Puisi Tjahjono Widarmanto
KERETA SENJA (1)
*) obituary Mas Iman
waktu beringsut menghilang menjelma kekal
senja menganga menelan segala jarak yang berubah pekat
panjang menjulur-julur di rel-rel dingin mengejar kilometer-kilometer lelah
“Mas, perjalanan ini apakah sudah genap?” gumamku bertanya.
(kau tak menjawab sepatah huruf pun hanya senyummu seolah menunjuk arah
yang jauh)
kereta terus saja melaju tinggalkan jarak
melintasi stasiun-stasiun yang dihisap candikala
entah akan singgah di mana, entah dilintasan mana.
entah imi perjalanan, entah kepulangan
hanya lambaian yang pamit tanpa kata-kata.
Ngawi, 2021.
KERETA SENJA (2)
*) obituary Mas Iman
senja menerkam, kereta melintasi kerumunan orang-orang;
entah siapa mereka yang berjajar persis deret ukur itu
entah mereka menunggu apa atau bergegas cemas di urutan panggilannya
di dalam kereta dari balik jendela kaca muram
tampak kabut begitu sunyi dan malas
engkau peluk koper usangmu bergumam:
“Dik, adakah sajak yang tertinggal?”
Ngawi, 2021.
KITAB BATU
/1/
sejarah telah mencatatkan bahwa batu dan sungai adalah sepasang pengantin
batu berserak di sungai seperti kata-kata penyair yang berhamburan di lembar
lembar puisi
tak pernah peduli sepi selalu mengacuhkannya bahkan menertawakan segala
makna kata
persis seperti butir-butir kelereng yang berbamburan dari kantong celana anak-anak
lantas menggelinding ke mana-mana. guga ke dalam selokan dengan air yang
dingin
seperti sepasang pengantin, batu dan sungai saling menitipkan rahasia
bahkan menitipkan tubuh. bahkan saling meminjamkan tubuh
siapa yang rebah dan siapa yang merengkuh?
entah siapa yang mula merasakan dingin
dua-duanya senyap merawat kenangan, harapan atau khianat yang beku
siapa memimpikan siapa?
siapa yang lebih dulu menetaskan tiwikramanya lantas berseru: aku menggelinding
dulu
atau aku berpusar dulu. di perempatan mereka bertemu lagi. saling tunjuk
:arusku beku.pun uratmu beku.arusku membatu, batuku mengarus.beku kita
menyungai!
ah, tak ada angin yang berpusing-puising.apalagi taufan
tak ada angin membawa arus menggelindingkan batu
tak ada ababil yang memecah batu lantas menghisap dalam paruhnya
tak ada pasukan gajah yang ingin mandi dan menggosok tubuhnya dengan batu.
sepasang pengantin itulah batu dan sungai.pasrah dan menunggu arus
lidah mereka haus arus yang menghisap dahaga batu
lidah mereka selalu gagu menyebut nama-nama
walau segala pengetahuan telah diajarkan sang guru
/2/
arus batu menggelinding seperti bola salju yang sunyi
mata menatap basah seperti bocah perempuan kehilangan kucing
segala dingin telah dicatatkan pada segala peistiwa
: ibu, kenapa kau menudingku
aku sekedar ingin tubuhku memanjang dan mengelupas melebihi waktu
menjauhi akar dan tumbuh menjulang ke cakrawala tanpa harus menunduk
tanganku sekedar ingin merasakan arus yang dingin bahkan beku
sekejap dalam beku bisa kutafsiri segala angan melesat meninggalkan purba
: ibu aku tak menolak menjadi batu seperti yang engkau sabdakan.
segalanya akan berpulang sempurna jadi batu.hening seperti shpinx atau aswad
yang pualam.yang kekal.yang liat.bahkan para penyembah pun menjadikan
rumahnya
tubuhku lebih luas ketimbang abadi, lebih tak terjangkau ketimbang waktu
tubuhku lebih liat dan lebih liar dari farji mencumbu segala arus
seperti saat mula sepasang murid yang kecewa mencuri kuldi sang guru
lantas meniduri seluruh bidadari di surga seperti ulat menggerogoti perdu
/3/
bersabdalah, akan kusebut namamu!
sebelah rusukku jadi batu
seperti sepasang kaki yang tumbuh jemari batu
seperti air mata yang teteskan kerikil pasir
ubun-ubun dan pusar melahirkan batu-batu
seperti ranting pohon berbuah batu
seperti putik berkelopak batu
itulah yang nanti akan berserak
orang berduyun-duyun antri memungutnya
melempari malam-malamnya sendiri
kau tahu,guru?
aku tak bisa menyebut namamu saat kau siapkan kebun itu
aku tak ingin jadi peladang atau petani yang tunduk pada sabda
aku ingin jadi pemburu taklukkan kuda-kuda merah paling liar
aku tak ingin jadi penyair paling jalang di padang lapang
aku ingin jadi penakluk membuat segenap perempuan tunduk
aku ingin menebang hutan membabat pohon mencipta kota
lantas membakarnya jadi abu
kau tahu, guru?
biarkan aku jadi batu
menggelinding menggilas waktu
meringkik dan memekik di ujung langit
biarkan aku jadi batu, agar gagu menyebut namamu!
Ngawi, bumi ketanggi: 2019-2020
DI LORONG MALIOBORO
senja di malioboro. ada berita nglangut di tengah hiruk-pikuk:
“dengarlah, dengar sang majnun itu berkabar
tentang pasaran hari yang tak pernah genap sembilan”
maka berkumandanglah suara drumband itu hingga nanti saat parak esuk
malam-malam telah kehilangan lintang, jadi abu-abu lelah yang gontai
sungguh di malioboro ini orang-orang telah melupakan jadwal
yang disusun berjejal-jejal seperti ikan dalam kaleng sarden
lantas mengimpikan sesuatu yang nyata-nyata samar
benar kata si majnun itu: segalanya nisbi dan abai!
Ngawi, 2021.
Tjahjono Widarmanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah studi di program doktoral Unesa.
Buku puisi terbarunya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016) menerima Anugerah Buku Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Bukunya yang terbit terdahulu Pengantar Jurnalistik: Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (2014), Mata Air di Karang Rindu (Buku Puisi, 2013), Masa Depan Sastra: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Di Pusat Pusaran Angin (Buku Puisi, 1997), Kubur Penyair (Buku Puisi:2002), Kitab Kelahiran (Buku Puisi, 2003), Nasionalisme Sastra (Bunga Rampai Esai, 2011), Drama: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), dan Umayi (Buku Puisi, 2012).
Selain menulis ia juga pernah bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi, serta menjadi guru di SMA 2 Ngawi.