Air Mata Senja

Air Mata Senja

Karya : Joni Hendri

Pelaku:

  1. Orang Tua (1 Pemain)
  2. Istri Orang Tua (1 Pemain)
  3. Tuan Kadi (1 Pemain)
  4. Orang Berkacamata (3 Pemain)
  5. Manusia (4 Pemain)

 

Bagian Satu

Keributan suara orang-orang kampung, dari luar panggung terdengar menggil-manggil sambil berkata ” Sungai menyulap mata kita, menjadi limbah-limbah! Kemudian kita tenggelam hingga sampai ke dada, lalu menjadikan air mata senja.” Kemudian lampu perlahan-lahan hidup dan seketika itu terlihat jaring, jala, pancing, lukah, dan pelantaran tempat orang mandi di tepian sungai. Semuanya hanya tersangkut sampah-sampah plastik.

Di pelantaran itu terlihat orang tua separuh baya sekitar 60 tahun umurnya sedang memperbaiki jala yang penuh sampah.

Orang Tua : Air adalah dunia hidup kita! Tapi kali ini aneh bin ajib selalu saja datang hingga kini dan disi. (Membuang puntung rokok). Kalau kayu sudah ditebang oleh orang negeri ini, tak ada lagi penyangga air. Alamatlah kita kembali ke zaman Nabi Nuh atau air akan menjadi dangkal. Sudahlah dangkal, penuh pencemaran, tak ada yang bisa hidup di sungai ini! (Bingung sendiri dengan perkataannya). Setelah itu ekosistem perairan pun terganggu. Habitat seperti ikan, akan habis. Tengok ini! (Menunjuk kearah jala yang penuh dengan sampah) sampah yang banyak, air pun dah berminyak-minyak. (mendekati lukah yang berdiri di tepi pelantaran) Apalagi ikan-ikan sudah punah. Dulu minum air sungai, sekarang air galon. Naseb badan!!! (Tertawa). Kalau mengutuk dalam hati, buat tambah serasa dekat dengan mati. Eeeeehh puihhh!

(Lampu padam seketika, kemudian hidup kembali). Gelap! Gelap! Gelap! Terlalu gelap mata ini.

Orang-orang kampung mulai memenuhi panggung sambil marah-marah yang tidak jelas, melewati jaring, jala, lukah, dan pancing, kemudian keluar kembali dan Orang Tua itu keluar panggung juga dalam keadaan ketakutan.

Tidak lama kemudian muncul manusia-manusia bertutup kepalanya menggukan ember plastik, sambil membaca bait kata-kata ini :

“Senja menangis sayup-sayup di permukaan air

yang terlihat hanya sebuah kertas berkilau

kepala-kepala hanya riuh oleh ember yang kosong

kita semua hanya gamang oleh kota-kota

sungai kalah! Sungai kalah!

Air mata senja, sudah tak berguna! (Berulang-ulang)

 

Setelah membaca bait kata-kata. Aktor manusia-manusia membuat komposisi seperti orang ketakutan dan tidak saling bertindih.

Manusia 1 : Aku belum mau mati, apa lagi haus di sungai ini. (Berjalan meraba-raba)

Manusia 1 : Belum saatnya! Belum saatnya! Kenapa kehausan mempercepat kerongkongan.

Manusia 2 : Ya begitulah, air di sungai ini tidak pernah bisa melepaskan dahaga. Karena kita tidak bisa minum di dalamnya.

Manusia 3: Mengapa kita membiarkan sampah itu terbuang dan lalu mencurahkan minyak-minyak sawit ke dalam sungai? Kenapa para pekerja indrustri tidak pernah menyumbang untuk kampung-kampung kita?

Memukul ember di kepala masing-masing manusia.                               

Manusaia 4 : Anehnya, kenapa kita sudah meninggalkan sungai, padahal sungai sumber dari segala kehidupan nenek moyang kita?

Manusia 1 : Kenapa harus begitu? Sungai ini sudah lama dilupakan. Bukannya kita semua sudah kalah dari kota?

Manusia 2 :Ya, itu masalah mereka, bukan kita! Kita semua hanya rakyat yang membutuhkan air.

Manusia 3 : Ini adalah sebuah rasa sakit yang nyata, sebab kita tidak bisa bertahan dan menahan. (Mendekat ke tempat pelantaran).

Manusia 1,2, dan 4 : Jangan mendekat ke situ!

Manusia 3 : Kenapa? Bukankah kita sama-sama gelap dalam melihat.

Manusia 4 : Gelap adalah lambang kematian untuk terang.

Manusia 1 : Berarti kita ini melambangkan sebuah kematian atau sebuah kebutaan terhadap lingkungan?

Manusia 2 : Eeehh! Jangan berkata seperti itu!!! Aku malu. Ini sebuah kegelapan sebenarnya dan akan memutuskan tujuan dan harapan kita.

Manusia 3 : Sebenarnya apa yang dibicarakan ini, seperti menceritakan masa lalu yang dilupakan. Semua telah lupa peradaban!

Manusia 4: Jangan ceritakan masa lalu. Jangan! Karena masa lalu menakutkan.

Manusia 1 : Kita semua perlu tahu. Tentang peradaban masa lalu.

Manusia 2 : Sebenarnya tuan-tuan semua sudah tahu?

Manusia 3 : Ayoo! Ceritakan keresahan kita! (Sambil tertawa dan memumukul setiap ember di kepala manusia 1,2, dan 4) Cepat ceritakan.

Semua aktor mematung,bunyi suara pabrik mengiringi pelan-pelan.

Manusia 4 : (Bergerak pelan-pelan). Masa lalu tidak pernah mendengar tangisan sungai! Tapi hari ini tangisannya lantang.

Manusia 1 : Tangisan sungai?

Manusia 2 : Bukan hanya sungai yang menangis, tapi ikan juga menangis hingga mati.

Manusia 1 : Apakah meraka sudah tidak berumah untuk hidup?

Manusia 3 : Rumah mereka menjadi pembunuh.

Manusia 4 : Aliran-aliran yang mati?

Manusia 1 : Mati dengan cara terpaksa?

Manusia 2 : Bukan terpaksa, tapi dipaksa oleh mereka. Ini sesuatu yang mengerikan bagi kehidupan orang-orang yang membutuhkan. Ayo bergerak! Ayo!

Perlahan-lahan aktor Manusia membuka ember di kepala. Musik kaos berbunyi dengan sangat ribut, bercampur bunyi-bunyian mesin pabrik semakin keras. Semua aktor lansung melihat ke penonton dengan aneh, lalu aktor menampakkan bermacam-macam karakter mukanya.

Manusia 1 : Aliran-aliran yang menyesakkan dada.

Manusia 2 : Aliran-aliran yang membunuh!

Manusia 3 : Aliran-aliran yang menikam!

Manusia 4 : Aliran-aliran paling buruk perangainya.

Semua aktor Manusia menduduki ember yang di kepala, membentuk komposisi berbaris berbanjar. Lampu berwarna merah menyinari empat aktor Manusia. Video sungai saat senja tiba-tiba hidup. Muncul di belakang layar.

Manusia 4 : Mata air sungai kering!

Manusia 1 : Kering bagai kemarau!

Manusia 2 : Apakah kita tidak menangis saja?

Manusia 3 : Tidak, kita telat untuk menangis.

Manusia 1 : Apakah kita orang sungai?

Manusia 2 : Kita orang yang membutuhkan sungai!

Manusia 3 : Tapi meraka tidak membutuhkannya.

Manusia 4 : Ya, mereka hanya memanfaatkan saja.

Video mati.

Mereka ketakutan dan keluar panggung.

Masuk Tuan Kadi berpakain menyerupai raja. Ia menuju ke tengah panggung dengan membawa buntalan kain yang berisikan buku-buku lama dan lansung membuka di tengah panggung tersebut.

Tuan Kadi : Aku yang paling berhak marah kepada siapa saja, baik kepada buaya, gajah, atau Raja segalan penguasa. Sebab segala seluk-beluk beserta keamanan sungai aku tahu. (Membuka buku dengan bermacam-macam bentuk tubuh, bahkan menghempas diri di tumpukan buku) Dan lebih tahu lagi kalau yang memperkosa sungai itu para pembuang limbah. (Matanya melotot kepada penonton lalu tertawa terbahak-bahak) Itu hanya bumbu bicara, ahh!!! Sudahlah, tak perlu diteruskan, nanti bertambah panjang racauan sandiwara ini. (Membuka bajunya sehingga ia hanya memakai baju dalam). Pada suatu ketika mereka datang menemui saya bahkan membawa saya berjalan menyusuri sungai hingga sampai ke muara, hampir dekat selat. Mereka menawarkan berbagai macam cara, supaya saya bisa memberi tahu bagaimana cara memujuk orang yang tinggal di tepian sungai untuk tidak marah dan melarang melihat sungai lagi. Tapi saya tahu hal itu taktik, pasti hanya untuk berlindung dari kesalahan mereka. (Bunyi detik jam dinding yang cepat) Wah! Waktunya sampai. Ahhh, sudah terlambat! Terlambat! Terlambat! Terlambat! (Bersiul).

Tuan Kadi keluar panggung.

Lampu temaram.

Musik biola meleking menakutkan bermula dari nada E.

Masuk Orang Berkacamata dan memakai tanjak di kepala, dasi di lehernya sambil mendorong kursi di sela-sela jaring, jala, lukah, dan joran pancing. Yang berada di dalam panggung tersebut, lalu mereka membuat komposisi seperti para pejabat yang sedang rapat di tengah-tengah panggung, sambil tertawa terbahak-bahak. Dan terhenti ketika Orang Tua masuk ke dalam panggung. Bersaamaan kejadian tersebut, Orang Berkacamata hanya berbisik, lalu membentuk komposisi persis seperti orang yang rapat dinas.

Muncul Orang Tua dari sudut kanan panggung membawa jala yang penuh dengan sampah menuju ke pelantaran sebelah kiri panggung dan berdiri. Cahaya lampu berbentuk bulat di titik pelantaran, tepat pada tubuh Orang Tua itu, lalu berkata:

Orang Tua : Beginilah kisah perjalanan. Tentang hidup yang tak terukur. Tapi ini bukan tiba-tiba membuat kita bersabar atau merasakan nyaman dalam menjalani kehidupan di tepian Sungai Jantan. Tak ada guna untuk menangis. Air mata sudah senja, tak mungkin mengulang kembali menjadi siang benderang. Lihatlah mereka! (Menunjuk ke arah Orang Berkacamata). Itulah yang membekas di hati. Membuat luluh lanta, hingga gubuk-gubuk tua aku dirobohkan dan periuk tidak lagi berisi, tungku dapur pun tak berasap. Bahkan bencana batin terus mengusik lamunan. (Termenung sejenak lalu marah). Ini celaka! Ini benar-benar celaka! Di mana letak kemanusiaan? (Menghempas jalanya ke lantai panggung, sebanyak tiga kali lalu ia keluar panggung lagi ke tempat ia masuk pertama).

Orang Berkacamata mulai ribut dengan berbagai gaya komposisi dan berbicara dengan lantang.

Orang Berkacamata 1 : Nah, beri tahu kepada seluruh warga kampung ini. Kita akan mencari tanah untuk dibeli dengan harga yang mahal, tapi dengan syarat tanahnya harus di tepi sungai. Agar mudah masuk kapal-kapal pembawa barang, singgah di pelabuhan kita nanti. (Berjalan mendorong kursi melihat bentuk-bentuk jaring, jala, dan pancing)

Orang Berkacamata 2 : Kalau ini aku setuju, Wak!

Orang Berkacamata 3 : Jangan setuju-setuju! Nanti warga mengamuk macam mana?

Orang Berkacamata 2 : Mengamuk kenapa pula? ‘Kan niat kita baik, untuk membuka lapangan kerja masyarakat setempat. Itu pun kalau mereka mau menjual tanah di tepian Sungai Jantan itu.

Orang Berkacamata 3 : Kita sebaiknya menanam prinsip untuk kenyamanan dan ketertiban sungai ini. Tanpa ada mengganggu kenyamanan mereka. Apalah artinya sebuah sawit kalau mengotorkan sungai?

Orang Berkacamata 2 : Ahhh! Jangan nak berdalih pula manusia! Engaku ini manusia bermuka dua, pura-pura membela. Tahu gak? Hidup ini selalu tenggelam dalam kesia-siaan untuk menentukan hidup masing-masing. Menggunakan topeng hanya untuk membuat tertinggal jauh dari dunia tipu-tipu.

Orang Berkacamata 3 : Lihatlah tubuh-tubuh mereka yang gempal dan kurus selalu bermenung di pinggir sungai. Sebab, tak ada yang dihasilkan. Sungai telah mengutuk manusia. Mereka hanya mengadu kepada kekosongan belaka.

Orang Berkacamata 1 : Ini bukan sungai yang mengutuk manusia, tapi manusia sendiri yang mengutuk sungai (Mendekati).

Orang Berkacamata 2 : Sudahlah! Kita orang yang berkuasa, kenapa harus memikirkan hal yang tidak penting.

Orang Berkacamata 1 : Okelah, kita cuci tangan saja (Tertawa).

Orang Berkacamata 3 : Kalau mereka demonstrasi bagaimana?

Orang Berkacamata 1 : Kasi saja uang. Karena uang bisa mengubah segalanya.

Orang Berkacamata 2 : Sudahlah…..

Orang Berkacamata 3 : Memang, semudah itu kah?

Orang Berkacamata 1 : Sangat mudah, tinggal transfer pasti akan sampai. (Tertawa).

Orang Berkacamata 3 : Jangan singkat padat pemikirannya, apakah mereka mata duitan?

Orang Berkacamata 2 : Kita harus menyusun strategi yang matang, tidak hanya asal-asal saja.

Orang Berkcamata 1 : Mereka memang menanti uang kita, percayalah!

Orang Berkacamata 2 : Jangan dikira mereka mau menelan bulat-bulat pembicaraan kita. Mereka juga orang berpendidikan. Bahkan anak-anak mereka sekolah di luar negeri.

Orang Berkecamata 3 : Alaah! Nama saja luar negeri, tapi pemikiran masing-masing kosong, contoh saja sungai ini dibiarkan begitu saja. Jadi, sudahlah! Kita lakukan saja sesuai tujuan utama. (Agak maju ke panggung).

Orang Berkacamata 1 : Tapi, jangan tergopoh-gopoh dulu.

Orang Berkacamata 2 : Betul! Nanti, menepuk air dulang, terpercik muka sendiri. (Sinis).

Orang Berkacamata 3 : Menurut firasat saya, masalah ini selesai dengan uang kita, saya yakin betul. Orang tepian sungai itu bukan ada yang kaya. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang, tak mungkin pula rasanya menolak. Meskipun ini hal yang sulit untuk mereka, tapi kalau sudah masalah duet yang masuk, hijaulah mata mereka. (Tersenyum).

Orang berkacamata 1 dan 2 ketawa seperti mengejek.

Orang Berkacamata 3 : (Sedikit tersinggung). Kenapa kalian tertawa? Mengejek?

Orang berkacamata 2 : Sedikit mengejek. Agar buat perenungan, memang duet dapat mengubah segala hal. Kemudian efek ke kita apa? Jika hal ini tidak berhasil, lalu kita dilaporkan kepada pihak yang berwenang, pasti peristiwa ini menjadi pencemaran nama kita.

Orang Berkacamata 1 : Wah! Sudah jauh pemikiranmu. Apa hak yang berwenang? Hanya untuk menangkap yang belum jelas begitu? (Tertawa) tentu tidak seperti itu ‘kan?

Orang Berkacamata 3 : Ini hanya perkara sungai, Bung. Tidak jauh ke sana, bukan korupsi atau mencuri. Ini masalah tanah tepi sungai, tahu ‘kan sungai? Kalau tak tahu sungai, sini, saya tunjukkan. Setelah sampai di sungai langsung terjun ke dalamnya (tertawa) di situlah kita akan mendengar suara orang dalam neraka. (Semakin menjadi-jadi tertawanya).

Orang Berkacamata 2 : Sip, kalau macam itu. Yok lah kita gas.

Orang Berkacamata 1 : Gas….

Orang Berkacamata 3 : Jangan gas, gas. Nanti tebabas.

Semua aktor Berkacamata tertawa sejadi-jadinya dan lansung keluar panggung.

 

Bagian Dua

Masuk Orang Tua kembali, tapi kali ini ia bersama istrinya dengan membawa peralatan tepung tawar untuk merenjis sekeliling pelantaran dan jaring, jala, maupun pancing.

Istri Orang Tua : Bagaimana cara, agar sungai terawat? (Kepada suami) Sungai tidak mau memberi ikan, apakah mereka meminta kepala kambing? Sebagai tumbal? (Sambil merenjis tepung tawar). Atau, memang sudah tidak ada lagi kehidupan di dalam sungai ini?

Orang Tua : Mungkin begitu! (Sambil memperbaiki jaring yang robek).

Istri Orang Tua : Mungkin apa?

Orang Tua : Ya begitulah, seperti yang kamu katakan pertama.

Istri Orang Tua : Pasti si penunggu sungai itu yang telah menghalau pendapatan kita. Wahai Tuan Kadi penjaga sungai (menabur beras kunyit) aku ingin bertanya, keluarlah puahhhh!

Orang Tua : Hei? Mengapa engkau menyeru dia? Nanti datang angin dan timbul buaya putih di sini, di luar kendali. (Menghampiri istrinya).

Istri Orang Tua : Ternyata dirimu tidak berani dengan seruan seperti ini (tertawa). Bukankah ini sebuah kebahagian untuk kita? Jikalau Tuan Kadi muncul dan ia pasti akan menceritakan semua masalah sungai ini, kita pun akan mudah mengatasi masalah-masalah di zaman sekarang.

Orang Tua : Jangan berharap hujan, lalu air di tempayan dibuang.

Istri Orang Tua : Bukan berharap, tapi mengharap (tertawa lalu melanjutkan menyeru Tuan Kadi) puah darat, puahhh! Tuan Kadi! (Memanggil berkali-kali).

Orang Tua : Sudahlah! Sudahlah! (Marah). Kita tunggu saja dia sampai menemui kita, berharaplah pada keajaiban. Kita akan bertemu dan dapat menanyakan kejadian sebenarnya.

Istri Orang Tua : Kemarin, orang sebelah rumah kita bercerita bahwa ia melihat buaya putih timbul di sungai ini. Pertanda apa ya? (Kepada suaminya) Mungkin buaya itulah yang memakan ikan-ikan yang kita harapkan selama ini. (Meletakkan alat tepung tawarnya di atas pelantar).

Orang Tua : Ini gawat! Benar-benar gawat! (Kepanikan).

Istri Orang Tua : Kelihatannya panik sekali, kening bertambah kuat kerutnya. Ada apa dengan perkataan buya? ‘Kan biasa-biasa saja.

Orang Tua : Seperti menyimpan misteri ketika mendengar buaya putih, selama ini sudah melupakan dan pura-pura tidak tahu tentang hal itu.

Istri Orang Tua : Sepasang suami istri menyimpan sesuatu yang aneh. Kenapa tidak mau menceritakan?

Orang Tua : Ya, begitulah bukankah misteri setiap manusia ada, bahkan yang hidup di sungai ini mempunyai cerita masing-masing. Jadi, tidak perlu kita membahas misteri buaya putih itu.

Istri Orang Tua : Terserah, itu hak masing-masing.

Orang Tua : Sudahlah, jangan merajuk (tertawa) kita sudah mau keriput lagi, tak mungkin hanya gara-gara itu marah. (Menepuk bahu istrinya). Cerita buaya dan kacil saja ya? Mau ‘kan?

Istri orang Tua : Sudahlah, Bang! Jangan nak melawak dah tua-tua ni. Periuk nasi kita itu dipikirkan, dah lama tak makan ikan.

Orang Tua : Tenang sajalah!

Istri Orang Tua : Tenang terus, dua hari yang lalu tenang juga. Tiga hari lagi pasti tenang juga jawabnya.

Orang Tua : (Tertawa).

Istri Orang Tua : Kenapa tertawa? Orang lagi serius.

Orang Tua : Sudah lama tidak mendengar sang istri celoteh semacam ini. Rindu pula rasanya.

Tiba-tiba terdengar suara petir dan kilat menyambar.

Istri Orang Tua : Pulang lagi! Cuaca sudah tidak bagus, tampaknya mau hujan.

Orang Tua : Sebentar lagi. ‘Kan belum hujan, baru mau saja.

Istri Orang Tua : Kalau sudah basah, baru pulang? Oh tidak, lebih baik dari sekarang.

(Melangkah kaki keluar panggung).

Orang Tua : Begitulah istri kalau sudah tidak sesuai dengan keinginan hatinya, selalu saja pergi sesuai hati sendiri. (Menghadap penonton) Sebenarnya kasihan melihat istri aku, dia ingin sekali makan ikan sungai ini. Tapi macam manalah sudah tak ada yang nak ditangkap di Sungai Jantan ini. Keluar air mata darah pun tak ‘kan dapat menyelesaikannya. Terkadang sedih hati ini menyerupai matahari senja yang merah terbenam itu. Begitu agaknya keinginan sudah terbenam. Sungai-sungai ini makin hari, makin tak ada yang dapat diharapkan lagi. Tanah di tepi sungai ini mungkin lebih baik dijual daripada terbiar begitu saja. Dulu tanah itu berharap tempat pelabuhan, kemudian kendaraan air akan singgah. Kalau seperti ini harapan itu dah jadi air mata senja. Air mata senja! Di mataku. (Keluar panggung).

Masuk manusia-manusia dengan mengikat lehernya masing-masing, menggunakan kain panjang dalam keadaan merintih kesakitan. Di pinggangnya dikenakan tali untuk menyeret ember masing-masing. Dengan diiringi musik seruling, kemudian suara anjing menggonggong, suara pertir menyambar dan suara gong.

Lampu berwarna merah temaram menyorot satu titik di aktor Manusia-manusia.

Manusia 1 : Lehar kita adalah sumber segala air.

Manusia 2 : Kita sudah tercekik. Sudah tercekik!

Manusia 3 : Air-air itu sudah membunuh kita!

Manusia 4 : Aku tidak bisa tidur! Aku kesakitan! Aku lapar!

Manusia 2 : Tidak ada hak untuk berharap. Tidak ada harap untuk dijemput.

Manusia 3 : Beginilah ikan-ikan, serupa kita kehilangan rumah.

Manusia 1 : Beginilah sungai kehilangan penghuninya.

Manusia 4 : Begitu juga mereka tidak memperdulikan kegelisahan kita.

Semua aktor Manusia tergeletak di tengah-tengah panggung, menggelepar seperti ikan di atas darat.

Masuk Tuan Kadi lalu mendekati Manusia.

Tuan Kadi : Seperti ikan-ikan yang sudah mati. Suara-suara telah dibungkam. Sejarah manusia dilupakan, sejarah sungai dibelakangkan. Hanya aku selalu setia menunggu di pinggir sungai bahkan membangun rumah. Sampan-sampan aku sudah bocor dilantak kota. Tapi aku hanya menemukan orang-orang bermata sembab. Dan bagaimana mereka membiarkannya. Kenapa tidak ada kutukan? (Marah) Kenapa? (Meloto ke penonton) kesakitan mereka (menunjuk ke arah manusia-manusia) Adalah kesakitan kita semua! Kesakitan yang tiada henti, terpiuh oleh waktu. (Mendekatai satu per satu manusia lalu berkata ayo kita istirahat, ayo!” lalu keluar panggung).

 

Bagian Tiga

Masuk Orang-orang Berkacamata membawa koper dan menyeretnya ke dalam panggung, membuat sebuah komposisi tarian. Berpakaian putih berdasi di leher persis seperti orang kantoran. Hingga mereka membuat barisan di tengah-tengah panggung.

Orang Berkacamata 1 : Kursi kita di mana? (Bertanya kepada yang lain).

Orang Berkacamata 2 : Kenapa bertanya seperti itu!

Orang Berkacamata 1 : Namanya juga pengen tahu.

Orang Berkacamata 2 : Jangan ditanya di tempat ini. Dan hati-hati bertanya.

Orang Berkacamata 1 : Kenapa?

Orang Berkacamata 2 : Ssssssst, di sini berbeda keadaannya kalau bertanya seperti itu. Hai yang lain, kenapa diam! Macam orang jual tampang saja. (Kepada Orang Berkacamata 3 dan 4).

Orang Berkacamata 3 : Sebab kepala sudah beku.

Orang Berkacamata 2 : Beku? (Tertawa)

Orang Berkacamata 1 : Beku kenapa?

Orang Berkacamata 2 : Jangan-jangan, kita sudah tidak sadar lagi kalau kita ini manusia.

Orang Berkacamata 3 : Aku ini manusia apa bukan ya? (Kebingungan dan menggarut kepala)

Orang Berkacamata 1 : Maksudmu apa? (Kepada orang berkacamata 3). Sepertinya kita harus mengobati pemikiran dia.

Orang Berkacamata 3 : Aku beriman atau tidak? Atau kesakitan ini sebuah iman? Atau sungai ini sebuah makhluk yang mempunyai agama? Ia berzikir saban hari meminta membunuh manusia. (Mulai kesurupan seperti orang yang kemasukkan setan).

Orang-orang Berkacamata 1,2 dan 4 ketakutan dan gemetar. Lalu mencari air di sekeliling panggung dengan gerakakn aneh dan keluar panggung mengambil tempurung berisi air. Musik nafiri menjerit-jerit mengiringi. Kemudian masuk lagi dengan gaya dukun mengobati kampung, Orang Berkacamata 3 mengelinjang dengan kata-kata tak menentu.

Orang Berkacamata 1 : Puah! Jika kau puaka sungai, pergilah ke laut

jika kau ikan pergilah ke lubangmu

puah darat, puah laut, puah perut.

Orang Berkacamata 2 : Puah! Puah! Hilangkan akal itu datuk

pergilah ke akal sehatmu

Pergilah ke teluk atau ke muara.

Orang Berkacamata 3 : Heeiii!!!! (Menyemburkan air sambil melempar bunga-bunga) Mambang tanah, pergilah ke darat ke arah hutan, pergilah ke laut tempat yang patut, jangan pergi ke sungai. Sebab, sudah ada penunggunya.

Ketiga Orang Berkacamata mengulang-ulang mantra tersebut sampai Orang Berkacamata 3 sadar dan bangun. Dan lampu padam, tiba-tiba hidup kembali di sekitar plantar, terlihatlah Tuan Kadi sedang bermain jala, ia lempar di tengah panggung, cahaya lampu sedikit membias berwarna hijau.

Tuan Kadi : Begitulah setiap yang bertingkah selalu menang dan menanggung juga musibah pada diri yang belum mati. Kalau diturut kata hati serasa hendak membangunkan kemarahan panjang lalu dialirkan ke sungai tak bertuan ini! (Tertegun sejenak menghadap penonton. Bunyi detik jam pelan-pelan mengiringi) Apakah harus membuat siasat? Tapi rasanya akan menjadi hampa di udara semata. Kewaspadaan ini terus membangunkan kemarahan dan embun-embun di hati akan kering. Kering! Kering! Kering! (Marah dan keluar panggung).

Tiba-tiba muncul Orang Tua dan Istrinya. Lalu memperbaiki jala yang penuh dengan sampah.

Orang Tua : Begini dan begini.

Istri Orang Tua : Kita juga begini-begini juga.

Orang Tua : Apakah engkau menginginkan sesuatu? (Menggeser pancing).

Istri Orang Tua : Tentunya seperti itu, pertanyaan yang diharapkan.

Orang Tua : Sungai sudah tidak menginginkan kita dan lupa mengabulkan permintaan.

Istri Orang Tua : Tidak masalah, yang penting hidup tidak begini dan begitu.

Orang Tua : Tahun-tahun lalu kita tidak pernah seperti ini (Membentang jala).

Istri Orang Tua : Tahun telah meninggalkan bekas dan itu hanya di ingatan semata.

Orang Tua : Tak perlu mengingat yang sudah lama.

Istri Orang Tua : Tidak diingat bagaimana? Sungai ini tempat hidup! Kenangan masih banyak mengalir di setiap arus itu.

Orang Tua : Kalau dikenang tidak akan menyelesaikan, kata-kata sudah tak bermakna.

Istri Orang Tua : Air mata ingin menetes rasanya. Tapi apakah daya tetesannya sudah dimakan senja. Merah padam senja, selalu melumpuhkan. Begitu juga umur yang sebentar lagi mengikutinya. (Sedih). Seandainya kita sudah tiada, sungai ini pasti tidak ada yang melihatnya lagi dan terbiar.

Orang Tua : Begitulah hukum alam yang harus dijalani.

Istri Orang Tua : Apakah mereka tidak bertuhan? (Musik gambus dan cahaya berwarna hijau pelan-pelan).

Orang Tua : Mereka bertuhan, tapi mereka tidak menyadari nikmat Tuhan!

Istri Orang Tua : Siasat tumpul selalu melupakan pencipta.

Orang Tua : Begitulah! Perbuatan selalu dibayar.

Istri Orang Tua : Mengapa kita diam saja, sedangkan mereka terus mencemarinya (Dengan nada agak tinggi) ini hidup kita! Hidup kita!

Orang Tua: Kita sudah kalah oleh kekuasaan!

Istri Orang Tua: Mengapa kita kalah? Kekuasaan hanya sebentar, sedangkan sungai hidup yang panjang.

Orang Tua : Kita tidak bisa berbuat apa-apa! (Sedikit kesal).

Istri orang Tua : Justru itu, mari kita berbuat.

Orang Tua : Percuma! Sebab hanya kita saja yang peduli dengan sungai ini. Kenapa tidak pernah mengerti dengan keadaan dan percakapan.

Istri Orang Tua : Sampai kapan kita berdiam seperti ini tanpa ada pergerakan?

Orang Tua : Sampai dunia kiamat! (Marah lalu menghempaskan jala).

Istri Orang Tua tertegun dan sedikit kesal dengan keadaan, hatinya sedih. Ia pun melantunkan syair.

Istri Orang Tua : Tiada kata yang tersisa

hanya basah di akhir masa

ikan-ikan telah tak menjumpai tempatnya

mereka hanya menemui ajal semata

berjuta-juta nyawa manusia

hanya melihat dengan sirna. (Berhenti sejenak. dan lansung berdialog).

Istri Orang Tua : Waktu terus berlau, tapi perubahan semakin kabur dari pandangan. Buta atau tidak, mungkin nasib akan menjawab.

Orang Tua : Perubahan datang dari tebing sungai yang tak bertuan. Mata kita hanya berharap pada pandangan.

Istri Orang Tua : Mata telah menjadi nasib dan nasib itu buta selamanya.

Kedua aktor Orang Tua dan Istrinya meratap jauh memandang ke depan, lalu tertidur.

Masuk musik violin bernada sedih.

Tidak lama kemudian masuk Orang Berkacamata dengan gerakan pantomime lalu musik berubah berbentuk pop atau jazz sesuai rentak jalan Orang Berkacamata dengan komposisi pantomime.

Orang Berkacamata membuat komposisi tubuh dengan gaya pantomime berbicara tanpa kata. Tapi mereka menampakkan kegembiraan. Seakan-akan itu membuat suatu bayang-bayang tidur kedua suami istri Orang Tua tersebut. Dan kembali berbicara:

Orang Berkacamata 1 : Itu kawasan aku!

Orang berkacamata 2 : Apa, kawasan mu? Sungai itu kawasanku!

Orang Berkacamata 3 : Kawasan aku!

Orang Berkacamata 1 : Kawasanku!

Orang Berkacamata 3: Apakah kita semua sudah mendapatkannya sehingga kita saling rebut hal yang belum dapat. Lucu sekali! (Tertawa).

Orang Berkacamata 1 : Jangan teralu lucu.

Orang Berkacamata 2 : Semua orang punya untuk lucu, tapi kali ini kita benar-benar belum mendapatkan apa-apa.

Orang Berkacamata 3 : Lucu itu penting karena kita terlalu banyak melucu terhadap hal diinginkan. Hal ini membuat tidak berjalan lancar. Dan kepentingan ini sudah pergi dari genggaman.

Di panggung keributan Orang Berkacamata sangat riuh dan musik keos.

Masuk Tuan Kadi seperti orang bercerita semua aktor di panggung mematung. Suasana sunyi hanya detik jam sesekali mengisi suasana.

Tuan Kadi : Perenungan terhadap harapan akan kalah dengan berdiam. Manusia selalu terpuruk dalam kesia-siaan untuk menentukan hidupnya. Bahkan ia sendiri suka membuat sakit untuk kepentingan nafsu. Demi menyelamatkan keuntungan, sedangkan orang kecil akan menangis dan bertengkar dengan keluarga karena tidak bisa bersuara lantang terhadap penguasa. Kekuasaan adalah sebuah perangkap iman yang lemah. Setiap kali matahari muncul tidak mampu menahan cahayanya terhadap sungai ini. Apabila ia terbenam selalu saja membuat mata berbinar-binar memandang sekujur tubuh sungai, seolah-olah pasrah dan tidak bergairah. Tapi bibir mereka (Menunjuk ke arah Orang Berkacamata), merekah menyebut sungai dengan senyum di langit senja yang ranum. Ia tergila-gila untuk menghambur ke dalamnya. Ketika itulah mata air senja mengisak sampai tak mengeluarkan merahnya. (Suara tembakkan muncul dan Tuan Kadi keluar).

Orang Berkacamata pelan-pelan keluar seperti maling.

Kedua suami-istri terbangun dari tidur lansung berkata.

Istri Orang Tua : Pemikiran itu selalu muncul (kepada suami) ia sudah diperbudak nafsu.

Orang Tua : Kita memang tidak bisa mengatasinya. Itu hal yang tidak semudah membalikan telapak tangan.

Istri Orang Tua : Mereka senantiasa memunculkan wajah sesuai keinginan. Setelah semua dapat dikuasai kemudian mengubah lagi wajahnya.

Orang Tua : Itulah mereka, setelah dapat menggenggam.

Kedua suami istri keluar.

Masuk manusia-manusia dengan mengenakan kain sarung di pinggang, lalu menuju ke pelantaran tempat suami-istri.

Manusia 1 : Biasanya mereka di sini.

Manusia 2 : Ke mana mereka? Apa mereka sudah tidak mau melihat sungai ini.

Manusia 3 : Mungkin sudah pulang karena tidak ada pendapatan dalam beberapa pekan ini.

Manusia 4 : Bisa jadi begitu, apa yang harus kita buat untuk kehidupan orang-orang di sungai ini?

Manusia 2 : Kita demontrasi saja ke sana.

Manusia 1 : Ke mana?

Manusia 2 : Pokoknya ke sana! (Menunjuk ke penonton)

Manusia 3 : Kalau kita bikin pengumuman di tepi sungai ini bagaimana?

Manusia 4 : Tulisan apa?

Manusia 1 : Iya tulisan apa?

Manusia 2 : Tulisan bahwa dilarang membuang libah di sungai ini atau pun sampah.

Manusia 3 : Iya, tulisan seperti itu.

Manusia 4 : (Tertawa). Memang mereka bisa diatasi dengan begitu. Takkan bisa, malah yang menjadi kekhawatiran adalah mereka sudah mulai masuk ke warga lalu membeli tanah mereka dengan harga yang sangat mahal.

Manusia 1 : Iya, seperti itu, atau jangan-jangan kedua suami-istri itu sudah tidak berada di sungai ini. Sebab telah menjual tanah dan peralatan pencari ikannya.

Manusia 2 : Bisa jadi seperti itu, sungai ini tidak ada yang mereka harapkan lagi.

Manusia 3 : Oh ya, sungai ini mempunyai mitos serta fenomena gaib. Beberapa hari yang lalu, orang melihat di suak sana. Ada penampakkan gajah putih. (Meyakinkan Manusia 1,2, dan 4).

Manusia 1 : Kedengarannya, iya. Sudah heboh satu kampung ini, tetang hal itu.

Manusia 2 : Pertanda apa ya? (Berpikir).

Manusia 3 : Beberapa bulan yang lalu sungai ini telah diukur oleh beberapa profesor. Jauh surut airnya, dulu 30 meter kedalamannya. Tapi sekarang hanya tinggal 18 meter.

Manusia 4 : Ini benar-benar durhaka!

Manusia 1,2,3 : Durhaka? (Serentak aktor 1,2, dan 3)

Mnausia 4 : Iya durhaka, durhaka dengan sejarah. Sungai merupakan sumber dari segalanya bahkan jantung kehidupan. Terkutuklah mereka!

Manusia 1 : Lalu bagaimana mengatasinya? Nasi sudah menjadi bubur ini.

Semua aktor mondarmandir ke kanan dan ke kiri panggung memikirkan.

Masuk istri Orang Tua dengan melantunkan syair, berdiri di pelantaran.

Istri Orang Tua : Kalaulah hidup bermacam perangai

umpama berpikir tidak terlerai

Itulah sebab tercemarnya sungai

meraka hanya mengintai-ngintai.

Para aktor manusia berhenti membuat komposisi, lalu mencari sumber suara itu.

Manusia 1 : Itu suara orang tua itu.

Manusia 2 : Ayo kita hampiri dia.

Manusia 3 : Apa yang mau kita bicarakan?

Manusia 4 : Ya, bicara tentang kerusakkan sungai.

Tiba-tiba istri Orang Tua hilang keluar panggung.

Manusia 1 : Habis di mulut dan bicara saja, coba lihat! Mana ada lagi orang tua itu.

Manusia 2 : Waduh, cepat hilangnya.

Manusia 3 : Ya, begitulah, kita ini terlalu banyak bicara maka semua hajat tak terlaksanakan.

Manusia 4 : Lebih baik kita susul ke rumahnya.

Manusia 1 : Rumahnya di mana?

Manusia 4 : Kita cari sampai dapat.

Manusia 1 : Lewat sini. (Arah kanan panggung)

Manusia 2 : Salah lewat sini. (Arah kiri panggung)

Manusia 3 : Mana yang benar? Sana dan sini. (Menunjuk kiri dan kanan panggung)

Manusia 4 : Sini sajalah (mengikuti arah pelantaran) kalau hal ini saja tidak satu arah, bagaimana dengan urusan yang laen nanti.

Aktor-aktor Manusia keluar.

Tuan Kadi : Begitulah kita manusia, jikalau bicara diperbanyak umpama hidup untuk satu hari saja. Apalagi masalah lingkungan yang semakin hari semakin suram. Ini sungai, sebuah masalah besar buat kita, terutama saya yang memang diam di tepian sungai, besar oleh sungai. Sandiwara semacam ini perlu dilanjutkan terus untuk mengingat masalah lingkungan, masalah ikan-ikan mati, masalah udang-udang yang punah ranah, dan intinya masalah serakah! Serahkah! (Tiba-tiba hentakkan gong bergema) Itu sebuah gemuruh dalam dada! (Cemas). Aku Tuan Kadi! Penunggu tepian sungai. (Dengan lantang) Jangan sentuh tubuh-tubuh sungai, jangan perkosa kehidupan di dalamnya. Jangan! Aku lelaki petapa setiap peradaban dari sejarah yang datang hingga berganti menjadi hari ini. Akulah itu! Akulah sejarah sungai itu, akulah yang lebih tahu!

 Tiba-tiba terdengar suara gema Orang Berkacamata masuk ke dalam panggung dalam keadaan terikat, lampu temaram. Bercampur keributan orang-orang kampung sedang marah Sungai ini milik kami, bukan untuk diperjual-beli. Lalu memenuhi panggung. Tuan Kadi ketakutan dan hanya melihat sebuah kejadian itu.

Orang Berkacamata terduduk di tengah panggung seperti otang terikat, orang-orang kampung menutup kepala Orang Berkacamata dengan menggunakan ember. Lalu satu per satu memukul ember di kepala mereka sambil berkata Benak telah membinasakan badan, dan pikiran menghantui kekuasaan. Satu per satu orang kampung keluar panggung.

Masuk Istri Orang Tua, sambil melantunkan syair dari kutipan Tunjuk Ajar Melayu Tennas Effendi. Dan membawa lukah besar lalu menutup ketiga Aktor Berkacamata, terlihat seperti terpenjara.

Istri Orang Tua : Siapa suka membinasakan alam

akalnya busuk hatinya lebam.

Siapa suka merusak lingkungan

tanda hatinya sudah menyetan.

Siapa suka merusak laut dan sungai

itulah tanda buruk perangai.

Orang Tua mengikuti dari belakang istrinya sambil merenjis tepung tawar ke segala properti yang ada di panggung. Hingga yang terakhir kepada Orang Berkacamata.

Lampu perlahan-lahan redup. Bunyi nafiri bersahutan.

Lampu padam.

Pekanbaru, Oktober 2019

 

Tinggalkan Balasan