Akar Tradisi dan Feminisme Muna Masyari

Oleh S. Prasetyo Utomo

SEBAGAI seorang cerpenis terbaik Kompas 2017 dengan karya “Kasur Tanah”, nama Muna Masyari menjadi perbincangan dalam sejarah sastra mutakhir. Ia mencipta teks sastra dengan melakukan eksplorasi pada akar tradisi masyarakatnya dan menyusupkan ideologi feminisme, Ia menerbitkan novel Damar Kambang [Kepustakaan Populer Gramedia, 2020]. Budi Darma menyebutnya sebagai “sebuah meteor yang datang tanpa diduga, sekonyong-konyong muncul dengan sinar yang memukau.” Tentu saja ia tidak serta-merta melambung dalam dunia sastra Indonesia mutakhir. Ia gigih berjuang untuk bisa diterima dalam sejarah sastra Indonesia dengan feminisme sebagai ideologi teks sastra yang diciptakannya.
Ideologi feminisme itu saya rasakan benar dalam novel Damar Kambang yang memperjuangkan eksistensi tokoh perempuan saat berhadapan dengan kekuatan tradisi yang dinaungi kekuasaan patriarkhi. Tokoh perempuan hadir dalam dominasi kekuasaan laki-laki, yang dilindungi tradisi, adat, bahkan sistem religi. Dalam cerpen-cerpen Muna Masyari warna feminisme itu tak begitu terasa, tetapi dalam novelnya kali ini, ia melancarkan ideologi feminisme itu melalui tokoh perempuan. Ia melarutkan ideologi feminisme itu dalam struktur narasi, terutama dalam konflik-konflik tajam yang dialami kaum perempuan untuk menghadirkan spiritualitas. Bagi saya, kemampuannya ini sungguh menakjubkan, karena ia memiliki kekuatan etos secara autodidak, dibanding dengan para sastrawan yang memiliki pengalaman akademis. Banyak sastrawan muda Indonesia menempuh petualangan intelektualisme Barat, ia belajar dari atmosfer kehidupan yang melingkupinya.
Sebagaimana kumpulan cerpen Rokat Tase (Penerbit Kompas, 2020) yang mendapatkan Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021, dalam novel ini Muna Masyari memberi kesadaran akan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal Madura dengan segala mitos dan religiusitas yang merasuk ke dunia modern. Ia menyusupkan ideologi feminisme dalam struktur narasi melalui tokoh perempuan untuk menyuarakan penindasan kaum lelaki yang didukung kekuatan tradisi, kepentingan ekonomi, dan otoritas kaum lelaki.
***
KEMUNCULAN Muna Masyari yang disebut-sebut Budi Darma sebagai meteor sastra Indonesia bukanlah hal yang berlebihan. Ia telah melakukan proses penciptaan teks sastra yang menukik pada akar tradisi masyarakatnya dengan cara yang berbeda dengan Umar Kayam dan Ahmad Tohari. Umar Kayam mengangkat akar tradisi masyarakat untuk menyingkap latar sosiologis dan antropologis dalam novel Para Priyayi. Ahmad Tohari mencipta struktur narasi yang berlumur konflik batin religiusitas karena kecabulan, kemiskinan, dan pergeseran norma yang digugat melalui tokoh Srintil. Muna Masyari menciptakan tokoh perempuan untuk menggugat dominasi kekuasaan patriarkhi, dan membebaskan diri dari belenggu ketertindasan itu.
Setidaknya saya menemukan tiga peran yang diekspresikan Muna Masyari melalui tokoh novelnya. Pertama, ia memberikan gambaran akan eksotisme akar tradisi Madura dari mitos yang dibangkitkan kembali dalam konteks sosial masa kini yang menindas kaum perempuan. Kaum perempuan sama sekali tak ada harganya di sisi kekuasaan suami. Istri bisa senilai dengan sawah, rumah, binatang piaraan, yang dipertaruhkan kaum lelaki dalam perjudian. Ketika seorang suami kalah pertaruhan judi, istri bisa berpindah tangan menjadi milik lelaki yang menang.
Kedua, dominasi patriarkhi itu terpusat pada kekuasaan ayah yang bisa menggagalkan pernikahan anak gadisnya karena hantaran yang tak sesuai dengan tradisi. Muna Masyari menyingkap tradisi masyarakat bahwa hantaran perkawinan yang dibawa keluarga mempelai laki-laki menunjukkan kehormatan keluarga perempuan. Dalam novel ini dikisahkan hantaran yang disampaikan keluarga calon pengantin laki-laki terkesan ala kadarnya, masyarakat mencemooh, dan perkawinan pun dibatalkan. Ayah mempelai perempuan memiliki kuasa untuk menggagalkan pernikahan dengan alasan kehormatan keluarga dan tradisi. Muna Masyari memang berkeinginan untuk menyampaikan kesaksian, pengamatan, perenungan, atau bahkan sugesti pada pembaca akan kekuasaan patriarkhi. Ia memberi makna atas mitos yang berakar dalam kehidupan masyarakatnya dengan kisah getir. Dalam novel ini, ia membentangkan konflik kelam, paradoks kegetiran perempuan pada saat mencari pembebasan dan kebahagiaan dalam perkawinan.
Ketiga, Muna Masyari menyingkap kekuatan spiritualitas kaum perempuan dalam menjaga martabatnya. Dalam pandangan Sanie B. Kuncoro, novel ini menyingkap tradisi adat yang menempatkan martabat kaum laki-laki di atas segalanya. Perempuan serupa burung yang tak berdaya dialihkan kepemilikannya dari sangkar yang satu ke sangkar tuan lainnya, baik sebagai pertaruhan yang ceroboh atau demi harga diri keluarga yang tercabik. Akan tetapi, Muna Masyari sadar benar dalam hal memanfaatkan spiritualitas kaum perempuan yang menyimpan ketangguhan dan menjaga “sumbu damar kambangnya” terus menyalakan harapan. Dalam glosarium, ia memberikan catatan bahwa “damar kambang” bermakna pelita yang menyala dengan sumbu mengambang di atas minyak. Inilah simbol spiritualitas kaum perempuan dalam menghadapi dominasi kekuasaan patriarkhi.
Sadarlah saya, novel Damar Kambang tak sekadar menyingkap akar tradisi yang eksotik tanah kelahiran Muna Masyari. Di tangannya, akar tradisi bukan saja menjadi latar, tetapi menjadi pusat spiritualitas, yang ditafsir kembali dalam kajian makna yang luas. Ia menghidupkan deskripsi akar tradisi itu sebagai roh penciptaan yang menghujatnya melalui perkembangan konflik batin para tokoh, di antaranya menghujat hegemoni kuasa patriarkhi. Hampir serupa dengan Faisal Oddang dalam novel Puya ke Puya, ia membangkitkan akar tradisi sebagai roh spiritualitas dan humanisme yang ditafsir kembali dalam kehidupan mutakhir. Hanya saja, sebagai penulis perempuan, ia menghanyutkan ideologi feminisme yang tajam dalam struktur narasi.
***
NOVEL ini menampakkan kecemerlangan Muna Masyari dalam memaknai kembali akar tradisi masyarakatnya. Ia menghindarkan diri dari penciptaan teks sastra yang merupakan “hibrida” sastra Barat, karena rasa takjub yang berlebihan akan reputasi para sastrawan dunia. Ia mencipta teks sastra dengan kompleksitas dan eksotisme tema. Kita lazim merayakan kecemerlangan eksplorasi fungsi estetika teks sastranya. Sungguh kita layak menaruh rasa hormat karena novel ini berpijak dari mitos, filosofi, dan spiritualitas yang berakar dari masyarakatnya.
Sebagai sastrawan Indonesia yang lahir pada tahun 1985, ia telah bersaing dengan generasi sastra sebelumnya seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dewi Lestari. Teks sastra Muna Masyari menjadi menarik karena ia selalu menemukan ide cemerlang untuk diangkatnya menjadi teks sastra dengan segala pencapaian kompleksitas motif, struktur narasi, dan kisah. Ia menjadi lebih berharga, karena ideologi feminisme yang disusupkan dalam struktur narasinya tidak merupakan cangkokan gagasan Simone de Beauvoir yang melihat penindasan perempuan dimulai dengan adanya beban reproduksi di tubuh perempuan. Dalam novel ini, penindasan perempuan dimulai dari akar tradisi kekuasaan patriarkhi.
***

Tinggalkan Balasan