seluk beluk seksualitas, mulai dari dunia perempuan, pendidikan seks, filosofi seks, hingga teknik-teknik bercinta seperti antara lain: Serat Katurangganing Wanita, Pakem Pandom Pandumiking Salulut yang kedua-duanya berisikan tentang ciri, sifat, kelebihan, dan peringai wanita yang dikaitkan dengan seksualitas.
Bisa kita baca pula Wewadining Wanita yaitu sebuah teks sastra Jawa klasik yang berisikan tuntunan bagi para wanita Jawa dalam berperilaku sebagai istri dalam melayani suami di bebrayan (kehidupan sosial sehari-hari), di sumur dan di dapur (melayani kebutuhan makan dan merumus rumah tangga), hingga di kasur (kewajiban menjalani pemberian pelayanan seksual bagi suami. Ada pula sastra Jawa klasik berjudul Slokantara yang berisikan moral didaktik tentang perjalanan menuju kedewasaan seksualitas.
Dikenal pula sastra Jawa klasik berjudul Wrhaspatitattwa yang merupakan risalah filosofis Jawa Kuna yang termasuk di dalamnya pandangan filosofi seksual; pandangan filosofi seksual juga disinggung dalam beberapa bagian dalam kisah Kunjarakarna. Pun dalam beberapa bagian dalam Smaradahana kita jumpai narasi-narasi yang menyinggung teori reproduksi tradisional. Demikian juga Kuntaramanawa dan Manawadharmasastra,yang kedua-duanya sebenarnya merupakan kitab perundang-undangan yang ditulis secara sastrawi, yang beberapa babnya membicarakan tradisi, kesusilaan, undang-undang, dan bentuk-bentuk peraturan perkawinan.
Lebih memikat lagi sebuah teks sastra Jawa klasik yang mengajarkan dan menarasikan perilaku seks berjudul Aji Asmaragama yang berisikan kiat untuk menaklukan wanita. Yang paling hot, seru, dan menarik adalah sastra-sastra Jawa klasik yang berisikan teknik dan seni bercinta bahkan dianggap sebagai pedoman seni erotis yang paling utama yaitu Kamasastra (versi India disebut Kamasutra), Smaradhana, Smaratantra (Kamatantra), Rukminitattwa, Indranisastra, Tutur Kamadresti, dan Smarakridalaksana.
Istilah erotisme sendiri berasal dari kata eros dalam bahasa Yunani yang merujuk kepada Dewa Cinta, putera Aprhodite. Dalam arti luas erotisme dimaknai sebagai bentuk pengungkapan cinta antara pria-wanita, antara jenis kelamin yang sama (homoerotik), dan cinta terhadap diri sendiri atau autoerotik (Muller Halder, 1972). Sedangkan dalam pemaknaan sempitnya, erotisme tidak hanya berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi mencakup pula aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan (Darmojuwono, 1994).
Erotisme berbeda dengan pornografi, walaupun tipis batasnya. Erotisme terbatas pada penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido, sedangkan pornografi berarti pelukisan tindakan seksual yang dengan sengaja ditunjukkan untuk menimbulkan nafsu seksual. Dengan kata lain pornografi merupakan pengungkapan vulgar aktivitas seksual. Dalam pornografi selalu ada erotisme, namun tidak semua yang erotis itu pornografi (Hoed, 1994).
Ada delapan pedoman untuk memastikan teks yang tidak boleh dituduh pornografi, yaitu: apabila adegan seksualitas tidak dilukiskan secara detil, seksualitas ditampilkan hanya sebagai suplementer cerita, seksualitasnya tidak dominan, seksualitas hanya ditampilkan untuk unsur pendukung cerita, dikemas dengan estetis, didukung ide yang baik, motifnya tidak semata memuja libido tapi untuk memasukkan nilai kemanusiaan-kehidupan, dan seksualitas tersebut dibungkus dengan jalinan cerita yang logis dan wajar.
Erotisme seksual dalam sastra-sastra Jawa klasik kebanyakan menggunakan simbol atau lambang yang halus dan implisit. Erotisme seksual dengan menggunakan perlambang simbol yang halus dan implisit bisa dijumpai pada misalnya cerita perlambang pada salah satu bagian cerita Babad Tanah Jawa, yaitu kisah Joko Tingkir yang membunuh Dadung Awuk dengan Sadak Kinang yang menyebabkan dia terusir dari istana Pajang. Cerita ini sebetulnya melambangkan terusirnya Joko Tingkir (Mas Karebet) dari istana Demak karena ‘mengganggu’ putri raja Demak. Dadung Awuk (dadung; tali) merupakan simbol dari ikatan pingitan putri raja dan sadak kinang merupakan simbol ‘kelakian atau ‘phalus’.
Dalam sastra Jawa klasik Roro Mendut terdapat perlambang nama Roro Mendut; sebuah nama yang menyiratkan kenikmatan seksualitas, kenikmatan ranjang yang dimiliki perempuan., Adu jago merupakan simbol yang menyiratkan ketangguhan angon asmara (kehebatan bermain asmara di ranjang) yang dipunyai tokoh Pronocitro yang melebihi rivalnya Tumenggung Wiraguna dan tegesan yang merupakan simbol implisit yang mengacu pada pesona tubuh dan kenikmatan seksualitas yang dimiliki tokoh perempuan Roro Mendut .
Selain menggunakan dan memanfaatkan perlambang dapat ditemui pula erotisme melalui penamaan tokoh, misalnya nama legendaris Panji Jayeng Tilam. Nama ini adalah cantuman kata jaya + ing + tilam, yang artinya Panji yang berjaya di tempat tidur (tilam). Nama ini jelas-jelas menggambarkan kehebatan olah seksual tokoh Panji dalam sastra Jawa klasik. Demikian juga dengan nama lain yang digunakan tokoh Panji ini, Panji Asmara Bangun yang mengacu pada arti Panji (lelaki) yang pandai membangkitkan gelora asmara (asmara= gairah seksual+bangun (membangkitkan) atau lelaki yang piawai berolah seksual.
Sastra Jawa klasik yang paling banyak menampilkan erotisme dan seksual adalah genre Kakawin. Kakawin ini merupakan genre sastra paling kuno yang tersebar di Jawa. Merupakan sastra Jawa klasik yang sangat terpengaruh oleh tradisi teks-teks sastra Sansekerta dari India yang dimulai pada abad ke-3 sampai abad ke-9 yang kemudian dalam perkembangannya melalui proses peniruan dan peminjaman kultural (Helen Creese, 2012).
Zoetmulder dalam bukunya yang legendaris: Kalangwan, menyebutkan bahwa kakawin merupakan teks bergenre puisi yang mengungkapkan kebahagiaan estetis yang berkaitan dengan petualangan para pahlawan besar laki-laki maupun perempuan. Kakawin lebih menekankan pada suasana hati dibandingkan dengan alur peristiwa. Suasana hati adalah suasana erotik yang berpusat pada dua hal yang berlawanan yaitu cinta dalam kenikmatan dan cinta dalam perpisahan (Rubinstein, 2000). Kakawin menempatkan cinta, kerinduan, kehilangan dan perpisahan dengan romantik dan sangat erotik. Seksualitas dengan aspeknya yang kembar yaitu kepedihan dan kenikmatan mendominasi semesta metaforik teks kakawin (Helen Creese, 2012).
Erotisme seksual dalam kakawin dilukiskan dengan sangat hati-hati, estetis, dan banyak menggunakan metafora flora dan fauna. Hal ini dapat dilihat dalam kakawin Parthayana yang diterjemahkan oleh Helen Creese:…bingung dan lesu, Sang Putri yang cantik semakin takut, merintih/membungkuk anggun ke samping saat Sang Pangeran mencoba merangkul pinggangnya/bergerak menjauh…/jantungnya berdebar kencang, sang pangeran kian bergairah/jelas ia adalah perwujudan madu dicampur sirup manis/mirip gemuruh bulan keempat yang meringankan derita disakiti cinta/…/sang putri berdoa, lelah melawan tenggelam dalam tangis/dia tak berdaya menyerang dengan tangannya, kukunya seolah tumpul/saat sang pangeran menjamah sabuknya, ikat pinggang itu tiba-tiba terlepas dari wangi dan ramping pinggang sang putri/…/tak mampu menahan gairahnya yang memuncak/sang pangeran membiarkan dirinya dikuasai kekuatan besar dari nafsu yang tak terbatas/
Metafora dan fauna menjadi sarana simbol dalam mengungkapkan erotisme seksual sastra Jawa klasik genre kakawin. Dalam Arjuna Wijaya simbol-simbol teratai membuka kelopak, mengunyah sirih, tunas lembut anggur gadung dan sebagainya berhasil ‘menyantunkan’ erotisme seksual:../dia memuji payudaranya dalam kidung dan kakawin dan mencium pipinya/berkat bujukan dengan cara ini, sang ratu melunak seperti malam saat teratai/membuka kelopak bunganya untuk sinar bulan/akhirnya sang ratu menyerahkan diri pada keinginan sang pangeran/dan tidak lagi menolak mengunyah sirih/…indahnya cara dia melepaskan kain sang ratu/begitu dia malu-malu berbaring di bawah tubuh sang pangeran/menawan berpelukan/lengan mereka seperti tunas lembut anggur gadung.
Berbeda dengan kakawin, sastra Jawa klasik yang bergenre serat atau berbentuk prosa (gancaran) lebih berani, transparan, dan vulgar walaupun tetap memanfaatkan simbol flora dan fauna. Erotisme dan seksual yang berani, transparan, dan vulgar ini bisa dijumpai pada Serat Damar Wulan yang diterjemahkan Noriah Mohamed: ‘..Kyai Patih tidak sabar, isterinya ditarik dan diciumi, kelakuannya seperti kumbang menghisap madu bunga….”
Seksualitas yang menyimpang juga tergambar dalam sastra Jawa klasik. Dalam Serat Centini karya Pakubuwono V terdapat erotisme seksual sesama jenis atau homoseksual (Setya Yuwana Sudikan, 1993). Jauh sebelum karya itu ditulis, Kakawin Hariwangsa juga menunjukkan adanya perilaku lesbian (Helen Creese, 2012).
Yang menarik, representasi erotis dan seksual dalam sastra Jawa klasik juga menyentuh dimensi spiritual. Seksualitas dan tapa brata saling berhubungan. Dalam tradisi tantri seksual dipersepsikan sebagai ritual pelepasan diri jalan menuju moksa.
Akhirnya, melalui teks-teks kuno itu kita bisa melihat sejauh mana para nenek moyang kita memandang, terpesona terhadap erotika cinta dan seks sekaligus menariknya dalam dimensi yang lebih dalam yaitu spiritualitas. Hal itu menunjukkan tradisi lama kita telah menempatkan keseimbangan antara laku jasmaniah dan batiniah. Sastra-sastra Jawa klasik itu juga menunjukkan lorong menuju pintu pengamatan tradisi dan gender sebagai fenomena sosial budaya dari satu masa tertentu.
Tjahjono Widarmanto, tinggal di Ngawi sebagai guru dan penulis. Beberapa buku kumpulan esainya yang telah terbit di antaranya, Nasionalisme Sastra (2011), Masa Depan Sastra: Mosaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (2014), Pengantar Jurnalistik (2016), Yuk, nulis Puisi (2018), dan Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2019).