Puisi Tri Astoto Kodarie
Surat Yang Kutulis di Tahun 1913
Kalau aku menjadi kamu, Meneer, aku akan membagi perasaan bila suatu saat menjadi seperti inlander yang dirampas hasil ladangnya. Jalan terbungkuk-bungkuk menyerahkan upeti di hadapanku karena takut namanya tertulis di dinding penjara. Apalagi aku selalu menyelipkan pistol yang menjadikan para inlander gemetaran mengendap di rembang petang dengan perih di dada seperti takdir menggusah untuk pergi menuju dunia lain yang lebih gelap dari negerinya sendiri.
Aku yang gagah berpantalon tapi aku suka merampas hak para inlander. Bukankah itu penghinaan terhadap kemanusiaan, juga pada kata-kata yang banyak tertulis di kitab-kita yang sering dibaca, diagung-agungkan, tak bermakna saat rasa harus melupakan segala ingatan dan melintas dengan suara derap sepatu serdadu. Sambil melupakan jerit dan air mata yang tak kunjung usai dari balik dinding-dinding papan rumah dengan penerangan obor yang tersisa sedikit nyala sebelum sepertiga malam
Mungkin matamu telah buta membaca peta keperihan hati inlander. Seperti hujan melintas dan melesap ke dalam tanah gemetaran. Mungkin pula aku lupa bahwa mereka tahu jika aku seorang indringers. Tak punya malu harus memeras keringat para inlander, harus menakuti sepanjang siang menuju barat. Jika aku menjadi kamu, Meneer, aku tidak akan memberi makan orang-orang di negaraku dengan jarahan perih air mata bercampur keringat berbau amis darah. Sungguh, para inlander adalah kawan-kawan sebangsa yang terhina dan kadang harus berhadapan dengan ujung sepatu. Hidup tak seharusnya mengamini keserakahan.
Parepare, 2021
Tunggu Aku di Leang-Leang
Sebenarnya tak ada yang dilupakan. Ingatan membaca tanda
saat suaramu seperti memanggil-manggil bersama kupu-kupu
dari arah Bantimurung terus melingkar di pagi berlumut
ke arah tebing Bulusaraung memanjat bersama desis angin
gemersik pepohonan pulai yang tumbuh di tebing karst
Tunggu saja sejenak saat cerita telah usai di bagian barat
tentang lenguh bukit batuan masa pratersier dan diam-diam
mungkin akan menghilir mengapung sampai ke Ramang-Ramang
sebab bentangan sawah di antara gundukan-gundukan karst
menghidupkan kembali ingatan tentang masa lalu yang purba
Mungkin berkali-kali aku telah mengitari tunggak-tunggak karst
aku hanya termangu dan entah dengan alasan apa
membiarkan langkah menapaki anak tangga menuju gua
tempatmu menunggu bersama artefak-artefak berlumut
dan kerapuhan yang disebut masa lalu
Tunggu aku di Leang- Leang sebelum senja membentur langit gua
lalu menelan sunyi lembah sambil menjahit koyak tanah berkapur
di sini, kehidupan bermula menyimpan cinta rahasia purba.
Parepare, 2021
Catatan:
Leang-Leang : Gua prasejarah yang ada di Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan