Dendam yang Selesai Sejak 1965
Karya: Ranang Aji SP
satu
Hari Selasa siang dia berjalan tergesa di antara saluran air di pinggiran kota yang sepi. Kakinya menginjak nyeri tanah berbatu. Udara panas dan matahari di tengah langit. Tangannya menyeka keringat di dahi, sembari menghela napas. Jalan itu menuju gunung.
Matanya gelisah, selalu melihat jalan utama. Lututnya gemetar oleh luka yang tak dia harapkan. Dini hari sebelumnya, dia berhasil kabur setelah beberapa bulan dia rencanakan. Tembok setinggi empat meter itu terlalu jauh untuk tak melukai lututnya. Namun, dia masih bisa berjalan cepat sejauh lima jam perjalanan. Menjauh untuk sembunyi sebelum nanti menemui ibunya.
Di ujung jalan, pada langkahnya yang tergesa, tampak beberapa orang berdiri di sana, memandang tepat ke arahnya, membuat jantungnya berdetak. Dia ragu meneruskan. Apakah mereka polisi?
dua
Pukul delapan pagi, hari Selasa, jalanan dipenuhi mobil polisi sepanjang sisi luar tembok penjara. Para polisi berjalan, menyusuri, mengendus setiap langkah bersama anjing-anjing yang gelisah. Mereka tak menemukan apa pun, kecuali bau anyir comberan, sampah-sampah yang menyumpal, dan sisa-sisa kondom di bawah pohon bugenvil besar di sisi dalam parit yang dipenuhi sampah dan rumput.
Komandan regu bermuka masam, panik oleh telepon dari atasan. Dia berjalan dan tak sempat berpikir lagi soal istrinya yang memesan lewat ponsel agar segera pulang setelah siang. Seorang polisi menangkap seorang pria yang ditemukan tertidur di samping tembok. Kondisinya payah karena mabuk dan kelaparan. Dia diseret dan dibawa ke dalam mobil bak terbuka. Meringkuk diam setelah mulutnya ditampar karena membuat jengkel.
tiga
“Apakah dia menghubungi Anda, Bu?” Seorang polisi bertanya.
Wajah wanita tua itu tegang dan murung. Duduk berhadapan dengan tiga pria asing dan dikuasai oleh gelisah dan kekhawatiran. Suara motor membelah waktu di luar, bising di telinga, tapi wanita tua itu tetap diam.
Saat itu hari Jumat, bulan Desember. Hari yang sulit dilalui. Bahkan oleh dia yang sudah 70 tahun berdiri di muka bumi, dan sendiri setelah berusia 25 tahun. Suaminya pergi bersama tentara yang menjemput pada tahun 1965. Dia tak pernah kembali. Bulan Desember, tahun yang sama, ia melahirkan anak satu-satunya.
“Anda bisa kami tangkap karena menyembunyikan pelarian.”
Wanita itu menatap mata polisi itu. Bibirnya gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan kesedihan dan rasa marah. “Tak ada,” katanya. “Dia tak pernah menghubungi. Lagipula dengan apa dia bisa menghubungi saya?”
Mata polisi itu curiga, tapi tak ingin mendesak. “Kami butuh kerja sama Ibu,” kata pria yang duduk tepat di hadapannya. Suaranya sopan.
Wanita tua itu tersenyum. Dingin.
empat
Tiga tahun lalu, pengusaha tua mantan tentara itu ditembak tepat ketika keluar dari mobil pada sore hari. Tubuhnya tersungkur, darah muncrat di kaca, aspal, dan badan mobil. Tembakan kedua dilakukan dari jarak dekat untuk memastikan kematiannya.
Orang-orang terperangah di antara udara yang sayu, mobil dan motor yang macet. Setelah yakin pengusaha itu tak lagi bernyawa, dia segera kabur dengan motor, meninggalkan kengerian yang bertahan hingga puluhan tahun dalam ingatan orang-orang yang menyaksikan.
Setengah jam kemudian kamera wartawan mengabadikan dalam televisi, koran, dan majalah. Polisi membersihkan area dan membatasi dengan pita kuning hitam dalam radius beberapa meter di lokasi kejadian.
Setelah seminggu dia ditangkap. Ibunya mengantar dengan senyum. Sekarang dia dalam persembunyian, setelah berhasil kabur pada tahun ketiga dari dua puluh tahun seharusnya.
lima
Menjelang sore, hari Selasa, seorang bocah usia delapan tahun ketakutan ketika tiba-tiba di depannya muncul seorang pria dari balik pepohonan dan rerimbunan perdu ketika dia hendak menyerok ikan kecil di sungai di ujung desa di kaki gunung. Kakinya terpaku dan matanya tak berkedip menatap pria yang berjalan pincang ke arahnya.
“Jangan teriak, jangan lari,” kata pria itu.
Bocah itu diam dan tetap memandang, tapi begitu jarak mereka makin dekat tangis bocah itu pecah.
Pria itu agak panik dan segera menangkap tubuh bocah itu dan mendekap mulutnya. “Jangan menangis,” katanya di antara guncangan tubuh bocah dalam tangannya. “Aku akan makan kamu bila kamu tak menurut.”
Ancaman itu cukup efektif membuat bocah itu diam dengan mata ketakutan, berdiri sambil ngompol basah di celana hingga kakinya.
“Sialan,” kata pria itu sambil menyeretnya ke sungai. Sebagai pelarian, dia membutuhkan sesuatu, jadi dia mencoba tak lagi menakuti bocah itu.
enam
Bulan Desember 1965, pukul tujuh malam, sebuah mobil jip berisi empat orang tentara berhenti di halaman sebuah rumah kecil dan menjemput seorang pria dan membawanya dengan sikap sopan yang diantar seorang wanita yang tengah hamil besar hingga di halaman. Mereka bicara sambil tertawa selayaknya teman lama.
Angin malam membawa uap dingin, dan jalanan masih basah oleh sisa hujan. Jip melaju sepanjang jalan menuju arah utara, lalu berhenti di pinggir hutan jati yang sepi. Lalu mereka turun dari mobil, berjalan beriringan menuju tengah hutan. Satu orang membawa senter untuk menerangi jalan. Setengah jam kemudian, suara derik serangga malam terdiam oleh salak senjata api beberapa kali yang bergema di udara. Setengah jam sisanya, mereka kembali ke mobil tanpa pria yang dijemput.
Hari berikutnya, orang-orang yang disebut antek PKI di sekitar kota dan desa yang sama ditangkapi. Sebagian hilang, sebagian kembali bertahun-tahun kemudian.
tujuh
Ketika anak satu-satunya bertanya siapa ayahnya, wanita itu tertegun dan menatap wajah anak lakinya. Matanya memerah dengan cahaya marah berkilat dalam pupil matanya. Akan tetapi, ia bimbang mengatakan, meskipun ia berpikir sudah hak anaknya untuk tahu siapa ayahnya. “Pada saatnya nanti kamu akan tahu,” katanya dengan nada mencoba meyakinkan.
Wajah bocah itu kecewa. Ia terus mendesak ibunya untuk mengatakan.
“Jangan keras kepala seperti ayahmu,” sergah ibunya sama keras.
Mata anak itu melotot, wajahnya keras penuh kesebalan. Tangan kecilnya memukul tembok. Wajahnya meringis karena rasa sakit, tapi mukanya tetap keras.
“Nanti jika kamu besar dan jadi tentara, Ibu akan ceritakan semua.”
delapan
Pada hari Ahad, orang-orang gunung berkumpul melingkar di lapangan pada siang yang panas. Suara gamelan bertalu mengiringi tembang “Turi Putih”. Suara penembang pria membelah pecah udara melalui spiker yang selalu berdenging.
Turi-turi putih/Ditandur ning kebon agung/Turi-turi putih/Ditandur ning kebon agung/Cemleret tiba nyemplung/Mbok-kira kembange apa/Mbok-kira, mbok-kira, mbok-kir kembange apa.
Sepuluh penari pria di tengah lapangan bergerak mengikuti irama. Matahari di tengah langit tanpa sekat, tanpa awan. Asap rokok mengepul ke langit. Bocah-bocah berlarian tertawa dan menangis. Seorang pria bertampang nakal bicara genit pada seorang janda yang berdiri menonton di antara orang-orang yang berdiri berjejal.
Hingga sore hari pertunjukan belum selesai. Di jalan utama beberapa mobil polisi bergerak menuju arah batas desa.
sembilan
Pukul delapan malam, dalam gubuk kecil di tengah hutan, pria itu duduk merenung diterangi lilin. Dia tengah memikirkan ibunya yang sendirian ketika suara mencurigakan terdengar di luar gubuk. Tangannya segera meraih golok yang tersandar di dinding. Namun, dalam sekian detik, masuk orang-orang ke dalam sembari berteriak, tetapi ia sempat membacokkan golok pada orang pertama yang masuk seraya meneriakkan takbir. Orang itu segera terpental rubuh, disusul suara tembakan yang membuatnya tersungkur. Menggeliat, mencoba bergerak, namun segera terdiam setelah beberapa kali tembakan menembus tubuhnya lagi.
Hewan-hewan malam kabur tak keruan di sekitar pohon-pohon yang tegang. Lalu hening mencekam meliputi wajah-wajah tegang orang-orang. Beberapa orang terduduk diam, yang lain berdiri bersandar. Menghela napas berulang dengan rasa syukur tiada batas.
sepuluh
Wanita tua itu menerima jasad anaknya dengan wajah kebas. Matanya tak mengeluarkan air mata, meskipun kesedihannya tampak jelas meliputi seluruh tubuhnya. “Dia anak saya,” katanya dengan suara tegas pada polisi yang mengantarkan pada suatu siang yang panas. “Dia pahlawan saya. Kematiannya tak sia-sia untuk membalas.”
Polisi itu tersenyum kecil mendengarnya, dan berpamitan dengan rasa sungkan.
Wanita itu duduk memandang jasad anaknya. Membelai kepalanya. Lalu air matanya tumpah. Orang-orang kampung membantu menguburkan jasadnya esok hari.
Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan berbagai media cetak dan digital. Ranang dapat dihubungi via pos-el: ranangajisuryaputra@gmail.com atau Instagram: Ranang_Aji_SP.