Semasa SMP Saya Terpikat pada Puisi Mantra Datuk Sutardji Calzoum Bachri

Achiar M. Permana.

*Tulisan merupakan hasil wawancara antara Ery A.K. dan Achiar M. Permana.

 

Alih-alih sebagai penyair, Achiar M. Permana selama ini lebih dikenal sebagai wartawan. Dia memang sudah cukup lama malang melintang di dunia kewartawanan, terutama sejak bergabung dengan Suara Merdeka dan kemudian Tribun Jateng (Kompas Gramedia Group), tempatnya kini berkhidmat. Sebagai penulis, dia memiliki gaya khas, yang antara lain terekam dalam kumpulan esai Dusta Yudistira (2018). Nama Achiar seperti tiba-tiba mencuat sebagai penyair, setelah antologi puisinya Sepasang Amandava terpilih sebagai antologi puisi terbaik Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT). Mulai kapan dia menulis puisi? Bagaimana proses kreatif yang dijalaninya? Siapa yang menjadi inspirasinya? Berikut ini perbincangan Karas dengan Achiar M. Permana, beberapa waktu lalu.

 

Selamat ya, atas peluncuran antologi puisi Sepasang Amandava? Kok baru diluncurkan sekarang?

Terima kasih. Itu kan sebenarnya peluncuran yang tertunda. Sepasang Amandava sesungguhnya memang terbit pada Desember 2019. Yang baru saja saya luncurkan, pada 24 April 2021 lalu, merupakan cetakan kedua. Kok bisa begitu? Ceritanya begini. Saat terbit pada akhir 2019, Sepasang Amandava hadir dalam jumlah yang amat terbatas. Bahkan dalam “Prolog” cetakan pertama itu, saya tuliskan: “Bagi saya, sederhana saja, buku ini adalah rekaman bahwa proses kepenyairan— halah—terus berjalan.” Sesederhana itu. Nah, kalau ditilik dari jumlah eksemplar, Sepasang Amandava dicetak jauh lebih sedikit daripada Dusta Yudistira, kumpulan esai saya yang terbit setahun sebelumnya. Juga jauh lebih sedikit dari Stola Hijau Toska (2006), antologi puisi kedua yang sekaligus mahar pernikahan saya, yang terbit 15 tahun sebelumnya. Nah, nasib kurang baik Sepasang Amandava semakin menjadi lantaran pandemi Covid-19, yang masuk-merangsek ke Indonesia, sejak Maret 2020, juga menjadi kendala proses distribusi dan juga diseminasi atas antologi ini. Saat itu, sama sekali tidak sempat ada peluncuran, bedah buku, atau semacamnya. Kita tahu sendiri kan, pada saat itu orang-orang sedang didera ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa pada makhluk tak kasat mata yang bernama corona.

 

Tapi kan kemudian justru hadir berkah, Sepasang Amandava meraih penghargaan Prasidatama 2020?

Penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) itu sebenarnya tidak pernah saya duga, juga tidak pernah saya persiapkan. Namun, saya percaya betul, setiap buku bakal menemu takdirnya sendiri. Saya ingat, Tubagus V Svarajati, penulis buku Pecinan Semarang dan Dar- Der-Dor Kota (2016), pernah menyatakan bahwa setiap buku menggendong nasibnya sendiri. Saat Sepasang Amandava terbit pada pengujung 2019, saya sama sekali tidak menaruh ekspektasi lebih. Apalagi kok sampai membayangkan bakal mendapatkan Prasidatama sebagai antologi puisi terbaik. Kalau mengutip petikan dialog tokoh Gracchus dalam lakon The Hunter Gracchus, yang dikembangkan dari cerpen Franz Kafka: “Itu lebih dari yang bisa saya bayangkan, lebih jauh dari yang bisa saya tempuh.” Oya, lakon itu pernah saya mainkan semasa aktif di Teater SS IKIP Semarang, kini Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sepasang Amandava diterbitkan Dadeeara Book, penerbitan indie yang saya rintis. Dalam proses penerbitan kumpulan puisi itu, saya bekerja sama dengan Cipta Prima Nusantara, penerbit yang dikelola Mujiana Abdulkadir, kawan lama saya. Pengalaman Kadir di dunia penerbitan buku, saya kira, sangat berkontribusi pada kehadiran buku yang memadai dari sisi kualitas. Saya yakin soal itu. Dan keyakinan saya terbukti, pada Prasidatama 2020, Cipta Prima Nusantara meraih dua penghargaan. Selain Sepasang Amandava, peraih Prasidatama untuk kategori novel juga terbitan Kadir, yakni novel Gandayoni, yang ditulis Saroni Asikin. Jon Roni, sapaan akrab Saroni, tak lain kawan lama dan mentor saya dalam menulis. Satu lagi, buku terbitan Cipta Prima Nusantara, yakni novel Dendam karya Gunawan Budi Susanto, juga guru saya yang lain lagi, menjadi nominee untuk kategori novel. Nah, tahun ini, Cipta Prima Nusantara berpeluang mengulang kesuksesan itu. Setidaknya dua buku menjadi nomine pada dua kategori Prasidatama 2021. Yang pertama, novel Ipung 5 karya mendiang Prie GS, satunya lagi kumpulan gurit Mecaki Wektu karya Sriyanti S Sastroprayitno. Untuk novel Mas Prie, saya merasa beruntung, karena kebetulan ketiban sampur menjadi penyuntingnya.

Mumpung Sepasang Amandava menang Prasidatama, lalu dibikin cetakan keduanya?

Sebenarnya tidak persis seperti itu, meskipun tetap berkait paut dengan Prasidatama. Setelah Sepasang Amandava mendapatkan Prasidatama, banyak kawan yang menghubungi lewat jalur pribadi (japri) dengan bunyi senada: “Kirimi bukumu, Bro.” Mungkin mereka ingin tahu, jan- jane buku puisine Achiar apik tenan ora sih? Layak mendapatkan Prasidatama tidak? Ha- ha-ha. Nah, permintaan kawan-kawan itu membuat saya kelimpungan. Bayangkan, stok Sepasang Amandava di rumah, juga di penerbit, hanya tersisa beberapa eksemplar. Tidak mungkin memenuhi permintaan banyak kawan itu. Setelah berembuk dengan Kadir, owner cum pengelola penerbit Cipta Prima Nusantara, solusi pun ketemu. Cetak ulang. Untung ada Kadir. Ha-ha- ha.

 

Apa yang baru dalam cetakan kedua Sepasang Amandava? Adakah puisi-puisi baru? Semula, saya hendak menyisipkan sejumlah puisi tambahan, yakni puisi-puisi saya yang lahir pada periode 2020- 2021, sesudah Sepasang Amandava dicetak. Akan tetapi, setelah menimbang banyak hal, rencana itu saya urungkan. Biarlah kawan- kawan melihat puisi-puisi yang seperti cetakan pertamanya, tanpa tambahan apa pun. Satu hal yang tidak terdapat pada cetakan pertama, pada Sepasang Amandava cetakan kedua, ini juga terdapat pada catatan pengiring Jimat Kalimasada, seorang guru cum penyair dari Kudus. Dia kawan lama, yang banyak memberi pengaruh—positif, tentu saja—pada proses kepenyairan saya. Sebenarnya, saya sudah meminta kepada Jimat untuk menuliskan catatan untuk cetakan pertama. Namun, barangkali karena kesibukan yang mendera, harapan saya itu tidak terealisasi. Baru pada edisi kedua ini, catatan penulis antologi cerpen Bom di Ruang Keluarga (2010) dan antologi puisi Marilah Bicara Sejenak (2020) bisa hadir. Saya sih berharap, catatan Jimat, teman selapik seketiduran semasa kuliah di IKIP Semarang itu bisa memberi sedikit gambaran atas perjalanan saya bergelut dengan puisi. Yang pasti, dan itu tidak bisa saya selaki, catatan penulis yang kini bergiat di Keluarga Penulis Kudus (KPK) itu membuat buku ini terasa lebih berkualitas.

 

Kalau melihat Sepasang Amandava, yang berisi lebih dari seratus puisi, rupanya Anda terbilang produktif dalam menulis puisi?

Jujur saja, sebagai penulis, dan terutama penyair, saya sangat jauh dari produktif. Bahkan cenderung malas. Ha- ha-ha. Dalam kurun waktu 25 tahun, terhitung sejak agak percaya diri “memamerkan” karya puisi, saya menulis kurang dari 200 puisi. Sepasang Amandava memuat hanya 104 puisi, yang saya tulis dalam rentang waktu 19 tahun, 2000-2019. Itu juga sudah termasuk beberapa puisi dari dua kumpulan puisi saya sebelumnya, Bulan Tilem Langit Jelaga dan Stola Hijau Toska. Mengapa saya sertakan? Karena kedua buku itu hadir dalam jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga, saya merasa, banyak orang yang belum membaca puisi saya. Padahal mestinya kalau sebulan satu puisi saja, tak kurang dari 300 puisi yang bisa saya buat. Apalagi kalau seminggu satu puisi. Apalagi kalau sehari satu puisi, one day one poem. Singkatnya, dalam soal produktivitas, saya sama sekali bukan teladan yang baik. Ha- ha-ha. Padahal saya termasuk orang yang tidak menganggap bahwa menulis puisi itu susah. Bisa jadi saya terpengaruh Arswendo Atmowiloto, yang menulis buku Mengarang Itu Gampang (1997). Ya, mudah- mudahan ini bukan wujud kesombongan. Bagi saya, menulis puisi itu gampang. Bahkan, ada masa, saya menulis sepuluh puisi dalam sekali duduk. Kalau soal ini, Jimat Kalimasada punya andil. Pada suatu ketika, dia mengatakan: “Menulis puisi itu semudah (maaf) berak.”

 

yang jelas, proses dalam menulis sudah sangat ‘kan?

Panjang banget sih Masih banyak lain, yang di saya saja, yang lebih panjang Proses kepenyairan Timur Sinar saya kira, berkali lipat lebih panjang daripada saya. Begitu juga Mas Beno Siang Pamungkas atau Pak Haji TT, Mas Triyanto Triwikromo. Saya masih anak ingusan di Teater SS, kelompok teater di IKIP Semarang, ketika pada tahun 1993 Mas Beno dan Mas TT terlibat dalam gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP). Saya hanya bisa ndomblong melihat para senior saya itu, juga Mas Wijang Wharek Almauti dari Solo atau Mas Kusprihyanto Namma dari Ngawi, membacakan puisi-puisi mereka di Gedung Karya Graha Mahasiswa (KGM), di kampus IKIP Kelud, dalam acara RSP saat itu. Kalau ditarik agak mundur, saya mulai berkenalan dengan sastra, lebih-lebih puisi, dalam wujud syiir, dari guru-guru madrasah ibtidaiah di kampung, di Pati. Nyaris setiap pelajaran di sekolah sore, demikian kami menyebut madrasah, hadir dalam wujud syiiran, nadhaman. Hampir semua, mulai dari nahwu, sharaf, fikih, akhlak, hingga sejarah nabi atau sirah nabawiah. Ada salah satu syiir yang melekat sampai kini. “//Ngawiti nulis/ maca bismillah/ sekabeh puji mring Gusti Allah/ salawat salam denaturake/ marang Njeng Nabi lan kluwargane….//” Kecintaan pada syiiritu makin subur lantaran saya tinggal di kampung, yang kental ritual ala nahdliyyin. Warga kampung saya selalu mengumandangkan puji- pujian, yang berwujud syiir, selepas azan. Salah satunya, syiir “Eling- eling Sira Menungsa” anggitan Almagfurlah K.H. Ali Maksum (Krapyak), yang kerap hadir lewat pelantang masjid atau musala. Kadang- kadang juga syiir “Tamba Ati” karya Sunan Bonang, yang pernah dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib bersama Kiai Kanjeng serta penyanyi religi Opick.

 

Lalu mulai kapan menulis puisi?

Kalau lebih khusus berkenalan dengan puisi, saya kira, itu terjadi semasa SMP, pada 1987. Semasa saya berusia 12 atau 13 tahun. Sekira 34 tahun silam. Ceritanya begini. Semasa kelas 1 SMP, di Pati, atas ajakan guru musik yang juga sutradara pertama saya, mendiang Sunoto Mohamad, saya mulai berkenalan dengan teater. Jadi, saya lebih dulu mengenal teater ketimbang puisi. Setidaknya, saya bertemu puisi yang menggetarkan dalam latihan teater saat SMP itu. Walaupun sebelumnya, seperti kebanyakan anak-anak di Indonesia, sebenarnya saya telah diperkenalkan pada puisi. Lewat buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saya tentu tahu puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar, “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bachtiar, atau “Karangan Bunga” karya Taufik Ismail, yang memang terdapat dalam buku pelajaran. Namun, saat itu saya belum tergerak untuk menulis puisi. Baru ketika bertemu puisi aneh, “Shang Hai” karya Sutardji Calzoum Bachri, hati saya justru tergetar. Puisi itu menjadi salah satu materi latihan drama, yang di kemudian hari saya kenal sebagai teater, semasa SMP. Sebagai bocah SMP, saat itu saya tentu tidak paham maksud puisi Datuk SCB tersebut. Akan tetapi, bunyi-bunyi “ping bilang pong/ pong bilang ping…” dalam puisi—yang semasa kuliah baru saya ketahui sebagai puisi kontemporer—itu, bagi saya, sangat menarik. Seperti main-main, tetapi terdengar mistis. Dari puisi SCB, saya tertarik ke puisi-puisi mantra yang lain, yang agak aneh untuk anak usia SMP, yakni puisi- puisi Hamid Jabbar dan Ibrahim Sattah. Saya, ketika itu, tidak bisa menyembunyikan keterpukauan pada, “// kuku karang kuku kau kuku laut kuku kau/ kuku ombak kuku cahaya…/” Belakangan, saya kurang tahu persis penyebabnya, minat saya pada puisi-puisi mantra mengendur. Saya lebih terpikat pada penyair-penyair balada, seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, atau Joko Pinurbo. Dari puisi-puisi mantra SCB, Hamid Jabbar, atau Ibrahim Sattah itu, kemudian saya terangsang untuk menulis puisi. Saya biasa menulis pada sobekan kertas, halaman belakang buku catatan, atau apa saja. Hingga SMA, aktivitas menulis semacam puisi itu berlangsung. Sayang, coretan-coretan itu tidak terdokumentasi secara baik. Baru ketika kuliah dan kemudian tergabung dalam teater kampus, Teater SS, puisi-puisi saya relatif lebih tertata. Terutama dalam soal pendokumentasian. Saya memiliki notes atau buku khusus untuk menulis puisi. Seiring waktu, setelah bergabung di teater kampus, saya juga relatif lebih percaya diri untuk membacakan puisi.

 

Sampai saat ini sudah berapa kumpulan puisi yang Anda tulis?

Termasuk Sepasang Amandava, saya telah menulis tiga kumpulan puisi tunggal. Dua buku lainnya, yakni Bulan Tilem Langit Jelaga (2003) dan Stola Hijau Toska (2006). Buku puisi yang kedua itu saya niatkan sebagai mahar pernikahan saya pada 2006. Soal itu sempat disinggung oleh Jimat Kalimasada dalam catatan pengiring Sepasang Amandava cetakan kedua. Kata Jimat, ”Achiar adalah satu-satunya teman yang saya kenal yang berani memutuskan untuk memberi mahar sebuah antologi puisi Stola Hijau Toska kepada Yani pada perkawinannya tahun 2006, padahal saat itu dia belum dikenal sebagai penyair. Komentar saya waktu itu: Achiar jian kemaki banget.” Ya, bahkan hingga menerbitkan buku puisi kedua, saya sama sekali belum dikenal sebagai penyair. Ha-ha-ha. Selain buku puisi tunggal, saya pernah terlibat dalam sejumlah antologi puisi keroyokan. Pada 2010, saya menulis Bubrah: Antologi Puisi Empat Jurnalis, bersama Edhie Prayitno Ige, Slamet Priyatin, dan Abbas Effendy. Kira-kira tiga tahun sebelum itu, kami sempat berkeliling, menggelar roadshow, baca puisi di sejumlah kampus dan komunitas. Saat itu, kami mengusung tajuk “Jurnalis Baca Puisi”. Kenapa? Ya, karena memang tidak dikenal sebagai penyair. Pada 2012, saya urun puisi untuk antologi Dari Sragen Memandang Indonesia terbitan Dewan Kesenian Kabupaten Sragen (DKKS), Syair Hijau (2014) terbitan Universitas Negeri Semarang, dan juga Sesapa Mesra Selinting Cinta (2019), yang menjadi bagian dari Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI 2019 di Kudus. Puisi-puisi saya juga masuk dalam Membaca Asap (2019) terbitan Rumah Sunting Pekanbaru, Jazirah II Segara Sakti Rantau Bertuah (2019) sebagai bagian dari Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB), dan Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah ke Pangkal (2019) terbitan Forum Pegiat Literasi Pasaman. Selain itu, saya juga menulis untuk antologi puisi Mahligai Penyair Titi Payung (2020) terbitan Komunitas Sastra Binjai (Kosambi), Angin, Ombak, dan Gemuruh Rindu (2020) untuk FSIGB 2020, Gambang Semarang: Antologi Puisi Semarangan (2020), dan beberapa antologi lain.

 

Apa saja yang bisa menjadi ide puisi Anda?

Sebetulnya apa saja bisa menjadi ide puisi. Menurut saya, seorang penyair sebaiknya menulis hal yang dekat dengannya. Apa yang paling dekat dengan kita? Tentu saja diri kita sendiri. Pengalaman merupakan sumber ide yang tidak habis-habis. Yang menarik, setiap orang otoritatif atas pengalamannya. Tidak ada seorang pun yang berhak menyalahkan pengalaman orang lain. Yang kedua, pengetahuan juga bisa menjadi sumber ide. Setiap informasi yang kita asup merupakan bahan untuk menulis, termasuk menulis puisi. Seseorang yang menulis dengan lambaran pengetahuan, punya peluang yang sangat besar untuk meyakinkan pembacanya. Berikutnya, minat pada sesuatu juga bisa menjadi bahan tulisan yang menarik, termasuk untuk membuat puisi. Saya memiliki minat yang cukup besar terhadap cerita wayang. Hal itu berangkat dari kesukaan menonton wayang semasa kecil, pada acara sedekah bumi atau kabumi di kampung. Minat itu, sejauh ini, tetap terpiara secara baik. Wayang, entah wiracarita Mahabarata atau Ramayana, acapkali menjadi sumber gagasan bagi saya dalam menulis. Bukan hanya puisi. Kumpulan esai saya, Dusta Yudistira, juga menggunakan cerita wayang sebagai gagasan atau bahkan pisau analisis untuk merespons fenomena kekinian. Sejak saya mulai belajar menulis hingga hari ini, entah sudah berapa puluh puisi yang berangkat atau setidaknya mambu- mambu cerita wayang. Mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan tokoh wayang yang hadir dalam puisi-puisi saya, mulai dari para kerabat Pandawa yang populer hingga Batara Antaga atau Begawan Palasara yang hanya diketahui sebagian orang. Puisi “Kisah Sepasang Amandava”, yang kemudian menjadi judul antologi puisi Sepasang Amandava ini juga bertolak pada jagat pewayangan, yakni lakon Palasara Rabi. Di luar pengalaman, pengetahuan, dan minat, ada juga puisi saya yang bertolak dari observasi atau pengamatan pada fenomena sekitar. Ini sejalan dengan salah satu definisi, yang menyebut puisi adalah tanggapan penyair pada fenomena di sekitarnya. Ada pula puisi yang berlandas pada studi pustaka atau literatur.

 

Oya, sejak beberapa waktu lalu Anda menginisiasi kelas menulis puisi? Apa yang melatarinya?

Benar, sejak kira-kira tiga bulan silam, saya memang membuka kelas menulis puisi. Kelas itu berlangsung secara luring terbatas di Kedai Kopi Kang Putu, Gebyok, Gunungpati, Kota Semarang. Sebenarnya, gagasan untuk membuat kelas menulis puisi muncul sudah cukup lama. Kebetulan, kedai milik Gunawan Budi Susanto, redaktur di Suara Merdeka yang juga cerpenis dan novelis, itu memang lekat dengan atmosfer literasi. Saya juga pernah membuat kelas menulis esai di kedai yang sama. Lalu, pada perbincangan ngalor- ngidul sembari ngopi, muncullah gagasan untuk membuat kelas menulis puisi. Tepatnya, menghidupkan, karena sebelumnya pernah juga ada kelas serupa. Pada awalnya, saya hanya ingin berbagi sedikit pengetahuan dan pengalaman dalam menulis puisi. Secara teknis. Untuk penulis awam. Ancangan saya, agar kelas berlangsung efektif, peserta cukup lima-enam orang saja. Tidak saya sangka tak saya duga, pendaftar membeludak. Tercatat tak kurang dari 18 orang menyatakan siap bergabung. Walhasil, mengingat situasi pandemi Covid-19 belum benar- benar tertuntaskan, kelas pun dibagi menjadi dua, supaya tidak menghadirkan kerumunan. Pertemuan berlangsung setiap Rabu dan Jumat, untuk kelas yang berbeda, masing- masing dengan sembilan peserta. Yang juga di luar dugaan saya, ada sejumlah orang yang sebenarnya adalah guru- guru saya dalam puisi, mendaftarkan diri ke kelas menulis itu. Sebagai peserta. Padahal, sungguh, mereka jauh lebih penyair daripada saya. Puisi mereka jauh lebih bagus daripada saya. Bagaimana mungkin saya mengajari Beno Siang Pamungkas atau Timur Sinar Suprabana menulis puisi. Itu sama halnya mengajari bebek berenang atau mengajari burung terbang. Tapi proses berjalan, kelas berlangsung. Nyatanya, Mas Beno dan Mas Timur komit pada pernyataan mereka untuk terlibat dalam kelas. Mereka tertib datang dan juga nyaris tidak pernah absen dalam pengumpulan tugas. Seperti peserta kelas lainnya. Blessing in disguise, saya rasakan, kehadiran penyair berjam terbang macam Mas Beno dan Mas Timur memberi suntikan semangat bagi kawan-kawan lain. Disadari atau tidak, ini yang saya syukuri, kehadiran kedua penyair papan atas Jawa Tengah itu mempercepat proses kawan-kawan lain dalam menulis puisi.

Apa yang menjadi sikap Anda berkait dengan puisi?

Yang terpenting, bagi saya, karya sastra tidak boleh hidup di ruang hampa. Pun halnya puisi. Ia mesti tumbuh dan berakar pada lingkungan sekelilingnya. Dulce et utile, kata Horatius. Karya sastra mestilah indah dan berguna. Bagi saya, tidak ada karya sastra demi karya sastra ansich. Tidak ada puisi demi puisi. Karya sastra, juga puisi, harus memberi manfaat. Sesedikit apa pun. Kalau cuma indah, tapi tidak berguna, untuk apa juga? (*)

 

Achiar M. Permana lahir di Pati, pada 17 September 1974. Sehari- hari dia berkhidmat di Tribun Jateng (Kompas Gramedia Group) sebagai wartawan. Dari tangan alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini telah lahir tiga kumpulan puisi, yakni Bulan Tilem Langit Jelaga (2003), Stola Hijau Toska (2006), dan Sepasang Amandava (2019). Kumpulan puisi ketiga itu mengantarnya pada penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) kategori antologi puisi terbaik. Selain antologi puisi, Achiar juga menulis buku Dusta Yudistira: Awas, Hoax Bertakhta di Media Kita! (2018), kumpulan esai tentang media, keberagaman, dan hal- hal lainnya. Belakangan dia asyik dengan “mainan baru”, sebuah siniar atau podcast: SUARACHIAR. Unggahan pertamanya dalam siniar itu pun tak jauh-jauh dari puisi, yakni konten bertajuk “#bacapuisidirumahaja”. (*)

Tinggalkan Balasan