Larasati, Larahati
Karya Arinda Sari
Larasati namanya. Perempuan penghujung 30 tahun, berparas ayu nan luwes itu tersenyum. Meski ada yang berbeda dari senyumnya yang agak berkesan basa-basi itu, senyum yang kemudian hari membuat orang-orang mafhum, memang begitulah bentuk bibirnya – memang kita mau mencela ciptaan Tuhan dengan menyuruhnya oplas? Ah, dan perkara sesuatu yang terlahir dari bibirnya itu membuat, mungkin saja, level keimanan orang-orang naik sebab memupuk kesabaran terus-menerus, sepanjang hari, pekan, bulan, bahkan tahun. Serupa tanaman sirih gading yang apabila dipupuk, ia terus tumbuh, merambat makin cepat, dan daunnya menjadi lebar-lebar.
Lara penjahit profesional. Ia alumnus jurusan tata busana di kampus ternama yang lulus dengan pujian. Tak heran, hasil sentuhan tangannya benar-benar level butik. Rapi, nyaman, luwes dikenakan, berdesain kekinian, dan tak pasaran pula. Soal ia mematok harga suka-suka, lagi-lagi membuat pelanggan maklum. Ana rega, ana rupa. Harga signifikan dengan rupa atau kualitas barang. Pepatah Jawa itu benar adanya. Toh, merek busananya sudah cukup terkenal. Sesekali di-endorse selebgram pula. Namun, meski sudah mufakat dengan harga sejak awal, Lara suka menambah aksen payet, manik, bunga, atau pita di luar permintaan pelanggan.
“Lho, kok, jadi semakin mahal, Mbakyu?” Raut wajah Bu Marisa, sang pelanggan puas, tetapi tak cocok dari segi kocek. “Kan sudah langganan ini.”
“Lha, namanya juga handmade, dibuat satu-satu. Manual. Itu yang bikin mahal. Memang sampeyan nemu ada mesin pemasang payet otomatis?” cerocos Lara. Jika dikonversi jadi cabai, mungkin kepedasannya melebihi keripik pedas level sepuluh.
Bu Marisa mengangguk seraya tersenyum kecut. “Aslinya saya nggak minta dikasih payet di sebelah sini, lho” ucap Bu Marisa sembari menunjukkan gaun bagian lengan.
Lara membuang napas. “Saya bikin tambah bagus, sampeyan kok malah protes” cibir Lara sambil menulis nota cepat-cepat. Dalam hati, ia berharap sang pelanggan itu segera hengkang dari rumah sekaligus galerinya.
“Matur nuwun, Mbakyu. Saya pamit.” Bu Marisa beranjak menuju mobilnya yang terparkir lama di depan galeri.
Lara melambaikan tangan seperti gaya lambaian tangan Miss Universe, anggun gemulai. Senyum kemenangan terukir di bibirnya. Samar, samar sekali.
Sudah delapan tahun Lara menikah. Selama rentang waktu itu, belum ada malaikat kecil yang menyemarakkan rumah. Plang bertuliskan “Galeri Larasati” dengan tagline “Pas di Hati” terpampang elegan di seberang pagar, di depan galeri Lara. Usia galeri itu sama dengan usia pernikahannya dengan Bisma. Lelaki itu mendukung penuh usaha sang istri yang merintis sejak dulu hingga sebesar ini. Beberapa karyawan datang dan pergi, berganti-ganti. Bahkan para asisten rumah tangga resign dengan alasan klasik: pulang kampung.
Bisma memang menyerahkan urusan manajerial galeri kepada istrinya. Ia enggan campur tangan karena pekerjaannya di luar sudah menyita waktu dan energi. Dalam kondisi penat, kepalanya nyaris meledak tiap kali Lara melapor ada yang tidak beres dengan karyawan dan admin, ART yang begini-begitu, semau-mau.
“Mereka manusia dewasa yang tak tahu diuntung. Sudah dikasih pekerjaan enak, malah nggak bersyukur. Mau jadi apa di luar sana? Gembel?!” dalih Lara, kesal. Ia duduk di sofa, membolak-balik majalah mode terbaru, sembari mencari inspirasi kebaya modern pesanan pelanggan dari Jakarta. Multitasking.
Lelaki itu terpana, geleng-geleng kepala, lalu mengacak-acak rambutnya hingga makin kusut. “Tolong, deh, Ma, jangan menilai secara sepihak. Mama, eh, maksudku kita harus banyak introspeksi.” Letih ungkapan Bisma, tetapi sedikit beruntung karena segera meralat kata “mama” menjadi “kita” untuk menghindari konflik lebih jauh.
Lara berdiri, bersedekap dengan menekuk wajah. Sudah sekian purnama Bisma menyarankan dia mengevaluasi diri, tetapi perempuan itu tak pernah mau mengakui kesalahan. Alih-alih bisa merasa, ia malah merasa bisa, bisa mengatasi semua: rumah tangga, bisnis, toko online, dan lingkungan sosial. Benar. Itu mungkin tampak baik-baik saja pada tahun awal, tetapi makin ke sini, bom waktu itu terus menghitung mundur dan hanya menunggu momen untuk meledak.
Para tetangga kompleks Lara setali tiga uang dengan orang-orang di dalam rumahnya. Menurut Lara, karyawan, ART, dan sang suami menyebalkan. Tetangga-tetangga Lara jengah, enggan bertegur sapa dengan Lara, meski mereka lewat depan galeri setiap hari. Mereka memilih berjalan atau berkendara dengan tatapan lurus, enggan menoleh sedikit pun, meski Lara tengah berada di teras rumah. Ada pula tetangga yang repot-repot memilih jalan memutar demi tidak lewat depan rumah Lara. Mereka muak dengan plang “Galeri Larasati, Pas di Hati” itu.
Pertengahan Desember yang penuh gerimis itu, hidup Lara menuai teror. Mantan pelanggan yang sakit hati mengirim surat kaleng ke alamat rumah. Lantas muncul ancaman-ancaman via SMS, hingga toko online Lara panen penilaian negatif di media sosial dan lokapasar.
Lara mendengus “Ini pasti kerjaan saingan bisnis. Nyalinya ciut kalau berhadapan. Jadi hanya berani lewat belakang! Pengecut!”
“Jangan beropini kalau nggak bisa memberi bukti, Ma.” Bisma mengingatkan istrinya sembari sibuk memakai sepatu.
Lara sebal, tetapi tetap antisipatif. Ia masih bisa menyungging senyum sebab pelanggan baru terus berdatangan. Mereka memesan via online, fitting ke galeri, merasa puas dan membayar. Sering pelanggan menentukan desain, bahan, dan bujet. Air muka Lara berubah manakala ada pelanggan memesan gaun dengan bujet minim. Di media sosial, Lara menyindir seorang pelanggan dalam sebuah postingan. “Ingin baju bagus tapi minim fulus, duh… gimana ya.” Unggahan itu dia tambah emotikon bingung tiga biji.
Konon, nasib baik bisa dijemput dengan perbuatan-perbuatan baik, doa-doa baik, ucapan-ucapan baik tetapi Lara hendak menabrak hukum alam itu. Ia hanya percaya kredibilitas dan profesionalisme sudah lebih dari cukup untuk membuat pelanggan jatuh cinta.
Sayang, pelanggan hanya datang sekali. Cukup sekali. Tak ada repeat order. “Buat apa hasil bagus, tetapi mulut seperti rem blong.” Begitulah sebuah komentar dalam unggahan di media sosial Lara yang membuat hatinya panas.
Menurut kabar burung yang mampir ke telinga Lara, ada tetangga sakit hati. Ia lantas iseng mengubah tulisan “Larasati” di plang menjadi “Larahati” dengan tagline “Panas di Hati”.
Awalnya Lara tak terlalu memperhatikan. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, ia mencak-mencak. Lara hendak melapor ke ketua RT, tetapi tidak ada barang bukti untuk menuduh sang tetangga yang resek itu. Lara tak hilang akal. Ia menuntut suaminya memasang kamera cctv tetapi Bisma menjawab ketus. ”Ma, itu tidak penting. Tidak ada anggaran pula. Papa yakin kompleks kita aman.”
Laras muntab karena setelah diganti dengan huruf yang benar, plang nama itu kembali berubah keesokan hari. Huruf “S” menjadi “H”. “Pas” menjadi “Panas”. Selalu begitu berulang kali. Hingga Laras punya inisiatif untuk menjebak sang pelaku yang kurang kerjaan itu.
Setiap malam Lara tidak tidur sepicing pun. Ia berjaga, kalau-kalau orang iseng itu beraksi mencabut plang dan menggantinya. Lara akan menangkap basah, mengambil foto atau video, lalu ia sebarkan di unggahan media sosial.
Brmm… brrm….
Satu dua orang lewat. Lara menajamkan pandangan. Huh! Ternyata satpam kompleks yang sedang berpatroli rutin. Suara berisik dan langkah kaki terdengar, setelah dia periksa ternyata kucing kawin. Suara motor ketiga yang membuat ia berang ternyata pengendara ojek online yang mengantar pesanan makanan malam-malam. Hingga dini hari mata Lara awas terpicing tetapi tak membuahkan hasil.
Esok hari, masih dengan sepasang mata panda, Lara mandi cepat-cepat. Ia lalu bekerja gesit menyelesaikan pesanan yang menyusut. Sengaja ia geser mesin jahit ke dekat jendela, sambil berjaga-jaga di balik vitrase. Sungguh melelahkan bekerja sembari merangkap menjadi sekuriti, pikir Lara tetapi ia tidak punya pilihan lain.
Suara derum mobil yang berhenti di depan galeri ternyata tukang sampah. Tak berapa lama, tukang sayur memanggil-manggil, mempromosikan segantang petai. Sepanjang siang, penjual jajanan keliling membuat Lara semakin pening. Seharian duduk di situ, tak seorang pun bertamu ke rumah. Tak seorang pun menelepon atau mengirim chat memesan gaun. Tak ada manusia suka berdekat-dekat dengan Lara daripada kena omel atau kena sindir.
Sore hari hingga petang, ia terus memantau. Masih berlanjut malam hingga dini hari. Hal itu terus dia lakukan berulang-ulang, berhari-hari, sepanjang minggu dan bulan.
Lara muntab karena setiap kali mengecek plang nama itu, selalu berubah. “S” menjadi “H”. “Pas” menjadi “Panas”. Kecolongan berkali-kali membuat Lara senewen dan hampir mati penasaran atas ulah pelaku yang kurang ajar itu.
“Mas, jika kamu nggak bisa membantuku menemukan pelaku iseng itu, jika kamu nggak bisa memasang cctv, tolong cabut saja plang sialan itu.” Keluh Lara letih.
“Itu sudah dicor. Mana bisa dicabut seenaknya.” Bisma mengibaskan tangan. “Miris, istriku benar-benar sedang error,” pikirnya.
“Hmm, berarti sakti sekali orang ini. Jangan-jangan dia berkonspirasi dengan dukun. Gila! Zaman modern begini masih ada klenik untuk menjatuhkan usaha seseorang. Pasti penjahit sekompleks itu yang melakukan,” suuzan Lara sambil mengipasi wajah. Gerah.
Bisma kehabisan kata-kata sebab makin hari Lara kian uring-uringan karena sepi pelanggan, Bisma menghancurkan cor-coran semen itu agar bisa mencabut plang. “Ini plangnya, Ndara Putri” ucap Bisma jengah.
Lara mematung. Benarkah plang itu benar-benar membawa sial? Bisma menaruh plang itu di ruang kerja Lara yang sepi. Gulungan kain aneka warna dan motif menumpuk di sudut ruangan. Benang warna-warni, pita beruntai, potongan-potongan bordir bunga, tampak termangu di tempat masing-masing. Payet beraneka ukuran warna, juga manik-manik yang tersimpan di dalam kotak transparan berkilau-kilau terkena tempias cahaya matahari sore hari. Mesin jahit, mesin obras, mesin bordir, dan suara kres-kres gunting kain tak terdengar. Senyap. Suara berisik karyawan juga lenyap beberapa hari terakhir ini.
Ya, semua telah selesai pada detik pertama perempuan itu memutuskan puasa bicara. Malam bulan purnama. Sang maestro itu menelungkupkan wajah di atas meja kaca. Di bawah meja kaca penuh kartu nama berbagai instansi, lembaga, sekolah, komunitas, dan kartu nama para pejabat, artis, dan tokoh publik yang pernah menggunakan jasanya. Kini mereka telah lenyap. Semua, tanpa sisa.
Pukul dua dini hari, Lara terbangun dengan rambut kusut masai. Matanya terasa rabun, lampu-lampu di ruangan berpendaran tak jelas. Ia melihat plang itu di depan matanya. Bisma memang menaruhnya di sana. Aneh. Tulisannya telah kembali. Huruf “S” menggenapi tulisan “Larasati, Pas di Hati”. Bukan lagi “Panas di Hati”. Padahal seingat Lara, tadi sore ketika Bisma membongkar cor-coran di depan galeri, tulisan itu masih “Larahati, Panas di Hati”.
Sungguh ajaib!
Beringsut dengan sisa-sisa semangat, tangan Lara mengambil kain. Ia menjahit dengan tangan bagian bawah rok dengan tusuk tikam jejak. Ia kehilangan selera untuk menggunakan mesin jahit.
Blus!
Satu jarum masuk, tarik ke atas. Kira kira 3 milimeter langsung blus lagi, naik lagi ke permukaan kain. Blus! Begitu seterusnya.
Tikam. Blus.
Jejak. Blus.
Blus! Aduh! Jarum itu mengenai ujung telunjuk Lara.
Lara mengambil plester, membebat ujung telunjuk cepat-cepat. Sejak awal menjahit dulu terkena jarum adalah risiko profesi. Sama seperti juru masak yang teriris pisau. Namun, semakin mahir dan naik level, seingat Lara, ia hanya tertusuk jarum sekali-dua kali saja karena kurang konsentrasi, dan ini tusukan jarum pertama setelah beberapa tahun jarinya aman.
Ups! Rupanya ada kesalahan. Gesit ia mengambil gunting. Mengulang lagi jahitan tusuk tikam jejak yang tak lagi rapi. Rasanya sudah lama sekali tak merasakan sensasi menjahit tangan seperti ini.
Lara termenung. Mengambil jeda.
Tusuk tikam jejak.
Menikam.
Jejak.
Luka hati, yang telanjur tertikam, menjadi jejak. Seumpama lembaran kain yang telah dijahit. Ketika benang itu hendak dilepas, ada bekas jarum terjejak di sana, berlubang-lubang. Kain tak bisa mulus lagi seperti semula.
Kain pelanggan terakhir yang memberikan pelajaran.
Air matanya menitik, gerimis, lalu menderas.
Lara tahu kini, benar-benar tahu, siapa yang mengubah huruf “S” menjadi “H” dan menyisipkan “-na” di tengah kata “Pas”: mulutnya!
* Arinda Sari, penulis 17 buku, blogger di www.arindashafa.com. Pegiat di Komunitas Penulis Ambarawa ini tinggal di Semarang. Dia bisa dihubungi via alamat surat elektronik arindashafa@yahoo.com.