Perempuan yang Membenci Hari Minggu
Cerpen Pipiek Isfianti
Minggu yang menyengat, seperti biasa. Seperti biasa pula, Meli masih terkapar di tempat tidur. Sinar mentari yang menelusup dari balik jendela kamar, menambah berat kepalanya.
Ini minggu ketiga, sejak ia pindah di kota ini. Kota yang tak memiliki hari Minggu. Kota itu hanya memiliki hari Senin sampai Sabtu. Dan diantara itu, mereka, warga di kota ini, tak memberi nama apa pun. Mereka hanya menyebut hari sesudah Sabtu, dan sebelum Senin.
Meli sudah pindah di kota ini sejak tiga minggu lalu, saat sudah tak tahu lagi bagaimana bertahan dengan segala kewarasan di kotanya dulu. Kota yang selalu menunggu hari Minggu dengan gegap gempita. Sudah sejak Jumat, warga di kota itu sudah hiruk-pikuk menunggu dan memperbincangkan hari Minggu mereka.
Dan Meli? Sejak ia menderita stroke di bagian kiri tubuhnya, apa yang bisa ia perbuat pada hari Minggu? Selain berjemur di halaman rumah, berbincang dengan ikan dan bunga-bunga? Atau sesekali meminta ini dan itu pada Bu Har, asisten rumah tangganya yang setia. Sementara ia lihat para tetangga di perumahan itu berlalu-lalang menikmati hari Minggu mereka. Ada yang membawa ban besar karena akan berenang, ada yang membawa tenda karena akan berkemah.
Meli dulu tidak begitu membenci hari Minggu, saat masih aktif bekerja sebagai wartawan koran di kotanya. Hari-harinya sibuk berburu berita, menuliskannya. Tak ada waktu untuk mengingat besok adalah hari Minggu.
Perasaan membenci hari Minggu itu datang saat pada hari Minggu itu, delapan tahun lalu; dia mendapati darah membuncah dari tubuh bagian bawah. Saat ia baru begitu bahagia, saat pernikahannya selama tiga tahun itu telah membuatnya hamil tiga belas minggu. Dan sebelum kebahagiaan itu menjadi sempurna, pada hari Minggu keparat itu, ia harus kehilangan calon anaknya. Dan perasaan membenci Meli pada sebuah hari bernama Minggu bertambah, saat dua tahun lalu, seorang perempuan datang ke rumahnya. Pada sebuah hari Minggu saat ia sedang selesai mengosek kamar mandi.
Dan suaminya masih terlelap, setelah semalam mereka bercinta hebat. Perempuan yang datang dengan seorang anak lelaki berusia tiga tahunan, yang membuat Meli menyadari betapa bodoh ia saat melihat wajah anak itu. Anak itu berwajah sama persis dengan suaminya, dan tak perlu perempuan itu menjelaskan panjang-lebar padanya, tentang siapa dia, siapa anak lelaki itu. Meli hanya tahu, sejak hari Minggu itu sebuah kekejian telah dia terima. Sebuah pengkhianatan padanya yang memorak-porandakan hidupnya, ia ketahui pada hari Minggu itu.
“Sret!” Bu Har menarik gorden jendela kamarnya. Sinar mentari seketika tambah menyeruak. Meli memicingkan mata, menutup mata dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih lunglai.
”Sudah pukul sepuluh. Bu Meli, mandi yuk,” kata Bu Har. Perempuan seusia kakaknya yang mengabdi padanya sejak ia masih bersama suaminya itu tersenyum. Entah, terbuat dari apa hati perempuan itu, hingga tak pernah tersinggung saat Meli marah karena air mandi yang terlalu panas, sayur yang menurut Meli terlalu asin, dan banyak lagi. Bu Harlah yang merawatnya sejak hari Minggu itu; Meli bangun pagi dengan separuh tubuh kiri yang tiba-tiba saja tak bisa ia gerakkan.
Meli menjerit histeris pada hari Minggu itu. Saat tak ada lagi Miko suaminya di sampingnya. Hanya Bu Har yang saat itu ada di sampingnya. Bu Har juga yang membawanya ke rumah sakit.
“Ibu satu-satunya kerabatnya? Ibu Meli menderita stroke iskemik sebelah kanan karena hipertensi. Itu mengakibatkan kelumpuhan atau hemiplegia di tubuh bagian kiri yang berefek lemahnya otot, sehingga kesulitan bergerak atau hemiparesis. Bagian tubuh yang terkena efek stroke meliputi wajah sebelah kiri, kaki kiri dan tangan kiri. Kesulitan untuk konsentrasi juga ya, Bu,” kata Dokter Burhan, dokter yang sejak itu merawatnya.
“Tolong lebih jelaskan, Dok. Saya yang akan merawat dan menjaganya. Sampai sembuh,” kata Bu Har terisak.
Dan Meli tergugu saat mendengar kata-kata Bu Har itu di tengah kesadarannya yang muncul lamat-lamat.
“Kesulitan merasakan bagian tubuh diri sendiri ataupun benda di sekelilingnya. Nanti akan saya sampaikan bagaimana perawatan yang harus Ibu Meli jalani,” suara Dokter Burhan, yang kala itu Meli dengar lamat-lamat.
Ia masih kehilangan kesadaran, hanya seperti mendengar Dokter Burhan terus berbicara pada Bu Har.
“Mengalami stroke dapat menyebabkan depresi atau kecemasan. Ibu Meli juga mungkin mengalami perubahan dalam perilaku, seperti menjadi lebih impulsif atau lebih menarik diri dari bersosialisasi dengan orang lain. Jadi, saya harap Ibu sabar nanti dalam merawat Ibu Meli. Karena Ibulah satu-satunya yang ia miliki,” kata Dokter Burhan berhati-hati.
Maka, sejak hari Minggu itu, Meli merasa hidupnya telah habis. Tak tersisa. Dan semua selalu bermula dari hari Minggu. Hari yang hampir sebagian besar, atau bisa dikatakan seluruh, manusia di muka bumi ini menunggu, tapi justru menjadi sebuah hari yang begitu Meli benci.
Awalnya ia mengira karena ia mengalami mood swing karena penyakit strokenya, seperti yang ia dengar dari Dokter Burhan dulu.
“Sabar ya, Meli. Saat pemulihan nanti kamu akan mengalami mood swing,” kata Dokter Burhan lembut dan hati-hati.
Itu saat mereka bertemu di sebuah jadwal fisioterapi.
“Hemm, apa itu?” tanya Meli, sambil tangan kirinya mencoba menggenggam kelereng dan memindahkan ke dalam gelas plastik. Sebuah hal yang begitu mudah dilakukan orang sehat, tapi tidak bagi penderita stroke seperti dia.
“Perubahan suasana hati atau keadaan emosional secara mendadak. Perubahan suasana hati ini normal terjadi pada setiap manusia. Karena, mood seseorang dapat bergantung pada keadaan sekitar. Seperti teman, cuaca, makanan, hingga musik. Namun, apabila perubahan suasana hati itu mengganggu, karena ada sebabnya. Kondisi hormon, gangguan mental, ketidakseimbangan zat kimia otak, serta penyakit tertentu seperti yang sedang kaualami saat ini. Salah satu penyebab mood swing adalah ada penyakit kronis yang memengaruhi otak, seperti demensia dan stroke, dapat berdampak terhadap suasana hati seseorang. Akibatnya, orang yang memiliki penyakit ini mudah mengalami mood swing. Perlu kuceritakan semua padamu, Meli, supaya kamu memahami betul apa yang sedang terjadi padamu. Agar kamu lebih tenang, sehingga cepat sembuh,” kata Dokter Burhan mantap. Tangannya menuntun tangan Meli untuk mengambil kelereng terakhir.
Dan Meli tak ingin lama-lama tinggal di kota ini membuat mentalnya memburuk. Maka saat dia dengar ada sebuah kota tak memiliki hari Minggu, segera dia minta Bu Har mengemasi barang-barangnya. Dia harus sesegera mungkin pindah ke kota itu. Maka dia tinggalkan semua. Segala kenangan pahit pada hari Minggu di kotanya.
Tak dia hiraukan semua pesan masuk atau panggilan Dokter Burhan karena ia melewati jadwal terapi. Meli merasa tak lagi membutuhkan segala hal yang berkaitan dengan kesehatannya. Ia hanya ingin berada di kota tanpa hari Minggu ini. Supaya ia tak ingat lagi segala luka yang dia terima setap hari Minggu.
Kota ini memang betul-betul tak punya hari Minggu. Kalender di kota itu semua berwarna hitam. Ada tulisan memang hari Senin sampai Sabtu di kalender mereka. Tapi ada satu hari yang tak punya nama. Warga di kota itu menyebutnya hari sesudah Sabtu dan sebelum Senin. Kota itu memang diperuntukkan khusus bagi orang-orang yang tak tak suka hari Minggu, dengan alasan masing-masing. Seperti Meli. Meli mempunyai berjuta alasan untuk membenci hari Minggu. Hari Minggu bagi dia hanya memberikan luka yang menganga, yang Meli tak tahu entah sampai kapan.
“Sudah tiga pekan di sini, Ibu belum pernah berangkat fisioterapi lagi ke Dokter Burhan,” kata Bu Har pagi itu.
Hari itu adalah hari sesudah Sabtu dan sebelum Senin ketiga di kota ini. Bu Har sudah membantunya mandi. Sudah membuatkannya cokelat panas, sepotong labu kukus, dan sebuah pie buah. Migrain Meli sudah berkurang banyak. Ia duduk di halaman rumah barunya di kota tanpa hari Minggu ini yang penuh tumbuhan putri malu.
Meli tak menjawab. Tangan kanannya sibuk bermain dengan daun putri malu yang tumbuh sangat banyak di rumah barunya itu. Sejak kecil, Meli suka sekali daun putri malu. Saat libur sekolah dulu hari Minggu, ia dan kawan-kawan sekelas yang rumahnya berdekatan, akan mencari daun putri malu yang tumbuh sangat banyak di pinggir kampung masa kecilnya. Meli suka daun putri malu yang berbentuk menyirip dan bertepi rata. Daun berbentuk kecil tersusun secara majemuk, berbentuk lonjong serta letak daun berhadapan. Bila tersentuh, daun putri malu akan segera menguncup atau menutup. Meli suka menyentuhnya dengan sangat lembut dan pelan. Maka daun putri malu juga akan mengatup dengan lembut dan pelan. Aneh, jika disentuh sedikit saja, seluruh daun akan mengatup.
Meli menikmati saat daun-daun itu bergerak mengatup secara beraturan. Seperti membentuk irama. Begitu indah. Meli dan teman-temannya juga akan berebut mengambil bunga putri malu. Bunga indah berbentuk bulat seperti bola, berwarna merah muda dan bertangkai sertabentuk bunga berambut. Putik berwarna kuning dan tangkai bunga berbulu halus. Pada saat matahari tenggelam, bunga akan menutup seakan layu dan mati, tapi jika terkena sinar matahari lagi, bunga itu akan kembali mekar.
“Telepon Dokter Burhan, pesan-pesan beliau, juga tak pernah Ibu jawab,” Bu Har tersenyum. Agaknya ia memang tak butuh jawaban. Melihat Meli tersenyum senang saat daun putri malu itu menelungkup dengan cepat tersentuh oleh tangan kanan Meli saja, ia sudah cukup merasa bahagia.
“Lihat, Bu Har, aku masih bisa menggerakkan daun-daun ini,” kata Meli girang.
“Ayo coba dengan tangan kiri Ibu,” kata Bu Har. Tangannya menuntun tangan kiri Meli yang lemas menyentuh daun-daun putri malu yang masih tegak.
Pelan dan pasti dia membimbing tangan Meli menyentuh daun-daun itu. Daun putri malu pun bergerak, menelungkup pelan. Bu Har memindah tangan kiri Meli ke tangkai berikutnya, lebih cepat, dan putri malu menelungkup lebih cepat, menyentuhkannya lebih cepat lagi, dan putri malu juga menelungkup lebih cepat.
Mereka tertawa bersama.
“Ayo, Bu Har, lagi,” kata Meli suka cita.
Tangan kiri Meli terangkat pelan. Meli berdegup. Dia bisa mengangkat tangannya. Walaupun sangat pelan. Tangan yang sudah setahun ini mati rasa. Seperti hatinya. Meli mencoba lagi. Kali ini tangannya terasa ringan, menyentuh pelan daun putri malu yang masih tegak, daun-daun itu pun langsung menelungkup berirama terkena sentuhannya. Meli terenyak, ada tangan kuat dan kukuh yang memegang tangan kirinya. Dan itu bukan tangan Bu Har.
“Sebuah terapi yang indah,” sebuah suara berat terasa begitu dekat di sampingnya.
Meli terenyak. Di samping ia duduk, ada wajah yang akhir-akhir ini muncul di mimpinya. Yang berusaha ia tepis mati-matian. Yang ia lawan sungguh-sungguh rasa itu. Karena ia tahu hatinya telah mati, seperti separuh tubuhnya.
“Kenapa tak bilang jika pindah di kota ini? Tiga pekan jadwal fisioterapi aku nanti, tapi tak ada kabar apa pun.”
Lelaki itu, dokter yang merawatnya setahun ini. Yang seperti sudah ia kenal betul. Yang muncul di hatinya dan separuh tubuhnya yang baginya sudah mati.
“Maaf, belum sempat berkabar. Baru tiga pekan di kota ini,” jawab Meli berdebar.
“Kota tanpa hari Minggu,” Dokter Burhan tersenyum.
Meli mengangguk. Matanya menunduk, persis daun putri malu yang terkena sentuhannya tadi.
“Aku mencarimu, Meli, aku mencarimu. Tak tahukah kau?” suara lelaki itu berdegup, sangat dekat di gendang telinga Meli. ”Kau tak menghindari fisioterapiku. Tapi kau menghindari aku bukan?”
Meli menunduk. Makin mirip daun putri malu.
Dokter Burhan menatap daun-daun putri malu di depan mereka. Dia ambil tangan kiri Meli, dia genggam lembut. Dia sentuhkan kembali ke daun-daun itu, yang dengan lembut mengatupkan diri.
“Lihat daun putri malu ini, Meli. Daun putri malu mengatup ketika disentuh. Peristiwa ini menunjukkan jika makhluk hidup peka terhadap sentuhan. Seperti inilah hatiku kepadamu, Meli. Hatiku tersentuh sejak pertama melihatmu. Aku pikir kita sama. Aku juga kehilangan istriku pada sebuah hari Minggu. Kecelakaan pada hari Minggu itu membuatku juga teramat membenci hari Minggu. Kita sama, Meli. Kita sama…,” lelaki itu tergugu.
Meli tersenyum. “Kalau tak salah, sentuhan yang bisa merangsang daun putri malu ini disebut gerak tropisme. Gerak bagian tumbuhan karena rangsang dari luar yang arah geraknya dipengaruhi oleh kedatangan rangsang.”
“Dan aku yakin, kau juga merasakan itu. Dengar, Meli. Separuh tubuhmu saat ini bolehlah mati rasa. Tapi aku yakin tidak dengan hatimu. Aku tahu, hatimu juga sudah tersentuh oleh hatiku, seperti daun putri malu ini.” Dokter Burhan lalu menarik lembut tangan kiri Meli, membawanya menyentuh bunga putri malu yang berwarna merah muda.
“Kau pernah bercerita padaku tentang kesukaanmu pada tumbuhan putri malu, dan juga bunganya ini kan? Pada saat matahari tenggelam, bunga akan menutup seakan layu dan mati, tapi jika terkena sinar matahari lagi bunga itu akan kembali mekar. Aku dan kamu sama, Meli. Kita berdua bunga putri malu ini, dan sekaligus kita berdua adalah matahari itu. Ayolah, jangan bohongi dirimu, Meli, jangan matikan rasamu. Maukah kau menikah denganku, Meli, pada hari Minggu depan?”
Meli menghela napas panjang. Menggeleng kuat-kuat. Tangannya mengajak tangan Dokter Burhan yang masih menggenggamnya menyentuh daun putri malu dengan lembut.
“Aku tak mau menikah pada hari Minggu, sebab tak ada hari Minggu di kota ini,” jawab Meli bergetar.
Dokter Burhan menunduk, mengatupkan mata. Persis seperti daun putri malu yang tersentuh oleh tangan mereka berdua. Lalu dia angkat wajahnya tegak, seperti bunga putri malu yang telah terkena sinar matahari.
“Baiklah, kita menikah pekan depan. Pada hari sesudah Sabtu, dan sebelum Senin.”
Tangan mereka masih bergenggaman. Menyentuh satu demi satu daun putri malu yang masih sangat banyak di halaman rumah Meli.
Kudus, 7 Januari 2021
Pipiek Isfianti lahir di Semarang, 19 Oktober 1973. Karyanya terangkum dalam antologi puisi Perempuan Menanak Sajak (Taman Budaya Jawa Tengah, 2019), buku kumpulan cerpen Kebangsaan: Ini Bangsa Juga Punya Saya (BBJT, 2019), kumpulan cerita anak Sahabat dari Luar Angkasa (2018), antologi cerita anak Cermin Cahaya (BBJT, 2018), kumpulan cerpen Janji Sri (2017), Tangan mereka antologi cerpen Kisah-kisah Kota Lama Semarang (Forwakot 2018), antologi puisi Perempuan Mengasah Kata (TBJT, 2017), antalogi puisi Bermula dari Al Quds (2017), Bayang-bayang Menara (2016), antologi puisi Membaca Jepara (DKJ 2015), Inspirasi Untaian Nama Bayi (IIDN 2014), antologi puisi Penyair Indonesia Kartini (2012), antologi cerpen remaja 4 Bola Salju di Hati Ibu (Yayasan Obor Indonesia), Aku Mampu Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMA dan MA Kelas X (Kemendiknas), antologi puisi Habis Gelap Terbitlah Sajak (Forum Sastra Surakarta 2013), antologi cerpen Mastera Se-AsiaTenggara Dari Pemburu ke Terapeutik (Kemendiknas 2005), antologi cerpen remaja April Mop Suara Merdeka Grup, cerita bersambung Five Girls di Tabloid Remaja Tren Suara Merdeka, mewakili Indonesia pada ajang penulisan Mastera Cerpen Se-Asia Tenggara (2003) Pusat Bahasa Kemendiknas. April 2019 cerpennya “Daun Tebu Keemasan” meraih penghargaan sebagai pemenang I Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi ICLaw Green Pen Award 2019. November 2019, bukunya Janji Sri menerima penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah kategori kumpulan cerpen terbaik.