Chairil Anwar dan Esensi Modernisme
Oleh Ranang Aji SP
I
“Selama negara-negara terus menyerap dan didominasi oleh puisi-puisi dunia lama dan tetap tidak disuplai dengan lagu-lagu asli …begitu lama mereka akan berhenti dari Kebangsaan kelas satu dan tetap rusak.”
(Walt Whitman, A Backward Glance O’er Travel’d Roads, 1888)
II
Menciptakan ritme baru—sebagai ekspresi suasana hati baru—dan bukan meniru ritme lama yang sekadar menggemakan suasana lama. Kami tidak memaksakan “syair bebas” sebagai satu-satunya metode penulisan puisi. Kami berjuang untuk itu sebagai sebuah prinsip kebebasan. Kami percaya bahwa individualitas seorang penyair seringkali lebih baik diekspresikan dalam syair bebas daripada dalam bentuk konvensional. Dalam puisi, irama baru berarti gagasan baru.
(Pengantar Some Imajist Poets, Hal VII, Ezra Pound: 1915)
Dua kutipan di atas, yang pertama dari Walt Whitman dan yang kedua dari Ezra Pound adalah satu semangat yang sama tentang pembaruan bentuk puisi. Perbedaannya, Whitman selain membebaskan puisi dari bentuk sajak dan meteran, dia juga beralasan demi identitas kebangsaan, sedangkan Pound menuliskannya sebagai semangat pembebasan ekspresi puitik yang lebih bebas dan terutama dengan proposal puisi imajisme, untuk menegaskan semangat perubahan melalui judul kumpulan esainya Make It New! yang terbit di tahun 1934. Sebuah frasa yang kemudian menjadi doktrin suci kaum modernisme, bahwa jalan baru harus selalu dibuat sebagai capain artistik. Dua gagasan besar itu kemudian juga memengaruhi apa yang disebut sebagai gerakan modernisme dalam sastra dan seni, tidak saja di Eropa dan Amerika, tetapi di seluruh dunia. Sementara itu secara subyektif, di Prancis, sebelumnya – Charles Baudelaire disebut sebagai penyair yang pertama dari ‘Modern’ dan yang terakhir dari Romantisme[1]. Walt Whitman sendiri kemudian disebut sebagai ‘Bapak Puisi Bebas’ (free verse), dan tentu saja Ezra Pound dan kemudian T.S. Eliot adalah di antara banyak motor utama dalam perjalanan gerakan modernisme sastra (puisi). Para tokoh itu membawa puisi bebas yang melawan puisi berbentuk (formal) yang konvensional yang berciri sajak dan meteran. Di Indonesia, Chairil Anwar kemudian juga dikenal sebagai raksasa dan dipuja sebagai pembaharu dalam perjalanan puisi modernisme Indonesia. Semangatnya sama dengan para tokoh utama modernisme puisi di atas. Chairil Anwar menyatakan gagasannya itu sekurangnya tercatat dalam dua cara, pertama melalui surat imajinernya[2] pada Ida Nasution yang dibacakan dalam siaran radio dan kedua melalui pidatonya berjudul Hopla di tahun 1943.
…Ida! Ida! Ida!
…Baru kubayang-kiaskan dengan sepintar lalu ada adik pada Kupikirkan bentuk dan garis baru untuk kesusasteraan kita……..
Dua surat imajiner kepada Ida itu menjadi penegas dan penunjuk bahwa Chairil memiliki semangat dan pandangan progresif yang berbeda dengan kaum sastrawan lama dan pikiran konservatif di Indonesia yang gagasan sastranya diwarnai tradisi Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang digambarkannya sebagai pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati. Demikian pula dalam “HOPLA” Chairil mengritik karya-karya lama yang dia anggap dangkal, namum disertai sedikit pujian terhadap karya-karya Amir Hamzah yang dia sebut memiliki semangat pembaruan, padat, dan modern.
“…Jika kita memalingkan ke belakang, kita dapati “Pujangga Baru” terlahir dalam 1933 bersama dengan terebutnya oleh Hitler kekuasaan di Jerman, tetapi majalah ini selama hidupnya hanya memuat satu artikel dangkal tentang fascisme! Di samping itu melengganglah “Pujangga Baru” dengan nomor-nomor pertamanya berisi esei yang tidak berdasarkan pengetahuan (dalam arti seluasnya!) kesusasteraan, meneriakkan “pembaruan”.
Ciri dan Motif Modernisme
Di tahun-tahun itu (1940-an), ketika Chairil Anwar tengah digelisahkan oleh kredo sastra barunya, mengritik dan menggilas penyair-penyair lama di Eropa dan Amerika – perjalanan sastra modernisme disebut para kritikus telah melewati puncak estetikanya dan telah beralih pada gerakan sastra neo-realisme dan menuju posmodernisme. Malcom Bradbury dalam A Dictionary of Modern Critical Terms menyebut masa atau periode sastra modernisme membentang dari tahun 1890 dan memudar di tahun 1930-an. Beberapa sastrawan utama modernisme dalam rentang waktu itu yang harus disebut antara lain Stéphane Mallarmé, William Butler Yeats, T.S Eliot, Ezra Pound, Rainer Maria Rilke, Guillaume Apollinaire, Wallace Stevens untuk mewakili penyair atau jenis puisi. Sedangkan untuk fiksi, nama-nama yang disebut adalah Henry James, Franz Kafka, Joseph Conrad, Marcel Proust, Andre Gide, James Joyce, Virginia Woolf, William Faulkner, Italo Svevo, Robert Musil. Karya-karya mereka dinilai memiliki pencapaian estetika yang radikal, unik, inovatif dengan teknik yang mencolok, menekankan spasial atau “fugal” (fugue), antilinier sebagai lawan bentuk tradisional yang kronologis, cenderung ke mode ironis, dan melibatkan “dehumanisasi seni” tertentu.
Modernisme ini kemudian sebagai gerakan mencakup banyak gaya dan gerakan avant-garde yang berkembang biak dalam seni dan sastra sebagai aliran seperti ekspresionisme, imajisme, surealisme, futurisme, dadaisme, vortisisme, formalisme, absurdisme, dan impresionisme dengan melibatkan pelbagai teknik seperti stream of consciousness. Salah satu tokoh dalam deretan sastrawan dunia itu seperti sering disebut-sebut dalam biografinya, Chairil Anwar membaca Rilke, WH Auden, dan beberapa penyair Belanda dan Amerika. Gerakan modernisme itu sendiri menyebar seperti gelombang besar dari daratan Eropa-Amerika menuju daratan-daratan dunia lain. Di Indonesia melalui Chairil Anwar dalam sastra dan S Soedjojono bersama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) dalam seni rupa.
Kata ‘modern’ sendiri berasal dari bahasa Latin modo yang berarti ‘saat ini’. Istilah ini pertama digunakan di abad ke-5 untuk memisahkan era Kekristenan dengan era sebelumnya (pagan). Cassiodorus misalnya, di abad ke-6 menggunakannya pada tulisan-tulisannya untuk merujuk di zamannya. Sedangkan untuk kata ‘Modernis’ pada dasarnya adalah kata yang sudah digunakan sejak akhir abad ke-16 untuk menyebut orang modern dan digunakan pada abad ke-18 untuk menunjukkan pengikut atau pendukung jalan atau cara modern bekerja atas sastra kuno. Dalam novel karya Thomas Hardy berjudul Tess of the D’Urbervilles (1891) kata modern sebelas kali digunakan, dan modernisme sekali digunakan untuk merujuk apa yang dia sebut sebagai ‘the ache of modernism, modernisme yang sakit, yaitu industri yang umum dan tidak diinginkan. Sedangkan ‘modernitas’ (modernity) adalah kata yang pertama kali digunakan oleh Charles Baudelaire pada pertengahan abad kesembilan belas. Dalam esainya The Painter of Modern Life (1863), Baudelaire menggambarkan modernitas sebagai yang modis, cepat berlalu, dan bergantung pada seni, bertentangan dengan yang abadi dan tidak berubah. Narasi aslinya:
“…He is looking for that indefinable something we may be allowed to call ‘modernity’, for want of a better term to express the idea in question. The aim for him is to extract from fashion the poetry that resides in its historical envelope, to distil the eternal from the transitory…”
Norman Cantor (Cantor 1988: 35), seorang kritikus sastra menjelaskan apa yang disebutnya sebagai ‘Model Modernisme’. Menurutnya modernisme dicirikan dengan mode antihistorisisme karena kebenaran tidak evolusioner dan progresif, tetapi sesuatu yang membutuhkan analisis. Modernisme berfokus pada hal yang mikro daripada makrokosmos dan karenanya sisi individual melebihi dari sisi sosial. Modernisme dalam karya seni dan sastra berkaitan dengan referensi diri, menghasilkan seni tentang dirinya sendiri dan teks-teks yang mandiri daripada representasional. Modernisme condong ke arah yang terputus-putus, kehancuran, dan sumbang bertentangan dengan harmoni atau tujuan sastra di masa Victoria. Modernisme juga menyakini bahwa suatu objek ada dalam hal fungsinya. Misalnya Cabo atau La Corbusier, seorang pelukis dan arsitektur yang dikenal dengan kredonya dalam kalimat ‘rumah adalah mesin untuk ditinggali’ (“Une maison est une machine-à-habiter”). Sedangkan William Carlos Williams dalam pengantar The Wegdet (1944) mengatakan bahwa “puisi itu adalah mesin kecil (atau besar) yang terbuat dari kata-kata. Modernisme dengan demikian sering bersifat elitis dan fungsional. Sastra dan Seni Modernis menekankan kompleksitas dan kerumitan dan juga menekankan bahwa budaya telah berubah sebagai respons terhadap zaman mesin. Dalam hal seksualitas dan keluarga, modernisme memperkenalkan keterbukaan untuk bersimpati pada feminisme, homoseksualitas, androgini, dan biseksualitas di samping mempertanyakan batasan keluarga inti yang tampaknya menghambat pencarian individu untuk nilai-nilai pribadi. Sampai di sini, kita merasakan ciri modernisme yang sama dari sikap dan karya Chairil Anwar yang fugal dan individual – tak terikat.
Secara filosofis, kaum modernis tidak memandang etika lebih tinggi dari seni, melainkan melihat seni sebagai bentuk tertinggi pencapaian manusia. Jika sastra masa Victoria berkaitan dengan moralitas, dan realisme tentang realitas obyektif, tulisan modernis berkaitan dengan estetika. Cantor juga mencatat kecenderungan perasaan kehancuran dan keputusasaan setelah beberapa dekade masa Victoria. Dalam semangat ini, teks-teks modernis sering berfokus pada keruntuhan sosial, spiritual atau individual, dan menempatkan sejarah di bawah mitologi dan simbolisme. Di dalam seni dan sastra, modernisme seperti sudah diuraikan di atas, dikaitkan dengan inovasi dan kebaruan genre. Aspek khas dari jenis tulisan ‘modernis’ ini adalah estetika radikal, eksperimen teknis, spasial atau ritmik daripada bentuk kronologis, refleksif kesadaran diri, referensi-diri, skeptisisme terhadap gagasan subjek manusia yang terpusat, dan penyelidikan berkelanjutan terhadap ketidakpastian realitas dan diperluas dengan revolusi artistik internasional dan interdisipliner yang intens sekitar awal abad kedua puluh. Karya-karya sastra seperti Kew Gardens (Virginia Woolf), Ullyses (James Joyce), The Sound and Fury (William Faukner) untuk fiksi dalam bentuk aliran kesadaran (stream of consciousness), In a Station of the Metro (Ezra Pound) dan Wasted Land ( T.S Eliot) untuk puisi bebas juga menggunakan teknik aliran kesadaran dan bentuk imajisme (Pound) adalah representasi karya sastra modernisme yang membawa ciri-ciri di atas.
Jürgen Habermas dari Sekolah Frankurt, misalnya menguatkan ciri-ciri seni dan sastra modernisme dalam perspektif filsafat dan sosiologis, dan berpendapat bahwa proyek modernitas, yang dirumuskan pada abad kedelapan belas oleh para filsuf Pencerahan terdiri dari upaya mereka untuk mengembangkan ilmu objektif, moralitas, hukum universal, dan seni otonom menurut logika batin mereka untuk organisasi rasional kehidupan sehari-hari’ (Habermas 1981:9). Melalui kondisi dan ciri-ciri di atas, Habermas berpendapat bahwa modernitas adalah semacam proyek yang tidak lengkap karena ia terus berusaha mendefinisikan dirinya sendiri melalui banyak contoh dan identifikasi ucapan dan proyeksi. Oleh sebab itu sastra modernisme paling dikenal dengan eksperimennya, kompleksitasnya, formalismenya, dan upayanya untuk menciptakan tradisi yang baru. Make It New! tulis Ezra Pound dalam judul kumpulan esainya di tahun 1934.
Sebagai gerakan sosial-budaya-politik dan ekonomi, modernisme dicirikan oleh upaya untuk menempatkan kemanusiaan dan khususnya akal manusia sebagai pusat segalanya, mulai dari agama dan alam, hingga prinsip keuangan dan sains. Modernitas menggambarkan kebangkitan kapitalisme, studi sosial, dan regulasi negara, kepercayaan pada kemajuan dan produktivitas yang mengarah ke sistem industri massal (seperti fordisme), pelembagaan, administrasi, dan pengawasan. Gerakan ini adalah upaya universal untuk menempatkan posisi manusia di atas segalanya (antroposentris, humanisme). Modernisme juga menempatkan akal dan pengetahuan untuk membebaskan manusia dari otoritas sosial dan agama yang dominan di Eropa atau menolak agama dan lembaga-lembaga tertentu menjadi satu-satunya otoritas yang mengontrol kebudayaan di Eropa di masa abad ke-19. Motif dasar modernisme dalam sastra seperti tulis Gerald Graft (dalam The Literature of Exhaustion karya John Barth, 1967) adalah kritik terhadap tatanan sosial borjuis abad ke-19 dan pandangan dunianya. Strategi artistiknya seperti halnya pendapat Cantor adalah pembalikan kesadaran diri dari konvensi realisme borjuis melalui taktik dan perangkat seperti penggunaan metode “mitos” untuk metode “realistis” serta memanipulasi secara sadar kesejajaran antara “kontemporer dan klasik” seperti bisa kita dapatkan pada karya James Joyce atau T.S Eliot.
Modernisme seperti tulis Graft di atas juga didorong oleh rasa kekecewaan yang menyebar dengan model kehidupan individu dan sosial yang ada (borjuisme) di abad ke-19 dunia Barat lantas diubah dan ditafsirkan kembali oleh Marx, Freud, dan Darwin yang masing-masing mengubah gagasan mapan tentang sosial, individu, dan alam. Penemuan-penemuan mereka mendorong gerakan perubahan dalam modernisme. Di sinilah letak sumber gagasan modernisme disebut berasal dari Darwin, Marx, dan Nietzsche, sedangkan gagasan intelektualnya adalah dari Freud. Makna modernisme dalam konteks ini menjadi berbeda dengan makna modern yang dimaksudkan oleh Matthew Arnold dalam makalah kuliahnya ‘On the Modern Element in Literature’ (1857) yang menggambarkan gaya modern ini sebagai sifat yang tenang, percaya diri, toleransi, rasional, aktivitas yang terbebas dari pikiran, dan universal.
Di antara Gagasan Pound dan Eliot
Puisi Chairil Anwar yang ada dalam catatan saya, sejak 1942–1949 atau selama tujuh tahun memperlihatkan jalannya, bentuk mode artistik-estetika yang dekat pada penggunaan sajak atau puisi yang berpola, dan ada pula dengan mode bebas, seperti puisinya “Antara” sebagaimana ciri bentuk modernisme. Maka, beberapa puisinya menjadi lebih tepat disebut sebagai sajak (rima) untuk membedakan dari sifat puisi atau sajak bebas yang tak berpola ABAB atau AAAA. Di dalamnya kita temukan asonansi, alterasi, prosodi, dan menyertakan meteran bila puisinya bukan dalam bentuk berima, tetapi puisi kosong (blank verses). Bentuk puisi Chairil Anwar dengan demikian, pada dasarnya didominasi oleh bentuk sajak dan meteran seperti halnya karya-karya sebelum era modernisme berkembang dalam konteks lanskap Sastra Barat dan Timur, dan demikian pula menjadi sama dengan puisi-puisi Pujangga Baru, misalnya karya-karya Amir Hamzah. Dalam puisi Amir Hamzah berjudul “Padamu Jua”, misalnya kita menemukan meteran dan sajak (rima) A-B-C-C:
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Bait kuatrin pertama dari puisi berjudul “Padamu Jua” (Amir Hamzah) itu tak berbeda dengan bentuk-bentuk puisi-puisi Chairil Anwar yang bersajak. Perbedaannya adalah pada perpektif, perluasan tema, pengunaan fungsi sintaks, dan kata yang tak semata Melayu. Bahasa Amir Hamzah secara kental dan tegas masih membawa akar Melayu yang kuat, membawakan majas khas Melayu, sedangkan Chairil Anwar sudah melampaui akar bahasa Melayu yang primodial, meskipun tetap menggunakan pola sajak yang terukur dan menggunakan bahasa sehari-hari seperti telaahnya pada puisi-puisi Amir Hamzah yang dinilainya ‘padat’ dan modern. Dalam fungsi kata, puisi Chairil Anwar bermain dengan satu atau tiga kata yang terukur seperti halnya puisi-puisi Amir Hamzah, termasuk penggunaan meteran monometer, iambik, trochees, dan lainnya. Namun, secara efek, puisi Chairil lebih terasa memiliki efek emosi dari puisi Amir Hamzah yang terasa aneh terdengar mengingat pembaca saat ini terbiasa dengan tema, kata modern yang egaliter. Puisi Chairil dengan pembebasannya dari sekadar bermain nada justru mampu menangkap emosi yang dibutuhkan dalam puisi. Penggunaan diksi narasi Chairil yang mengambil bahasa sehari-hari (vernacular) dipecah dalam unit kecil liris (monometer, iambik, trochees) memiliki korelasi dengan obyek dan hanya bermain dengan kata kerja dan dan kata benda yang asosiatif justru mampu membangkitkan emosi. T.S Eliot, misalnya, dalam Hamlet and His Problems (1920) menulis pendapatnya soal emosi seperti ini:
The only way of expressing emotion in the form of art is by finding an “objective correlative”; in other words, a set of objects, a situation, a chain of events which shall be the formula of that particular emotion; such that when the external facts, which must terminate in sensory experience, are given, the emotion is immediately evoked.
[Satu-satunya cara untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk seni adalah dengan menemukan “korelatif objektif”; dengan kata lain, satu set objek, situasi, rantai peristiwa yang akan menjadi formula dari emosi tertentu; sedemikian rupa sehingga ketika fakta-fakta eksternal, yang harus berakhir dalam pengalaman indrawi, diberikan, emosi segera dibangkitkan.]
T.S Eliot selanjutnya dalam Tradition and The Talent Individual (1919) juga berpendapat bahwa tugas penyair bukanlah bertugas untuk menemukan emosi baru, tetapi menggunakan emosi biasa, dan mengolahnya menjadi puisi, mengekspresikan perasaan yang sama sekali bukan emosi yang sebenarnya (emosi penyair). Tentu saja konteksnya sebagai teori depersonalisasi atau impersonal dalam puisi seperti gagasan Eliot. Di mana posisi penyair dan puisi berjarak. Penyair menjadi sekadar media (impersonal), berjarak dengan obyek, sebagai subyek yang mengamati. Dalam bahasa liris, naratif, dan sehari-hari efek emosi itu justru keluar dan ditemukan Chairil Anwar karena membawa korelasi dengan obyeknya (gagasan) melalui diksi dalam bahasa sehari-hari.
Dalam penerapan fungsi kata dalam puisi yang ekonomis, teknik ini setidaknya mengingatkan aturan puisi modernisme yang dirancang Ezra Pound dalam esainya A Few Don’ts by an Imajiste (1913), secara bahasa Pound memberikan aturan: Use no superfluous word, no adjective, which does not reveal something. ‘Jangan gunakan kata yang berlebihan, tanpa kata sifat, yang tidak mengungkapkan sesuatu’. Dalam penulisan fiksi, Ernest Hemingway juga memiliki teori penulisan yang disebut The Iceberg Principle atau Theory of Omission yang memberikan formula nyaris sama dengan prinsip ekonomi kata Ezra Pound dalam puisi imajismenya untuk mendekatkan pada efek emosi. Meskipun, penyair abad pertengahan seperti Robert Herrick juga sudah menerapkannya dalam puisi yang berciri monometer. Hanya saja, dalam gagasan Pound yang menjadi salah satu rujukan utama penyair modernisne, selain T.S Eliot, esainya mengarahkan pada puisi-puisi yang membawa penekanan pada pengambaran dalam aliran puisi modern yang dikembangkannya, yaitu imajisme. Pound membuka esainya dengan:
An “Image” is that which presents an intellectual and emotional complex in an instant of time. ‘Sebuah “Gambar” adalah apa yang menghadirkan kompleksitas intelektual dan emosional dalam waktu sekejap’.
Pound bahkan menekankan bahwa citra, gambaran dalam puisi sangat utama. Namun gambaran yang menghasilkan emosi dan makna-makna yang membawa dialektika pikiran. Dia berprinsip lebih baik merepresentasikan satu gambaran dalam puisi daripada memproduksi banyak puisi tanpa gambar. Dalan konteks gambaran ini, puisi atau sajak Chairil Anwar juga menggunakannya di samping penggunaan narasi liris dan bersifat subteks seperti prinsip Iceberg Theory meskipun masih dalam bentuk tradisi puisi lama. Di dalam puisinya “Tak Sepadan”, misalnya, kita menemukan gambaran:
I
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal dicerlang caya matamu
Dalam puisinya ‘Yang Putus dan Terhempas’, Chairil menggunakan gambaran yang kuat menghadirkan suasana emosi:
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.
Kita bisa membandingkan Ezra Pound menulis puisi pendeknya yang paling terkenal In a Station of the Metro dengan prinsip-prinsipnya secara ketat dalam aliran imajisme, baik penggunaan kata dan baris dan baitnya dengan efek citra atau gambaran untuk membangun emosi.
‘The apparition of these faces in the crowd:
Petals on a wet, black bough.’
-In a Station of the Metro,1913-
Puisi-puisi imajisme yang pendek-pendek itu juga mengingatkan pada puisi monostich Sitor Situmorang “Malam Lebaran”
‘bulan di atas kuburan.’
Sitor Situmorang, 1973
Pandangan dan Kebenaran
Sedangkan pada unsur tematik, tema dalam puisi Amir Hamzah (misalnya), seperti juga Gothe lebih memilih kiblat Timur melalui penyair Persia Hafez dan Rumi yang kemudian dikritik Chairil sebagai puisi gelap karena referensialisasinya pada agama (meskipun tidak sepenuhnya), sedangkan dalam puisi Chairil Anwar memiliki tema yang lebih beragam yang memperlihatkan unsur modernismenya dalam garis eksistensialisme. Setidaknya, beberapa puisinya berbicara tentang cermin diri (self-reflection dan self-reference) terutama pada posisi faktisitas-eksitensialisme atau diri yang berhadapan dengan kekuatan besar di luar dirinya seperti kematian, alam, atau bangsa yang dijajah bangsa lain. Kita juga menemukan tema-tema non-individual (kolektivisme) patriotisme-nasionalisme yang ditulis dengan mode ‘Ode dan Caper Diem’, seperti sajak “Diponegoro dan Kepada Angkatanku”.
Menariknya, meskipun Chairil Anwar memperlihatkan pandangan hidupnya yang eksistensialis, humanis-rasionalis-sekuler, dan membawa obyektivitas dalam puisi-puisinya yang menolak mitologi agama seperti sajaknya “Sorga”, tetapi dalam sajak-sajak “Di Mesjid” dan “Doa” jelas memperlihatkan posisinya sebagai seorang yang mengimani agamanya yang berlawanan dengan semangat modernisme yang antiagama. Sepanjang perjalanan hidupnya, Chairil seolah terperangkap di dalam dinamika ‘Kesadaran Realitas Nurani’. Istilah ini saya gunakan untuk menyebut sebuah kesadaran manusia yang hati nuraninya dibentuk secara alamiah hipostasis, menyadari kekuasaan besar di luar dirinya sebagai realitas. Lacan, misalnya mengatakan bahwa yang nyata adalah apa yang melekat pada kita, bukan apa yang kita nyatakan kepada diri kita sendiri secara benar atau salah[3]. Kontradiksi ini bukan berarti bahwa puisi-puisi Chairil Anwar hanyalah artifisial, tanpa makna, tetapi justru ia memperlihatkan kebenarannya sebagai seorang penyair yang jujur dan merasakan seluruh problem perjalanan kemanusiaannya yang diliputi oleh gelombang akal pikiran dan hati nurani, fakta obyektif dan realitas mitologis. Sebuah kebenaran yang secara ideal ditangkap dalam sebuah puisi yang membedakan kebenaran fiksi seperti John Stuart Mill tulisakan dalam esainya What Is Poetry?
“…The truth of poetry is to paint the human soul truly: the truth of fiction is to give a true picture of life. The two kinds of knowledge are different, and come by different ways, come mostly to different persons. Great poets are often proverbially ignorant of life…”
-John Stuart Mill, 1833, revised 1859-
[Kebenaran puisi adalah melukiskan jiwa manusia dengan sungguh-sungguh: kebenaran fiksi adalah memberikan gambaran kehidupan yang sebenarnya. Kedua jenis pengetahuan itu berbeda dan datang dengan cara yang berbeda, kebanyakan datang kepada orang yang berbeda. Penyair hebat sering kali mengabaikan kehidupan.]
Puisi Chairil Anwar setidaknya juga memiliki spirit kebenaran puisi seperti juga Ebenerzer Elliot katakan, seperti dikutip Mills dalam What Is Poetry?, “Poetry,” says he, “is impassioned truth.” “Puisi,” katanya, “adalah kebenaran yang berapi-api.” Dalam puisi-puisi Chairil kita mendapatkan lukisan jiwanya. Namun, makna kebenaran dalam semangat modernisme seringkali bertentangan dengan tujuan puisi klasik atau masa romantisme. Tujuan sastra modernisme adalah capaian estetika untuk menghasilkan efek emosi dan kebenarannya adalah relatif, tidak universal, sedangkan tujuan puisi klasik atau romantisme adalah menangkap kebenaran yang dinilai universal. ‘Kebenaran yang berapi-api’ seperti maksud kata Ebernezer Elliot di atas. Di sini, tentu saja kebenaran modernisme seperti jalan puisi Chairil Anwar menjadi bermakna kebenaran relatif karena sisi individualnya yang subyektif dan perspektif seperti terlukisankan dalam puisi-puisinya. Modernisme membawa respon zamannya yang dipenuhi kehancuran perang dan alineasi akibat industri. Hanya saja, tetap saja itu adalah sebuah kebenaran secara abstraksi. Telikung perspektif ini pula yang mencirikan sastra atau puisi modernisme. Dalam On Truth and Lies in a Nonmoral Sense (1873), Nietzsche yang gagasan-gagasannya dianggap salah satu basis intelektual gerakan modernisme sekaligus (dan terutama) posmodernisme, misalnya menulis: “Apakah kebenaran itu? …kebenaran adalah ilusi yang telah dilupakan bahwa itu adalah ilusi…”
Totalitas
Puisi Chairil Anwar bukan semata merupakan kebenaran dalam dirinya sebagai subyek, tetapi juga realitas hidupnya yang obyektif yang didasarkan pada realitas sejarahnya dan pandangan masa lalu dan masa kini yang baru. John Stuart Mill pada akhir paragraf kutipan di atas (What Is Poetry?) mengatakan ‘penyair hebat sering kali mengabaikan kehidupan’. Secara harafiah dan konteks, kehidupan Chairil menggambarkan itu. Secara total ia menjalani hidupnya sebagai seorang seniman, penyair. Ia mengorbankan asal-usulnya dan semua kesempatan untuk hidup nyaman dengan pekerjaan yang mapan, seperti dalam puisinya “Doa”: Aku mengembara di negeri asing. Kehidupan bohemian yang bisa kita lihat pula dalam kehidupan penyair Prancis Arthur Rimbaud, Charles Baudelaire, atau novelis Amerika Nelson Algren. Totalitas itu berproses dan merangsek sebagai ‘manjing ing kahanan‘ dalam istilah W.S Rendra sebagai laku pujangga dan untuk menghasilkan atau menangkap pemahaman atas pengetahuan realitas masa lalu dan masa kini secara obyektif. Semacam laku askestis yaitu pengorbanan diri demi membuka dan meningkatkan kepekaan diri sebagai penyair melihat dunia, seperti tulis Henry James, yaitu ‘kemampuan untuk melihat yang tak terlihat dari yang terlihat oleh mata biasa’. [4]
T.S Eliot, misalnya, dalam esainya Tradition and the Individual Talent (1919) menulis ini:
“…The progress of an artist is a continual self-sacrifice, a continual extinction of personality…”
[Kemajuan seorang seniman adalah pengorbanan diri yang terus-menerus, kepunahan kepribadian yang terus-menerus.]
Eliot dalam esainya itu pada dasarnya lebih melihat konsep totalitas yang membaurkan gagasan masa lalu (tradisi) dan masa kini yang baru yang dibawa seorang penyair dan melahirkan apa yang disebut puisi baru. Bahwa yang baru tidaklah selalu meninggalkan sama sekali masa lalu. Totalitas dalam konteks Chairil Anwar pun secara sadar atau tidak – juga membawa kesadaran masa lalu (tradisi) dan mengolahnya melalui kesadaran masa kini (modern). Kita bisa simak, misalnya pada bagian bait puisinya yang membawa tafsiran itu:
aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.
[Yang Terampas dan yang Putus, 1949)
Dalam perikop bait itu kita membaca makna batin Chairil yang terinternalisasi menyadari masa lalunya, baik secara psikologis dan historis yang membentuk kepribadiannya dan menjadi kesadaran masa kini, meskipun banyak hal di masa lalu sudah bukan menjadi masalah hari ini, seperti Eliot katakan bahwa perbedaan antara masa kini dan masa lalu adalah, bahwa masa kini yang disadari adalah kesadaran akan masa lalu dengan cara dan sampai pada tingkat yang tidak dapat ditunjukkan oleh kesadaran masa lalu itu sendiri. Apa yang harus ditekankan adalah penyair harus mengembangkan atau memperoleh kesadaran masa lalu, dan bahwa ia harus terus mengembangkan kesadaran ini sepanjang karirnya. Dalam beberapa puisi Chairil Anwar, meskipun dia mengritik Amir Hamzah, setidaknya juga terbaca masih membawa jejak puisi Amir Hamzah yang berpola sajak (rima) dan sekaligus tradisi puisi Barat lama.
Simpulan
Karya-karya Chairil Anwar, pada akhirnya membawa catatan: bahwa sebagai bentuk, puisi-puisi Chairil Anwar tidak terlalu menjauh dari puisi konvesional, baik Barat (Klasik, Romantisme) atau Pujangga Baru (setidaknya bila membaca karya Amir Hamzah), jika melihat puisinya banyak berupa sajak atau rima dan meteran. Sementara puisi modernisme secara bentuk, salah satu ciri utamanya adalah puisi bebas. Dalam istilah Robert Frost puisi bebas adalah ibarat bermain tenis tanpa jaring atau mengulang pandangan Pound bahwa ekpresi penyair modernis sering kali lebih baik diekspresikan melalui syair bebas daripada dalam bentuk konvensional. Dalam puisi, ia menyebut irama baru berarti gagasan baru.
Jalan modernisme puisi Chairil Anwar terbaca jelas pada tema-tema individualisme-eksistensialisme yang terasa dominan dalam puisi-puisinya. Gagasan modernisme inilah yang membedakan dan meluas pada penerapan bahasa sehari-hari (vernacular) yang bersifat revolutif sebagai teknik artistik-estetika. Tema isi puisi Amir Hamzah merujuk pada spirit dunia Timur dengan permainan majas gaya Melayu yang primodial, sedangkan tema isi puisi Chairil Anwar merujuk Barat, beraroma sekuler, individualisme melalui bahasa sehari-hari yang cair.
Pada sisi lain, bila kita cermati puisi-puisi Chairil Anwar dan meletakkannya pada gagasan dalam teori puisi impersonal T.S. Eliot, tidak sepenuhnya berhasil menjadi impersonal karena sifat, emosi penyair (Chairil Anwar) masih terasa menyatu dengan puisinya. Puisi-puisi liris modern Chairil Anwar lebih menekankan pada gagasan hidup yang eksistensialis yang tercerminkan dari kehidupannya sehari-hari (pribadi) sebagai semangat silopsisme (subyektif) yang menawarkan gagasannya tentang hidup. Tetapi, bagi Eliot, penyair hanyalah semacam media untuk menangkap pelbagai emosi demi menangkap capaian efek artistik. Puisi bersifat impersonal, terpisah dari penyairnya. Eliot berbeda dengan gagasan penyair-penyair metafisik Romantisme dan klasik yang mengejar kesatuan substansial jiwa atau maksud dari kebenaran universal. Dalam pandangannya, penyair tidak memiliki ‘kepribadian’ untuk diungkapkan[5], tetapi menjadi media tertentu, di mana dengan menjadi media itu kesan dan pengalaman berbaur melalui caranya yang aneh dan tak terduga. Pendapat Eliot senada dengan pendapat William Carlos:
“Let the metaphysical take care of itself, the arts have nothing to do with it….: A poem is a small (or large) machine made of words.” [“Biarkan metafisik mengurus dirinya sendiri, seni tidak ada hubungannya dengan itu….: Puisi adalah mesin kecil (atau besar) yang terbuat dari kata-kata.”]
-Pengantar The Widge, William Carlos William, 1944-
Sebagai katalis transformasi dan teleologis bentuk puisi, keadaan puisi Chairil belum seperti yang diinginkan T.S Eliot sebagai memenuhi syarat puisi yang impersonal. Puisi Chairil Anwar, seperti kita baca dalam beberapa puisinya adalah autotelik dan silopsisme yang menjadi representasi dirinya sendiri, artinya tidak terlalu berjarak antara penyair dan puisinya. Suara-suara dalam puisi Chairil Anwar juga sedikit berbeda dengan suara-suara modernisme asal (Barat) yang dipenuhi ciri-ciri kehancuran, keputusasaan, nihilisme, dan pesismisme, misalnya seperti karya-karya WH Auden yang menjadi bagian dari jejak referensi Chairil. Karya Auden September, 1,1939, misalnya, adalah respon yang pesimistis akibat meletusnya Perang Dunia II. Suara-suara dalam puisi Chairil Anwar, meskipun pekat dengan nuansa eksistensialisme, tetapi dipenuhi dengan suara-suara optimisme – baik sebagai pribadi atau sosial, keyakinan berdiri tegak di muka bumi, serta suasana ekstase dalam keyakinan agamanya. Tentu saja hal ini bisa kita pahami bila mengingat latar sosial-budayanya hingga kematiannya di usia 26 tahun berada dalam lingkungan bangsa yang terjajah yang mendorong setiap orang untuk saling menguatkan dan bertindak membuat perubahan lebih baik seperti bangsa lain yang sudah mapan.
Hanya saja, lepas dari kondisi itu -juga pendapat Eliot, tak sepenuhnya mengganggu eksistensi puisi dan kepenyairan Chairil Anwar yang memiliki karakter kuat dan memancarkan efek emosi tertentu dengan pilihan diksinya yang mampu membawa kita pada kenikmatan membaca puisi. Sebuah keadaan capaian yang persis Wallace Stevens katakan dalam Notes Toward a Supreme Fiction (1942), bahwa puisi adalah fiksi tertinggi, karena esensi puisi adalah perubahan dan esensi perubahan adalah memberikan kesenangan.
Pada akhirnya, seluruh catatan ini menandai, pertama, kebaruan dalam puisi Chairil dalam konteks sastra Indonesia dengan catatan tertentu. Bahwa puisi-puisi Chairil Anwar meskipun sebagai bentuk terasa baru bila dibandingkan dengan sastrawan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, tetapi tidak sepenuhnya bisa disebut baru -bila itu merujuk serta menimbang keberadaan sajak dan meteran dalam puisi-puisinya sebagai capaian estetika. Terutama bila kita melihat atau meletakkannya pada konsep modernisme sebagai gerakan di dunia (bukan modern semata) yang disandangkannya.[6] Tetapi, di luar itu, pada faktanya posisi Chairil memang belum tergantikan sebagai perintis sekaligus inspirator lahirnya puisi baru di Indonesia. Kedua, meskipun perjalanan sastra dan hidupnya relatif pendek, namun totalitasnya berhasil membawanya pada suasana modern sastra Indonesia. Sebuah ujung perjuangan yang mencapai harapannya -persis seperti yang dia sampaikan dalam suratnya pada Ida: “Kupikirkan bentuk dan garis baru untuk kesusasteraan kita….”
Dan kita, sudah sepantasnya hidup dengan semangat itu.
Referensi
- Baudelaire, Charles, “The Painter of Modern Life” (1863) versi pdf.
- Berman, Marshall. 1982. All That Is Solid Melts into Air: The Experience of Modernity. New York: Simon and Schuster. ISBN 0-671-24602-X. London: Verso. ISBN 0-86091-785-1. Paperback reprint New York: Viking Penguin, 1988. ISBN 0-14-010962-5.
- Childs, Peter, Modernism (The New Critical Idiom), The Routledge, 2000
- Childs, Peter and Fowler, Roger, The Routledge Dictionary of Literary Terms, © Routledge 1973, 1987, 2006
- Cantor, Norman (1988) Twentieth Century Culture, Modernism to Deconstruction, London: Peter Lang.
- Delanty, Gerard. 2007. “Modernity.” Blackwell Encyclopedia of Sociology, edited by George Ritzer. 11 vols. Malden, Mass.: Blackwell Publishing. ISBN 1-4051-2433-4.
- Eliot, Thomas Stearns. “Hamlet and His Problems.” The Sacred Wood. New York: Alfred A. Knopf, 1921; Bartleby.com, 1996. Web.
- Eliot, TS, Tradition and Individual Talent 1919
- Louis Menand, Stand by Your Man, The New Yorker, 2005
- Mills, John Stuart, What’s Poetry? 1853
- O’Donnell, James J. 1979. Cassiodorus. Berkeley, California: University of California Press. ISBN 0-520036-46-8.
- Pound, Ezra, A Few Don’ts by an Imajiste (1913)
- Sutjianingsih. Sri, Dra, Chairil Anwar Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Direktorat Nilai Sejarah 2009.
Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan berbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021).
[1] [1] James Huneker, dalam pengantarnya The Poems and Prose Poems of Charles Baudelaire (1919) menulis tentang Heinrich Heine dan Baudelaire: “Heine called himself the last of the Romantics. The first of the “Moderns” and the last of the Romantics was the many-sided Charles Baudelaire.”
[2] [2] Menurut DS Priyadi, salah satu murid Bengkel Teater, W.S. Rendra pernah bercerita bahwa dirinya menemui Ida Nasution untuk kepentingan riset keaktoran dalam kebutuhannya sebagai pemeran karakter Chairil Anwar dalam film Syuman Djaya berjudul “Aku” tapi gagal produksi. Kata Rendra, Ida Nasution mengaku tidak mengenal langsung Chairil Anwar. Ida hanya bercerita bahwa ada anak muda yang akan mengisi siaran radio dengan membacakan surat-surat. Rendra menyimpulkan surat itu sebagai imajiner Chairil Anwar semata.
[3] Pada tahun 1953, dalam sebuah kuliah yang disebut “Le simbolique, l’imajinaire et le r é el” (Simbolik, imajiner, dan nyata; 1982), Lacan memperkenalkan yang nyata sebagai terhubung dengan imajiner dan simbolis.
[4] Henry James menulis dalam The Art of Fiction (1884): “…The power to guess the unseen from the seen, to trace the implication of things, to judge the whole piece by the pattern, the condition of feeling life, in general, so completely that you are well on your way to knowing any particular corner of it–this cluster of gifts may almost be said to constitute experience, and they occur in country and in town, and in the most differing stages of education. If experience consists of impressions, it may be said that impressions are experience, just as (have we not seen it?) they are the very air we breathe.
[5] [5] Bandingkan dengan pernyataan Ibn Rusd (Averroes): Puisi tidak boleh menggunakan senjata retorika atau persuasi. Itu seharusnya hanya meniru, dan penyair harus melakukannya dengan keaktifan yang begitu hidup sehingga objek yang ditiru tampak ada di hadapan kita. Jika penyair membuang metode ini untuk alasan langsung, dia berdosa terhadap seninya. — Umberto Eco (1959), Art and Beauty in the Middle Ages. Yale University Press 1986.
[6] [6] Pada bagian I Theorizing Posmodern toward Poetic dalam bukunya A Poetics of Posmodern (1988), Linda Hutcheon mengutip pendapat bahwa konsep modernisme sebagian besar merupakan konsep Anglo-Amerika (Suleiman 1986))