Dor!

Cerpen Nadjib Kartapati Z.

Kepulanganku ke Indonesia kali ini disambut Ibu dengan rasa bahagia. Bertahun-tahun kerja, aku membawa cukup uang untuk merenovasi rumah. Sejak Ayah masih hidup, rumah tak pernah dirawat karena tak ada dana. Kondisinya sudah tua dan memprihatinkan.

Ibu mengajak Atun, adikku, keluar rumah mencari tukang. Belum lima menit mereka pergi, datang seorang tamu, Kang Syafiq namanya. Tak berlebihan bila kusebut tamu istimewa. Bila posisiku sekarang dibilang ada di atas, Kang Syafiq inilah yang menyediakan anak-anak tangga tempat aku menapak. Sekian lama tidak bertemu, wajar bila aku sedikit pangling.

“Tadi aku untung-untungan saja ke sini. Ternyata Allah mempertemukan kita,” katanya setelah kuberi tahu aku pulang baru dua hari.

Kata Kang Syafiq, ia hendak ke Poso sehubungan dengan kakak perempuannya yang mau mantu. Ia sudah memegang tiket kapal laut, tetapi kapal baru tiba di Tanjung Priok empat hari lagi. Ia ingat aku dan memutuskan mampir.

“Selama nunggu kapal, menginap saja di sini!”

“Itu dia! Tuhan sedang bermurah padaku,” katanya. “Bagaimana hidup di Jeddah, Muh? Betah kamu kerja di perusahaan Ja’far?”

Alhamdulillah. Semua menyambut ramah, Kang!”

Nada bicara dan ketawa Kang Syafiq masih seperti dulu. Aku mengenalnya kala Ayah mengirimku untuk mondok di sebuah pesantren di Solo. Kang Syafiq adalah anak kampung yang rumah orang tuanya persis di sebelah pesantren yang kutempati. Usianya lima atau enam tahun di atasku.

Ia yang membimbingku baca huruf hijaiyah di luar jam pelajaran pondok. Ia juga yang membantu menjelaskan pelajaran yang kurang kupahami. Ia mengagumiku, karena dari sekian santri yang ia bimbing, akulah yang paling pintar. Aku sanggup menamatkan aliyah dengan nilai terbaik. Melihat prestasi dan kemampuanku berbahasa Arab, Kang Syafiq mendorongku supaya melanjutkan kuliah di Arab Saudi.

“Orang tuaku miskin, Kang. Mana mampu?”

“Akan kucarikan beasiswa, Muh!”

Ucapan yang kuanggap main-main itu ternyata benar. Berkat upayanya, sebuah yayasan memberiku beasiswa sekolah di Makkah sampai lulus strata satu. Dan setelah aku lulus, Kang Syafiq masih juga berperan menyediakan anak tangga yang kutapaki. Atas usahanya aku diterima kerja di perusahaan milik orang Arab di Jeddah.

Ketika kutanya dengan cara apa mesti membalas budi baiknya, ia berdoa semoga aku mampu melakukan hal yang sama kepada orang lain yang membutuhkan. Orang macam inilah yang dalam pandanganku sangat patut dicontoh. Ia berbuat kebaikan dan berharap kebaikan itu kelak bisa diunduh orang lain lagi. Dalam hati aku berjanji, tak hanya memperpanjang kebaikannya kepada orang lain, tapi juga memberikan kebaikan kepada dia. Maka tak ada alasan bagiku untuk tidak menjamunya sebaik mungkin ketika Allah membawa langkahnya ke rumahku sekarang ini.

Ibu dan Atun pulang ketika aku dan Kang Syafiq sudah selesai makan siang dan salat zuhur. Saat kukenalkan dengan Kang Syafiq, Ibu menyambut ramah. Namun Atun menatap Kang Syafiq seakan melihat hantu. Padahal, Ibu dan Atun sudah akrab dengan nama Ahmad Syafiq sebagai sosok yang berjasa dalam hidupku, meski mereka baru bertemu sekarang.

Atun langsung ngelepat masuk rumah dengan gugup. Ibu lantas menyusul dengan alasan mau membersihkan kamar buat istirahat tamunya.

“Kang Syafiq biar tidur di kamar bawah saja, Bu,” kataku.

Di lantai bawah hanya ada satu kamar kecil yang saat ini kutempati, sedangkan di lantai atas ada dua kamar yang ditempati Ibu dan Atun.

“Nanti aku di kamar Atun saja. Biar Atun sekamar dengan Ibu.”

Ibu menyetujui, dan lantas naik ke atas menyusul Atun.

Selang beberapa saat, Ibu memanggilku. Setelah menyilakan Kang Syafiq istirahat, aku ke atas menemui Ibu. Kulihat wajah Ibu dan Atun cemas dan panik.

“Kamu sadar nggak, Muh? Temanmu itu teroris yang lagi diburu polisi,” bisik Ibu.

“Ada-ada saja Ibu ini! Kata siapa?”

“Adikmu!”

Langsung aku menatap Atun.

“Ini nggak main-main, Bang!” kata Atun. “Media massa memuat fotonya. Wanted!”

Aku tersenyum enteng, meski Atun sudah meyakinkanku dengan seluruh informasi yang ia punya. Kata Atun, Densus sudah memastikan tamuku siang ini adalah otak kasus pengeboman sebuah hotel besar tahun lalu. Menurut Densus, demikian kata Atun, lelaki itu bukan bernama Ahmad Syafiq, melainkan Sirajul Ain alias Mat Kerok.

“Aku nggak percaya! Aku lebih mengenal dia ketimbang kamu, Tun. Bahkan daripada Densus sekalipun,” kataku.

Ibu hanya diam mendengarkan, tetapi tampak cukup tegang. Setelah sekian banyak penjelasannya tidak kugubris, Atun akhirnya diam.

Seusai salat magrib di masjid dekat rumah, aku mengajak Kang Syafiq mencari makan malam. Tadi Ibu ingin memasak dan menyiapkan, tetapi kucegah karena aku ingin mentraktir tamuku dengan menu favoritnya. Aku ingat Kang Syafiq menyukai sate kambing bumbu kecap atau tengkleng yang berkuah bening. Karena tak tahu tempat orang jual tengkleng, kubawa ia ke Pancoran sebab di sana ada sate lezat.

Dugaan Atun bahwa Kang Syafiq adalah teroris yang lagi diburu, makin menampakkan kejanggalan. Andaikata benar teroris yang lagi ditarget Densus, pastilah ia tak bakal bisa tenang di tempat umum. Setidaknya kilatan matanya akan menjadi tak terkendali untuk mengawasi suasana di sekeliling. Tapi ini tidak! Kang Syafiq tetap tenang, dan bahkan pancaran matanya terlihat demikian teduh.

Kayaknya Jakarta makin aman. Setidaknya dibanding tahun lalu yang masih ada aksi bom para teroris,” ucapku memancing reaksi Kang Syafiq.

“Iya. Semoga saja begitu,” jawabnya.

“Melalui TV di Jeddah aku mengikuti berita pengeboman di hotel tahun lalu yang merenggut dua nyawa itu. Waktu peristiwa itu terjadi Kang Syafiq ada di mana?”

“Di mana ya? Aku kok lupa. Maklum, aku ndak pernah tertarik pada aksi-aksi teror seperti itu,” jawabnya dingin.

Tanpa menatap wajahku, Kang Syafiq tak berhenti menikmati tusuk demi tusuk sate yang dibilang cukup enak itu. Dan aku makin yakin dugaan Atun keliru.

Selesai makan malam aku mengajaknya ke toko buku. Inilah tempat paling tepat untuk menyenangkannya. Aku tahu ia menggemari buku, dan aku menyatakan siap mentraktir untuk semua buku yang dia pilih.

“Selagi di sakuku ada uang, Kang!” kataku. “Pilih saja buku yang sampean suka.”

Mata Kang Syafiq berbinar. Ia mengangguk sambil mengucap terima kasih.

Beberapa saat kemudian ia membawa lima buku yang semua tentang Islam. Dua buku dari penulis lokal, yaitu kumpulan Hadits Qudsi dan satu buku fikih yang disusun seorang kiai dari pantai utara Jawa Tegah. Tiga buku lain terjemahan dari penulis Timur Tengah yang kukenal sebagai tokoh garis keras. Jujur, aku terkejut! Hatiku mulai waswas.

Kami tiba di rumah pukul sepuluh malam. Kupersilakan Kang Syafiq istirahat di kamar, toh tadi ia sudah menjamak salat isya. Rumah sepi. Kata Ibu, tidak seperti biasa Atun belum pulang kuliah. Ponselnya tak aktif pula. Padahal, kemarin dan kemarinnya lagi pukul delapan ia sudah di rumah.

Sejam kemudian Atun datang. Begitu ia naik ke lantai atas, aku mengunci pintu dan mamatikan lampu di ruang tamu. Aku mengetuk pintu kamar Kang Syafiq untuk memberikan semprotan antinyamuk. Tapi tiga kali ketukan dan panggilanku tak dijawab. Lampu kamar juga sudah padam. Boleh jadi ia terlalu lelap.

Selesai salat isya, kudengar dari kamarnya Ibu memanggilku lirih, dan aku menemuinya. Begitu aku masuk, Atun langsung menutup rapat-rapat pintu kamar.

“Sudah tidur temenmu?” tanya Ibu.

“Sudah!”

“Adikmu pulang telat karena ke rumah temennya Dulu. Cari koran yang memuat foto temanmu.”

“Coba deh, Bang, lihat!” kata Atun menyodorkan tiga lembar koran lama.

Astagfirullah! Bukan salah Atun bila ia meyakini Kang Syafiq adalah Sirajul Ain alias Mat Kerok. Foto di koran ini memang mirip Kang Syafiq. Mataku membenarkan, namun hatiku tetap tak yakin. Kemiripan bukan hal yang aneh dalam kehidupan.

“Sudah mau percaya kamu?” tanya Ibu.

“Tidak, Bu! Foto ini bukan Kang Syafiq! Cuma mirip!”

“Jangan mengingkari kenyataan, Muh! Kalau sampai polisi menggerebek rumah ini dan menangkap temanmu itu, kita akan tercemar! Empat hari banyak hal bisa terjadi. Kamu harus berbuat sesuatu sebelum….”

“Tidak akan pernah ada penangkapan di rumah ini!” potongku.

Atun bercerita tadi, saat dia keluar mau ke kampus, ada dua lelaki tak dikenal mondar-mandir di depan rumah. Menurut dugaan Atun, mereka adalah intel yang menyelidik. Mendengar penuturan itu Ibu tampak makin panik.

“Petugas juga manusia, Tun! Bisa saja mereka terkelabui oleh kemiripan.”

“Karena mirip itulah polisi punya alasan menggerebek rumah kita, Muh!” tetak Ibu.

Nggak semudah itu, Bu! Dan apa pun yang terjadi aku akan mencegah polisi masuk rumah ini! Selama Kang Syafiq menjadi tamuku di rumahku, selama itu pula dia menjadi tanggung jawabku.”

“Bang Muh akan mencegah petugas Densus? Yang bener, Bang! Mereka punya aturan operasional yang sah menurut hukum! Abang melawan hukum kalau melindungi teroris!”

“Jaga mulutmu, Tun! Abang tak punya teman teroris! Kang Syafiq bukan Mat Kerok!”

Melihat sikapku yang kukuh, Ibu makin cemas. Air mukanya memucat dan melukiskan kepanikan luar biasa. Bahkan kedua matanya berembun. Aku yakin sebentar lagi air mata itu akan menggelinding jatuh.

“Muhamad!” bisik Ibu dengan suara nyaris tak kedengaran. “Seumur-umur keluarga ini tidak pernah berurusan dengan polisi, apalagi soal bom. Bukankah kamu pulang buat nyenengin hati Ibu? Buat merenovasi rumah kita yang sudah lapuk ini? Tapi kenapa baru dua hari di rumah kamu sudah membuat Ibu sedih dan menangis?”

Tangis Ibu pecah. Perempuan yang melahirkanku itu sesunggukan, terasa begitu berat. Karena tangis Ibu itu, aku tertunduk dengan hati kacau.

“Abang sih! Lihat tuh Ibu!” ucap Atun memojokkanku. “Lagipula kenapa sih Abang segitunya ngebelain teman Abang?”

“Kang Syafiq bukan sekadar teman!” jelasku dengan nada rendah. “Abang bisa seperti sekarang ini berkat jasa dan budi baik dia! Sedikit pun dia nggak pernah punya pikiran buat minta balasan. Sekali ia menjadi tamu Abang, apa pantas Abang tidak melindunginya?”

“Dia teroris, Bang! Dia orang yang diburu Densus. Nggak ada gunanya melindungi!”

Astagfirullahaladzim! Atun! Dengerin ya, Tun! Dalam pewayangan ada tokoh bernama Karna, adipati dari Awangga. Demi jasa dan budi baik Raja Astina yang sudah mengangkat derajatnya dari seorang anak kusir menjadi bupati, Karna rela mati di tangan Arjuna adik kandungnya! Apa jadinya kehidupan di dunia ini kalau setiap orang boleh begitu saja melupakan jasa dan budi baik orang lain?”

“Jadi… maksudmu?”

“Abang akan melindungi, walau nyawa Abang menjadi taruhan!”

Mendengar ucapanku, Ibu meledakkan tangis lagi. Kali ini lebih keras, seakan Ibu sudah menghadapi kenyataan terburuk bahwa aku juga diringkus. Seperti biasa, tangis Ibu membuat emosi kemarahanku langsung surut. Kuraih telapak tangan Ibu dan kucium sepenuh khidmat. Aku pun pamit tidur dan keluar kamar.

Aku perlu beberapa waktu untuk menjaring kantuk. Entah pukul berapa, tak tahu persis. Namun serasa baru saja terlena aku sudah terjaga oleh azan subuh dari masjid dekat rumah.

Aku turun untuk mengajak Kang Syafiq salat subuh di masjid. Tapi kamarnya sudah kosong. Aku ke ruang tamu dan menyalakan lampu. Pintu tetap tertutup, tapi sudah tak terkunci. Aku merasa terlambat. Sejak dulu Kang Syafiq selalu hadir di masjid sebelum azan subuh dikumandangkan. Aku harus segera menyusul ke masjid sebelum salat subuh dimulai.

Baru saja memutar badan, mataku melihat lipatan kertas di atas meja. Segera kuambil dan kubuka. Ternyata surat pendek dari Kang Syafiq. Begini bunyinya.

 

“Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Muhamad yang baik hati. Maaf kalau aku nguping percakapan kalian tadi malam. Aku merasa keberadaanku di rumahmu hanya menambah beban dan masalah, tidak saja buat ibu dan adikmu tapi juga buat kamu. Maafkan, subuh ini aku secara diam-diam harus pergi tanpa pamit. Sekali lagi maafkan, aku tidak bisa menjelaskan apa-apa kepadamu. Doaku buat kamu dan keluargamu. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.”

 

Aku tertunduk, tak tahu mesti berbuat apa. Hatiku merasa bolong.

Dor!

Dari luar terdengar suara tembakan mengejutkanku. Apakah tembakan untuk melumpuhkan, atau tembakan peringatan, atau hanya anak bermain mercon, tidak jelas. Dan meskipun tak jelas apa yang terjadi, lututku tiba-tiba gemetar. Seluruh tenaga yang kupunya seakan terlucuti dari tubuhku. 

 

Nadjib Kertapati Z lahir di Pati, 21 Agustus 1954, menulis novel dan cerita pendek yang dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah. Dia juga menulis skenario film. Menerima penghargaan berupa, antara lain, Piala Vidia 1998, juara penulisan cerpen Majalah Pertiwi dan skenario film televisi terpuji Festival Film Bandung.

Tinggalkan Balasan