Republik Gondour yang Membuat Penasaran

Cerpen Karya Mark Twain Diterjemahkan oleh Hendarto Setiadi

 

Begitu saya mulai bisa berbicara sedikit dalam bahasa ini, saya menjadi sangat tertarik kepada masyarakat dan sistem pemerintah setempat.

Saya mendapati bahwa bangsa ini telah mencoba menerapkan hak pilih universal secara murni dan konsekuen, tetapi kemudian berpaling dari metode tersebut karena hasilnya tidak memuaskan. Rupanya metode itu telah mengantarkan segenap kekuasaan ke tangan golongan orang yang tidak berpengetahuan sekaligus pengemplang pajak, dan dengan demikian mau tidak mau jabatan-jabatan penting juga diisi oleh mereka yang berasal dari golongan ini.

Sebuah solusi pun dicari. Rakyat merasa telah menemukannya – bukan dalam bentuk penghapusan hak pilih universal, melainkan dalam perluasannya. Gagasan itu tidak biasa, dan amat cerdik. Perlu diketahui bahwa konstitusi memberi setiap orang satu suara, dan dengan demikian suara itu merupakan hak yang dijamin dan tidak dapat dirampas. Namun, konstitusi tidak menyatakan bahwa individu tertentu tidak boleh diberi dua suara, atau sepuluh! Sebuah klausul amendemen pun disisipkan secara diam-diam, sebuah klausul yang mengizinkan perluasan hak suara dalam kasus-kasus tertentu yang akan dijabarkan lewat undang-undang. Usulan untuk “membatasi” hak suara mungkin akan langsung menyulut keributan, tetapi usulan untuk “memperluasnya” justru mengandung aspek yang menyenangkan. Meskipun demikian, koran-koran segera menaruh curiga, lalu mulai melancarkan serangan! Akan tetapi, ternyata untuk kali ini – dan untuk pertama kali dalam sejarah republik – harta, karakter, dan intelek dapat memiliki pengaruh politik; untuk kali ini uang, kebajikan, dan kecerdasan menunjukkan minat yang vital dan bersatu dalam menghadapi suatu isu politik; untuk kali ini kekuatan-kekuatan tersebut meramaikan “pemilihan pendahuluan”; untuk kali ini para putra terbaik bangsa diajukan sebagai calon untuk duduk di parlemen, yang seyogianya mengurusi perluasan hak suara. Pers terbelah dua kubu dan kubu yang paling berpengaruh serta-merta bergabung dengan gerakan baru ini, sementara kubu yang lain hanya dapat mencerca usulan yang akan “memusnahkan kebebasan” golongan terbawah masyarakat, yang sebelumnya menjadi penentu dalam komunitas.

Kemenangan telak pun berhasil diraih. Undang-undang baru telah dirumuskan dan disahkan. Menurut undang-undang itu setiap warga, meskipun miskin atau tidak berpengetahuan, memiliki satu suara, jadi hak pilih universal tetap berlaku; namun, jika seseorang mempunyai pendidikan sekolah dasar yang baik tetapi tidak mempunyai uang, ia memiliki dua suara; pendidikan sekolah lanjutan memberinya empat suara; begitu pula jika ia mempunyai harta, sampai senilai tiga ribu ‘saco’, ia mendapat satu suara lagi; untuk setiap tambahan harta sebesar lima puluh ribu ‘saco’, ia berhak atas satu suara lagi; pendidikan universitas memberi seseorang hak atas sembilan suara, meskipun ia tidak berharta. Oleh karenanya, mengingat pendidikan itu lebih lazim dan lebih mudah diperoleh daripada kekayaan, orang-orang terpelajar menjadi pengimbang yang baik untuk menghadapi orang-orang berada, sebab mereka akan menang suara. Pendidikan biasanya beriringan dengan kejujuran, keluasan pandangan, dan kemanusiaan sehingga para pemilih terpelajar, selaku penentu keseimbangan kekuasaan, menjadi pelindung yang sigap dan efisien untuk massa masyarakat bawah.

Sekarang suatu perkembangan aneh pun muncul – orang-orang seakan saling berlomba untuk mendapatkan kekuatan suara! Jika semula seseorang dihargai semata-mata atas dasar jumlah uang yang dimilikinya, kini kebesaran seseorang diukur berdasarkan jumlah suara yang dipegangnya. Seseorang dengan satu suara saja akan sangat hormat kepada tetangganya yang mempunyai tiga suara. Jika ia seseorang yang bukan sekadar orang kebanyakan, ia pun akan menunjukkan tekad yang menggebu-gebu untuk memperoleh tiga suara bagi dirinya. Semangat bersaing menyebar ke segala kalangan. Suara atas dasar modal lazim disebut sebagai suara “fana” karena ada kemungkinan hilang; suara atas dasar pendidikan disebut sebagai suara “kekal” karena bersifat permanen, dan mengingat hakikatnya yang pada dasarnya tidak dapat diganggu gugat, jenis kedua ini tentu saja lebih dihargai.. Saya katakan “pada dasarnya” sebab suara-suara itu bukannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat, melainkan bisa ditangguhkan jika pemilik suara mengidap gangguan jiwa.

Di bawah sistem ini, judi dan spekulasi hampir sepenuhnya lenyap dari wilayah republik. Seseorang yang disegani sebagai pemegang kekuatan suara yang besar takkan mau mengambil risiko kehilangan karena pertaruhan yang tidak jelas.

Rencana perluasan hak suara tersebut ternyata memunculkan sikap dan kebiasaan yang bisa membuat kening berkerut. Suatu hari, ketika saya sedang menyusuri jalanan bersama seorang kawan, ia mengangguk sekadarnya kepada seseorang yang berpapasan dengan kami dan kemudian berkomentar bahwa orang itu hanya mempunyai satu suara dan besar kemungkinan takkan pernah meraih suara tambahan. Kawan saya itu lebih takzim kepada kenalan berikutnya yang kami jumpai, lalu ia menjelaskan bahwa salam kali ini merupakan penghormatan empat suara. Saya berusaha menaksir “rata-rata” posisi orang-orang yang disapanya setelah itu berdasarkan cara ia memberi salam, tetapi saya tidak sepenuhnya berhasil karena ternyata penghormatan yang lebih besar diberikan kepada golongan kekal dibandingkan kepada golongan fana. Kawan saya pun memeberikan penjelasan. Ia berkata bahwa tidak ada hukum yang mengatur hal itu, terkecuali hukum yang paling kuat di antara semuanya, yaitu adat kebiasaan. Adat kebiasaan telah melahirkan rupa-rupa cara memberi hormat tersebut, dan lama-kelamaan semuanya menjadi terasa mudah dan alami. Pada saat itulah ia sendiri memberi hormat dengan cara yang sangat bersungguh-sungguh, dan kemudian berkata, “Nah, orang itu mengawali hidupnya sebagai magang tukang sepatu, dan tanpa pendidikan; sekarang dia punya dua puluh dua suara fana dan dua suara kekal; dia berencana melewati ujian sekolah lanjutan tahun ini dan menaikkan beberapa suara lagi di kalangan kaum kekal; dia warga yang sangat terhormat.”

Beberapa waktu kemudian, kawan saya berjumpa dengan seorang tokoh terkemuka dan ia bukan saja membungkuk rendah, tetapi juga mengangkat topinya. Saya pun mengangkat topi, dengan diliputi perasaan segan yang misterius. Saya sudah mulai tertular.

“Siapakah pembesar tadi?”

“Dia astronom yang paling termasyhur di sini. Dia tidak berharta, tetapi pengetahuannya teramat luas. Bobot politiknya sembilan suara kekal! Kalau saja sistem kami sempurna, bobotnya bisa mencapai seratus lima puluh suara.”

“Adakah jenjang berdasarkan harta semata yang bisa membuatmu angkat topi?”

“Tidak ada. Hanya sembilan suara kekal yang dapat membuat kami angkat topi – dalam kehidupan sehari-hari, maksudnya. Pejabat yang sangat berjasa tentu saja juga mendapat penghormatan seperti itu.”

Bukan hal aneh mendengar seseorang mengagumi orang lain yang mengawali hidup di kalangan bawah dan berangsur-angsur meraih kekuatan suara yang besar. Juga bukan hal aneh mendengar anak-anak muda merencanakan masa depan dengan sekian banyak suara untuk diri mereka. Saya sempat mendengar beberapa ibu yang cerdik membicarakan seorang pemuda tertentu sebagai “incaran” yang bagus karena jumlah suara yang dimilikinya. Saya tahu lebih dari satu kasus anak perempuan orang kaya menikah dengan pemuda yang hanya mempunyai satu suara; pertimbangan di balik itu adalah bahwa pemuda tersebut dikaruniai bakat yang begitu luar biasa sehingga diyakini akan mampu mengumpulkan banyak suara, dan dalam jangka panjang mungkin dapt mengalahkan suara istrinya, jika ia beruntung.

Ujian kompetitif menjadi keharusan untuk semua jabatan publik. Saya pikir pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para calon itu serba liar, rumit, dan sering kali menuntut pengetahuan yang tidak diperlukan untuk jabatan yang akan diduduki.

“Mungkinkah orang pandir atau orang bodoh dapat menjawab dengan benar?” tanya orang yang saya ajak bicara.

“Tentu saja tidak.”

“Nah, berarti Anda takkan menemukanorang pandir atau orang bodoh di antara para pejabat kami.”

Saya merasa agak terpojok, tetapi saya berkelit dan berkata:—

“Tetapi lingkup pertanyaannya jauh lebih luas dari semestinya.”

“Tidak ada-apa; kalau para calon mampu menjawab pertanyaan tersebut, itu merupakan petunjuk yang cukup baik bahwa mereka mampu menjawab hampir semua pertanyaan yang mungkin diajukan kepada mereka.”

Ada beberapa hal di Gondour yang mustahil diabaikan. Salah satunya adalah bahwa tidak ada tempat bagi ketidaktahuan dan ketidakcakapan di jajaran pemerintahan. Negara dijalankan oleh akal budi dan harta. Seorang calon pejabat haruslah berkemampuan tinggi, berpendidikan, dan berkarakter tanpa cela, atau ia tidak mempunyai peluang untuk terpilih. Jika seorang tukang panggul memiliki ciri-ciri itu, ia bisa berhasil; tetapi sekadar fakta bahwa ia tidak bisa membuatnya terpilih sebagaimana yang terjadi di masa lampau.

Mendapat kursi di parlemen atau memegang jabatan kini menjadi suatu kehormatan yang sangat tinggi; menurut sistem lama, kedudukan istimewa seperti itu justru membuat seseorang dicurigai dan menjadikannya sebagai sasaran cemoohan dan makian pers. Kini kaum pejabat tidak perlu mencuri. Gaji mereka sangat besar dibandingkan uang receh yang dibayarkan semasa parlemen dibentuk oleh para tukang panggul yang memandang gaji resmi dari sudut pandang tukang panggul dan mengharuskan pandangan tersebut dihormati oleh para pelayan mereka yang patuh. Keadilan ditegakkan secara bijak dan sesuai aturan; sebab seorang hakim, yang telah meraih posisinya dengan melewati rangkaian promosi sebagaimana yang digariskan, akan menduduki jabatan itu secara permanen selama ia berperilaku baik. Ia tidak perlu menyesuaikan putusannya berdasarkan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap sikap partai politik yang sedang berkuasa.

Sebagian besar urusan negara ditangani oleh badan kementerian dengan masa jabatan yang habis bersamaan dengan masa jabatan pemerintahan yang membentuknya. Ini juga berlaku untuk para kepala departemen utama. Para pejabat yang lebih rendah sampai di posisi masing-masing melalui promosi atas dasar jerih payah sendiri, dan bukan karena diangkut serta-merta dari kedai minum atau karena merupakan kerabat atau kawan anggota parlemen. Perilaku baik menjadi penentu masa jabatan mereka.

Kepala pemerintahan, sang Kalifah Akbar, dipilih untuk masa jabatan dua puluh tahun. Saya mempertanyakan apakah ini bijaksana. Saya mendapat jawaban bahwa yang bersangkutan tidak bisa berbuat apa pun yang merugikan, karena negara dijalankan oleh badan kementerian dan parlemen, dan bahwa beliau dapat dimakzulkan seandainya ia melakukan tindakan yang melanggar peraturan. Jabatan agung tersebut sudah dua kali diisi dengan baik oleh perempuan, perempuan yang tidak kalah layak untuk posisi itu dibandingkan beberapa ratu pemegang tongkat kebesaran yang sempat tercatat dalam sejarah. Anggota-anggota kabinet di bawah banyak pemerintahan pun ada yang perempuan.

Saya mendapati kuasa pengampunan berada di tangan mahkamah pengampunan, yang beranggotakan sejumlah hakim terpandang. Di bawah rezim lama, kuasa penting ini dipegang oleh satu pejabat saja, dan biasanya ia akan mengosongkan penjara-penjara tepat menjelang pemilihan umum berikut.

Saya bertanya tentang sekolah negeri. Ternyata ada banyak, sama halnya dengan perguruan tinggi yang tidak menarik biaya. Saya bertanya tentang wajib belajar. Pertanyaan itu disambut dengan senyum, dan sebuah jawaban:—

“Jika anak seseorang bisa membuat dirinya berkuasa dan dihormati sesuai pendidikan yang diperolehnya, bukankah orang tua bersangkutan akan menerapkan wajib belajar dengan sendirinya? Sekolah dan perguruan tinggi kami yang gratis tidak memerlukan undang-undang agar terisi.”

Nada bicara orang itu memancarkan kebanggaan berlandaskan cinta kepada negara yang terasa menyebalkan bagi saya. Sudah lama saya tidak menggunakan nada bicara seperti itu. Puja-puji kemasyhuran Gondour terus terngiang di telinga saya; oleh karenanya, saya pun bersyukur ketika meninggalkan negeri itu dan kembali ke tanah air tercinta, tempat kita tidak pernah mendengar lagu seperti itu.

 

Tinggalkan Balasan