Novel Itu…
Bandung Mawardi
Saya tak pernah
bercita-cita menjadi penyair.
Cita-cita saya ialah menjadi puisi
yang tak dikenal
siapa penulisnya
(Joko Pinurbo, “Cita-cita Saya”, 2019)
Lelaki berpusat ke puisi. Lelaki bernama Joko Pinurbo menggubah ratusan puisi. Ia menganggap puisi-puisi itu capaian dan sumber. Capaian menggubah puisi berlanjut ke penggarapan cerita pendek dan novel. Ia mengaku menulis cerita pendek berjudul Ayat Kopi dari puisi sendiri. Ide dari puisi diambil untuk menjadi teks berbeda: cerita pendek. Bermula dari puisi menjadi cerpen. Joko Pinurbo sengaja menginginkan cerita pendek itu terhubung ke puisi, bukan teks baru alias terpisah dari puisi-puisi pernah digubah sejak masa 1980-an. Puisi pun sumber. Cerpen berasal dari ide puisi itu masuk ke novel berjudul Srimenanti (2019). Bersumber puisi, jadilah cerita pendek dan dikandung dalam novel.
“Walau ide awalnya dari puisi, lalu saya membuat cerpen dari ide tersebut, banyak yang tidak menyadarinya,” pengakuan Joko Pinurbo dimuat di Kompas, 1 Juli 2019. Ia memiliki tabungan berupa kata-kata dan ide. Tabungan bisa diambil dalam pembuatan puisi atau cerita pendek. Pengakuan itu disampaikan setelah cerita pendek berjudul Ayat Api dan novel berjudul Srimenanti terbit. Joko Pinurbo mungkin ragu ke pembaca tak mengetahui atau gagal membuat tautan puisi, cerpen, dan novel setelah lama menekuni buku-buku puisi terbit sejak 1999 sampai 2019, dari buku Celana sampai Surat Kopi. Puluhan tahun menjadi pujangga kondang, Joko Pinurbo masih ingin memberi penjelasan ketimbang menunggu ada juru penerang atau juru tafsir berkenan memberi pemahaman ke para pembaca.
Buku puisi berjudul Celana (1999) menjadikan ia “berkibar” di perpuisian Indonesia. Joko Pinurbo rajin menggubah puisi seperti keranjingan tanpa cuti. Buku demi buku terbit dan penghargaan-penghargaan diperoleh. Buku-buku itu laris dan sering menjadi perbincangan. Joko Pinurbo menjadi pujangga idaman. Predikat itu belum mencukupi. Joko Pinurbo melanjutkan ke jalan prosa. Pada 2019, ia ingin dikenali sebagai novelis. Srimenanti itu bukti. “Label” baru untuk Joko Pinurbo mengikuti ketekunan Sapardi Djoko Damono menulis novel-novel, setelah meraih puncak bersajak. Srimenanti itu novel. Kita membaca tak seperti novel biasa. Tuduhan paling lekas dan gampang: Srimenanti itu novel bergelimang puisi. Novel “menampung” puisi. Srimenanti itu parade atau pameran puisi. Pembaca diajak mengakui novel itu ditulis penyair. Joko Pinurbo adalah penyair-novelis. Kita di “pelabelan” sembrono gara-gara halaman-halaman Srimenanti sering memuat puisi utuh atau petikan dari puisi. Joko Pinurno memang “terlalu” puisi saat ingin memberi prosa ke pembaca.
Di halaman menjelang cerita, Joko Pinurbo menulis: “Terima kasih kepada Sapardi Djoko Damono yang puisinya ‘Pada Suatu Pagi Hari’ telah menyebabkan saya melahirkan buku cerita ini.” Puisi itu “sebab” atau “sumber”. Kalimat itu mulai mengabarkan ke pembaca bakal terjadi pengisahan berharap dicap novel dengan memusat ke puisi, tak cuma sebiji. Sejak halaman 1, keberimanan pada puisi atau kebergantungan ke puisi sudah “keterlaluan”. Puisi tak berperan menjadi “pemanis” atau “penguat”. Puisi justru “menguasai” di halaman-halaman cerita diakui novel atau buku cerita. Pengenalan tokoh dan puisi dimulai sejak halaman awal.
Malamnya saya dipeluk demam setelah bertubi-tubi dicumbu hujan. Dalam demam saya ingin bertemu dengan sajak-sajak kesayangan saya. Buat orang semelankolis saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya ingin lekas sehat. Nah, saya berhenti lama di sajak Sapardi Djoko Damono “Pada Suatu Pagi Hari”–sajak yang selalu saya kangeni, padahal sajak tersebut hanya mengungkapkan sebuah ingin.
Si tokoh keranjingan puisi. Ia memuja puisi. Pembaca diharapkan menganggap tiga halaman di awal adalah cerita, bukan apresiasi atau tafsir puisi dengan menokohkan diri di tulisan. Puisi gubahan Sapardi Djoko Damono ditaruh utuh. Puisi itu kiblat dalam pengisahan. Keutuhan tentu perlu atau mutlak. Puisi itu “ruh” novel.
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin
pagi itu hujan rintik-rintik dan lorong sepi agar
ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak
ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya
ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam
hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Kita mampir dulu ke buku berjudul Bilang Begini, Maksudnya Begitu (2014) susunan Sapardi Djoko Damono. Di situ, pembaca diajari cara-cara mengapresiasi puisi. Sapardi Djoko Damono berperan sebagai “pengajar” dengan memiliki keampuhan di predikat penyair dan kritikus sastra. Nasihat bijak minta direnungkan: “Puisi sedapat mungkin menghindari klise, menjauh dari bahasa yang sudah lecek karena sudah begitu sering dipakai. Itulah hakikat puisi.” Sapardi Djoko Damono membuktikan dengan gubahan puisi-puisi dikagumi orang-orang, melintasi tahun demi tahun. Bahasa di puisi sederhana tapi menghindari klise. Tata cara dipuji oleh Joko Pinurbo. Pemilihan puisi berjudul “Pada Suatu Pagi Hari” untuk penulisan cerita seperti “meniru” judul buku dengan penggantian kata berdampak ke makna: “Bilang novel, maksudnya puisi.” Buku dari Sapardi Djoko Damono “terpaksa” kita gunakan untuk memberi kelakar ke Srimenanti. Joko Pinurbo menginginkan itu buku cerita atau novel tapi kita justru menganggap itu puisi-puisi ditata menjadi cerita. Kelakar terbantahkan pengakuan Joko Pinurbo: cerpen dan novel berhak menjadi lanjutan dari keranjingan berpuisi atau penggarapan bermula dari ide diambil di puisi sudah digubah dan dipublikasikan.
Puisi berjudul “Pada Suatu Pagi Hari” dijadikan dalih menghubungkan ke tokoh lain. Tokoh itu perempuan bernama Srimenanti, diakui “berasal dari sajak itu” gara-gara “mendengar suara tok-tok yang berulang-ulang di celah barisnya–suara yang mirip benar dengan suara sepatunya.” Dua tokoh dihubungkan oleh puisi. Tokoh “aku” adalah penyair dan Srimenanti adalah pelukis. Dua tokoh sejak mula sudah memiliki pengalaman dan kegandrungan ke puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Kesengajaan itu semakin memberi derajat kemuliaan untuk “Pada Suatu Pagi Hari.” Puisi memang terbukti kiblat.
Joko Pinurbo selang-seling menghadirkan penyair dan pelukis. Bab-bab bergantian tapi dihubungkan oleh puisi dan biografi memiliki kemiripan. Pada pengenalan Srimenanti, pembaca lekas bertemu kemujaraban puisi milik Sapardi Djoko Damono. Srimenanti mengontrak rumah, ingin ada di sepi dan menjauh dari kebisingan. Orang-orang di sekitar menganggap rumah itu dihuni hantu-hantu. Srimenanti tetap tinggal di situ, menanggulangi takut dengan puisi: “Oleh seorang penyair saya disarankan agar membungkuk dan mengucapkan baris puisi Sapardi yang fana adalah waktu, kita abadi bila hantu itu datang”. Hantu itu lelaki tanpa celana atau eltece. Pola hampir sama berlaku di pengenalan Srimenanti adalah pembaca tulen puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono seperti tokoh penyair: “Ah, eltece membuat saya teringat pada sajak Sapardi Djoko Damono ‘Pada Suatu Hari’, sajak sederhana yang mengusik emosi. Saya yakin, eltece merupakan salah satu penghuni sajak tersebut. Saya pernah melihat sosok yang mirip dengannya tiba-tiba mencungul dari celah barisnya saat saya membacanya menjelang tidur.” Dua tokoh sah dihubungkan oleh puisi!
Penulis novel serius mengesahkan “Pada Suatu Pagi Hari” adalah penentu cerita. Pada suatu pertemuan penyair dan Srimenanti, puisi itu berperan besar di penokohan. Penyair mengaku pernah melihat perempuan bernama Srimenanti dalam dalam sajak “Pada Suatu Pagi Hari”. Perkenalan dipaksakan harus terhubung ke puisi. Srimenanti berlagak bingung. Penyair nekat menipu dengan mengatakan bahwa Sapardi Djoko Damono menitip salam. Di bab pengakuan Srimenanti, kita membaca: “Oh ya, tentu saya tahu, lelaki yang pernah coba-coba mewawancarai saya di tengah demo diam-diam memantau saya. Dia suka mencari kesempatan hanya untuk memperhatikan atau memancing perhatian saya. Seperti kurang kerjaan saja. Apakah dia tidak sadar, waktu saya pura-pura bego dengan tidak kenal Tuan Sapardi? Soalnya mustahil Sapardi titip salam buat saya.” Pembaca diajak memasuki kehidupan dua tokoh dengan persamaan: pengagum puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono.
Biografi tokoh buatan Joko Pinurbo ditentukan pula oleh puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, tak melulu “Pada Suatu Pagi Hari”. Pengakuan si tokoh: “Saya jatuh cinta kepada puisi gara-gara pada suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntai kata dalam sebuah sajaknya: masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi. Waktu itu saya masih remaja yang sedang mencari cita-cita. Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya, membuat saya suka bersendiri bersama puisi…. Sekian tahun setelah malam yang diberkati puisi itu, saya berhasil merintis peruntungan sebagai seorang pujangga.”
Pola hampir sama digunakan untuk mengetahui biografi pelukis bernama Srimenanti. Joko Pinurbo mula-mula mengisahkan Srimenanti berani jadi pelukis setelah bertemu dan bergaul dengan panutan. Di kancah seni rupa Indonesia, ada nama tenar: Nasirun. Pelukis kondang itu “dihadirkan” Joko Pinurbo dalam novel tapi mengalami perubahan. Srimenanti mengingat: “Meskipun sejak kecil suka menggambar, saya tidak pernah membayangkan suatu hari akan benar-benar menjadi seorang pelukis. Semangat saya untuk menjalani panggilan hidup sebagai pelukis mulai berkobar karena sekolah saya, Sekolah Menengah Kesenian, mengundang seorang pelukis nyentrik bernama Nasirun untuk acara gelar wicara dan peragaan menggambar. Waktu itu rambutnya masih panjang tergerai menutupi separuh panggungnya.” Nasirun, pelukis tinggal di Jogjakarta itu memang khas dengan rambut panjang.
Cara pengenalan dua tokoh memiliki panutan “dikenali” pembaca adalah penyair dan pelukis kondang sengaja memberi “kejutan” di novel. Pembaca berhak bergantian anggapan dua panutan itu sesuai dengan fakta atau disengajakan fiksi. Kita sudah mendapat pemberitahuan Joko Pinurbo di halaman awal: “Buku cerita ini merupakan karya fiksi meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang dapat dijumpai di dunia nyata.” Kita boleh menuruti penjelasan tapi memastikan penggubah puisi berjudul “Pada Suatu Pagi Hari” memang Sapardi Djoko Damono. Penyair itu ada dalam novel, belum tentu cuma mutlak difiksikan oleh Joko Pinurbo. Peran ketokohan Sapardi Djoko Damono menguat berada di dua tokoh: “aku” dan Srimenanti. Kita sempat menganggap Srimenanti komplet memiliki panutan: Sapardi Djoko Damono dan Nasirun. Anggapan wajar meski tokoh “aku” sejak bocah pun memiliki pengalaman “memasuki” jagat lukisan, tanpa mendapat panutan.
Pengenalan dua tokoh memberi ketetapan bahwa Joko Pinurbo ingin mengisahkan pertautan sastra dan lukisan. Kita menduga dua hal itu gampang dimengerti dan dialami pengarang ketimbang memaksa menghadirkan hal-hal lain. Dua hal itu selalu bertaut dalam cerita dengan menghadirkan tokoh-tokoh lain berasal dari jahat sastra dan seni rupa: Aan Mansyur, Hanafi, Faisal Oddang, dan lain-lain. Pembaca sudah tekun mengamati perkembangan sastra dan rupa mungkin “menunda” segala sangkaan atas kenekatan Joko Pinurbo menjadikan mereka adalah tokoh dalam cerita. Siasat “ulang-alik” memberi kemungkinan ke pembaca memihak ke fakta atau menikmati sekadar fiksi.
Tokoh aku diceritakan sudah memiliki pengalaman menonton pameran lukisan berdalih tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia. Peristiwa mendatangi pameran bersama ibu disengajakan di ketakjuban dan pengalaman mistis. Dua orang mengagumi lukisan berlatar hitam: “Di tengah hitam hanya ada sebuah rumah tua berpintu merah dengan cahaya lampu redup remang.” Tokoh “aku” terlalu takzim melihat, tak sadar “ditinggalkan” ibu sejenak. Ia menduga ibu pergi ke toilet. Dugaan itu salah. Penjelasan ibu: “Oh, Ibu tidak ke toilet. Ibu habis memasuki rumah tua dalam lukisan itu. Ternyata itu perpustakaan. Ibu sempat melihat buku-buku tua. Ibu senang menemukan sebuah kitab puisi, judulnya lucu: Celana.”
Rumah itu perpustakaan. Di dalam, ibu menemukan buku puisi. Pembaca mulai mengaitkan judul buku ditemukan ibu itu mengarah ke buku puisi milik Joko Pinurbo: pengarang novel Srimenanti. Joko Pinurbo menghadirkan “Joko Pinurbo” dalam novel, menceritakan diri. Joko Pinurbo mulai mbeling dengan lelucon agak mistis. Perkataan ke ibu: “Celana, Ibu? Bukankah itu buku yang baru akan saya tulis sekian tahun yang akan datang?” Sejenak, pembaca diajak merunut kembali biogragi Joko Pinurbo saat mengejutkan kesusastraan Indonesia dengan penerbitan buku berjudul Celana (1999). Buku terbit saat usia Joko Pinurbo tak muda lagi. Buku mujarab mengantarkan Joko Pinurbo sebagai pujangga ampuh dan berpengaruh. Kilas balik tak cuma sisipan dalam novel. Anggaplah itu taktik “membesarkan” atau “mengiklankan” diri mumpun memberi suguhan novel ke pembaca. Buku berjudul Celana itu pembuktian, setelah tokoh “aku” terpikat puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono dan menapaki biografi sebagai pujangga di usia remaja.
Dua tokoh di peristiwa sama: bertamu ke rumah panutan. Tokoh “aku” datang ke rumah Sapardi Djoko Damono. Srimenanti bertamu ke rumah Nasirun. Kekaguman disempurnakan dengan bertemu dan bercakap. Joko Pinurbo menjadikan peristiwa bertamu untuk memberi penjelasan ke pembaca mengenai kesaktian dua tokoh panutan. Pembaca bisa menganggap itu “pemberitaan”. Pesona terasa di peristiwa bertamu ke rumah Sapardi Djoko Damono. Joko Pinurbo menjadikan itu cara saling pamer puisi atau penjawaban puisi. Pada peristiwa bertamu pertama, tokoh “aku” mendapat puisi dari Sapardi Djoko Damono: “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.” Tokoh “aku” berganti memberi puisi sesaat setelah Sapardi Djoko Damono membuka pintu di kunjungan kedua: “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu di luar, saya sedang berdoa sebentar.
Di tempat berbeda, Srimenanti bertamu ke rumah Nasirun, mendapat “pengajaran” tentang gairah dan cara melukis. Dua tokoh bertemu panutan dimaksudkan mengesahkan kekaguman. Pada pertemuan berbeda, Srimenanti malah diberi ajaran oleh Nasirun: “Entah bercanda, entah sungguhan, Nasirun menyarankan agar saya–bila sempat menangis lagi–menampung air mata saya, kemudian membubuhkannya pada cat yang akan saya gunakan untuk melukis, dan mengaduknya. Cat yang tercampur dengan air mata, katanya, akan memancarkan aura tersendiri.”
Di tengah cerita, Joko Pinurbo mempertemukan di tokoh di rumah Hanafi. Mereka dijebak saling berkenalan secara pantas dan membuat percakapan. Pemberian arti besar puisi berlangsung dalam percakapan dua tokoh. Kembali lagi berkiblat ke puisi berjudul “Pada Suatu Pagi Hari.” Kita diberi pengakuan dari tokoh “aku”, setelah merenungi pertemuan dan percakapan sejenak bersama Srimenanti. Kita diberi pengakuan melulu puisi: “Di balik itu, saya meyakini adanya peran aktor tersembunyi, yaitu puisi Sapardi ‘Pada Suatu Pagi Hari’. Saya percya, pertemuan saya dengan Srimenanti telah ditakdirkan oleh yang terhormat puisi Sapardi.” Pembaca boleh tergesa menuduh si pengarang memang kecandungan “Pada Suatu Pagi Hari.” Tuduhan telak adalah Joko Pinurbo membuat apresiasi panjang untuk puisi tapi kebablasan menjadi buku cerita atau novel.
Keseruan dalam novel dikuatkan dengan “kesungguhan” membuat tafsir atas puisi “Pada Suatu Hari.” Gara-gara harus memberi tafsir memuaskan, pembaca mulai mendapat pengajaran apresiasi sastra mirip di kuliah atau buku. Tokoh “aku” memiliki utang memberi tafsir puisi kepada Srimenanti. Di suatu percakapan, Srimenanti merasakan puisi gubahan Sapardi Djoko Damono itu menimbulkan efek berbeda ke pembaca: “Ada yang merasa sedih dan nyeri sehabis membacanya, ada yang malah merasa plong, lega.” Tokoh “aku” menanggapi: “Saya katakana bahwa pembaca memang bisa mendapatkan kesan dan pesan yang berbeda-beda karena situasi, pengalaman, dan wawasan pembaca juga berbeda-beda.”
Novel seperti adonan biografi berpuisi selaku pembaca dan penulis. Joko Pinurbi menelusuri lagi masa lalu, bergerak menuju ke capaian-capaian. Semua diakui bermula dari puisi untuk disajikan lagi ke pembaca berupa novel. Pembaca suntuk dengan novel dan obsesi puisi mungkin wajib mengusut sekian puisi memberi pengaruh tapi tak dikutip dalam novel. Kita bisa memilih kutipan sendiri, berbeda dari pilihan Joko Pinubrbo saat menceritakan kesungguhan melihat lukisan: “lukisan hitam-putih yang menggambarkan seorang bocah tertidur di atas halaman buku.” Lukisan itu dibuat Srimenanti dipasang di ruang kerja teman sebagai pemilik toko buku dan angkringan. Kunjungan ke situ, tokoh “aku” tertawan ingatan: “Saya merasa, bocah dalam lukisan itu menyerupai sosok saya ketika kecil.” Tokoh itu mendapat informasi bahwa Srimenanti “terinspirasi oleh baris-baris puisi saya.” Puisi berjudul “Surat Malam untuk Paska”, 1999. Joko Pinurbo memilih mengutip puisi gubahan sendiri: Masa kecil kaurayakan dengan membaca. Kepalamu berambutkan kata-kata… Kau pun pulas di atas halaman buku yang luas. Kita boleh memilih kutipan berbeda masih dari puisi sama agar ada pengesahan pamrih mengingat masa kecil tokoh “aku”. Pengutipan tak lengkap: Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama sebuah roman/ yang sering luput dan tak terkisahkan, kosong tak terisi,/ tak terjamah oleh pembaca, bahkan tak tersentuh oleh penulisnya sendiri. Kita merasa ada gelagat menulis “novel” telah dimulai sejak 1999.
Keberanian mengubah tampilan puisi berjudul “Baju Bulan” menjadi prosa di percakapan mengandaikan kita memang penikmat tulen puisi gubahan Joko Pinurbo. Di novel, kita seperti penonton atau pendengar. Dua tokoh dihadirkan di pengutipan puisi terasa jadi prosa. Tokoh bernama Numani membaca dan Narimo mendengar. Kita seperti Narimo: mendengar. Penghadiran puisi “Baju Bulan” agak malu-malu. Di depan, Numani membacakan puisi Chairil Anwar berjudul “Cintaku Jauh di Pulau” disahuti oleh Narimo. Pembaca diharapkan memberi pujian bahwa puisi gubahan Joko Pinurbo pun moncer, digemari oleh para remaja. Mereka memilih membaca puisi gubahan Chairil Anwar dan Joko Pinurbo mengesankan ada penetapan daftar puisi “paling” digemari dan berpengaruh di kesusastraan Indonesia, dari masa ke masa. Pembaca masih harus memberi pengakuan atas kegandrungan ke puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo: “Para remaja harapan bangsa itu tampaknya ikut terserang virus puisi. Mereka jadi hafal baris puisi saya: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Penggalan itu berasal dari puisi berjudul “Surat Kopi”. Puisi ada di buku berjudul Surat Kopi (2014) terbitan Motion Publishing dan Surat Kopi (2019) terbitan Grasindo.
Kunjungan ke toko buku milik Romlah di Jogjakarta memberi kejutan. Tokoh “aku” memiliki kebiasaan membeli buku. Pembaca digoda mengingat episode awal Joko Pinurbo sebagai penyair: “Saat mengamati deretan buku bekas di salah satu rak, saya terkejut mendapatkan tiga eksemplar buku puisi perdana saya terselip di sana dalam kondisi kucel dan kusam.” Kita anggap buku puisi itu berjudul Celana. Novel berjudul Srimenanti rampung ditulis pada 2018. Novel terbit 2019. Pada saat terbit, buku Celana itu diperingati berusia 20 tahun. Buku diterbitkan oleh Indonesia Tera, 1999. Celana diterbitkan lagi oleh Gramedia Pustaka Utama, 2018. Di hadapan tiga buku itu tokoh “aku” ingin memborong tapi malu kepada Romlah.
Malu itu berbeda kadar jika kita mau membuka buku lama berjudul Menjaring Kaki Langit (1985). Buku berisi puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo, PY Ekaristiyono, Dhenok Kristianti, Dorothea Rosa Herliany, dan Sabar Subekti. Buku diterbitkan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Sanata Dharma, Jogjakarta. Buku itu tak pernah atau jarang disebut Joko Pinurbo di data diri dimuat di buku-buku puisi pernah terbit atau diumumkan dalam diskusi. Joko Pinurbo mungkin malu mengingat puisi-puisi sebelum penerbitan buku Celana (1999). Kita sajikan puisi gubahan Joko Pinurbo (1983) berjudul “Pintu”, puisi apik: tutuplah pintu itu, Tuhan/ agar angin tak masuk mengganggu tidurmu// sebab aku tahu kau suka menyendiri/ dan selalu tabah menghadapi sepi// aku tambah lama tambah sunyi/ karena itu tak mau sendiri.
Penulisan Srimenanti membuat pembaca terbujuk mengingat perkuliahan sastra menggunakan buku berjudul Teori Kesusastraan (1989) susunan Rene Wellek dan Austin Warren. Di puisi, ada perdebatan tentang studi atau kritik sastra bergantung ke biografi pengarang. Peringatan tercantum bahwa biografi menjelaskan proses penciptaan teks sastra. Joko Pinurbo melampaui uraian Wellek dan Warren. Semula, Joko Pinurb menggubah puisi-puisi. Pada masa berbeda, ia menulis novel menggunakan puisi-puisi sendiri untuk menguatkan kiblat ke puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Kehadiran puisi secara utuh dan penggalan digunakan oleh Joko Pinurbo membentuk biografi tokoh “aku” digenapi tokoh Srimenanti. Biografi bisa muncul dua kali: puisi di buku-buku sudah terbit dan penempatan puisi dalam novel Srimenanti. Penentangan atas pendekatan biografis memiliki argumentasi di tradisi sastra, konvensi, dan fakta psikologis. Di hadapan Srimenanti, kita merasa ada di permainan (kesan) biografis menuruti ulah Joko Pinurbo.
Joko Pinurbo agak mengelabui pembaca dengan membuat alinea tak dimaksudkan sebagai pengutipan puisi telah mengalami sedikit perubahan diksi. Di halaman 64, tokoh “aku” menceritakan ayah tekun menulis untuk menghidupi keluarga. Joko Pinurbo membuat alinea: “Ayah saya seorang penulis yang kaya. Kepalanya tak pernah kehabisan kata-kata. Dompetnya selalu penuh. Penuh, dengan semoga.” Pembaca tekun bakal mengingat puisi berjudul “Semoga” dimuat di Surat Kopi edisi 2014. Alinea itu mengantar ke puisi berjudul “Kaya” dalam Surat Kopi edisi 2019. Judul berbeda di dua buku tapi isi sama. Isi di puisi berubah di alinea dalam Srimenanti. Di puisi, Joko Pinurbo menulis “rekeningnya” tapi di novel menjadi “dompetnya”. Alinea itu mungkin dianggap tak perlu diberi keterangan sebagai kutipan puisi. Kalimat-kalimat memang puitis, tak disahkan menjadi puisi oleh Joko Pinurbo dalam novel. Begitu.