Puisi Wijang Wharèk Al Ma’uti

PERIHAL KENANGAN

: sunting -upita agustin dan yvonne de fretes

 

kenangan adalah ibu

yang menyimpan rahim

tempat segala rindu

dan cinta bermukim

 

sebagai ibu, ia tak pernah

mengajarkan menanam tajam

pada bilah belati untuk merajam

apalagi mengasah dengan amarah

untuk menghunjam dan melukai

mengoyak atau pun menguliti

 

sebagai ibu, ia akan selalu

menjaga lidahmu

dari setiap kata yang tidak perlu

agar suara mampu meredam nafsu

 

sebagai ibu, ia senantiasa

memelihara segala peristiwa

merawat waktu dan ingatan

agar kelak sejarah tak kaulupakan

 

kenangan itu, ya, kenangan itu

seperti puisi haru

yang dituliskan sang empu

ia akan abadi

untukmu sesekali singgah menziarahi

 

– pdgbkldlg, 19952017

 

IMAJINASI SENTANI

: “di sini kami tinggal dengan damai” (missionaris BL Bin, 1898)

 

dari legenda kisah naga

orang-orang papua nugini purba

tersesat di antara 21 gugusan pulau

dipeluk pegunungan cycloops yang memukau

 

sungai-sungai seperti djaifuri

belo atau pun flafouw tak pernah mati

mengalir ke hilir bersama 34 mata air

dalam iklim tropis basah yang selalu mencair

 

ini negeri muara segala mimpi

serupa surga kecil yang turun ke bumi

berpagar jajar pohon kayu putih

matoa dan pinang merah merona

bagai lipstick memulas bibir dara

penuh pesona membuat terkesima

 

sementara di yougwa

resto di tepiannya

juice terong belanda

ikan gabus kuah asam

berpilih papeda

merayakan perjamuan

 

sepertiku, kau pun akan memandang

wajah kenangan mengambang bergoyangan

berenangan di atas permukaan

serupa lingkaran-lingkaran kerinduan

yang berjatuhan dari ranting dan dedaunan

 

di sana, di danau sentani

kita akan damai menghuni

 

– papuadlg, 03062016

ANALOGI CINTA

dengan apalagi mesti

mengungkap cinta sejati

sedang kisah sultan iskandar muda

dan putroe phang putri khamalia

dari pahang negeri seberang

telah lama memprasasti

bagai bunga putih mekar berseri

menjadi gunongan taman sari

tempat menyepi

dan menghibur diri

ketika kangen perbukitan asri

 

dengan apalagi mesti

mewujudkan cinta abadi

sedang kisah taj mahal di agra uttar pradesh

persembahan kaisar mughal shah jahan

untuk isteri persianya arjumand banu begum

telah tegak berdiri

atau prasat hin phimal

pun sudah menjadi bukti

cinta pangeran prajitt buat orapima

isteri yang dipersunting sejak dalam kandungan

 

dengan apalagi mesti

mengucapkan cinta suci

sedang kata-kata telah terpatri

di stratford castle, durban

true love is a durable fire…

never sick, never old, never dead…

demikianlah sir walter raleigh

menuliskannya begitu indah

 

ya, dengan apalagikah, kekasih

mesti kupersembahkan mahar

untuk kita dapat duduk di pelaminan

atau cukup dengan sehimpun puisi

dariku si pejalan sunyi?

 

– acehdlg, 19972017

TANAH AIR

ini tanah air kita

bukan serupa kota yang dikutuk

seperti sodom dan gomorah

yang kemudian musnah

oleh hujan belerang dan api

 

ini tanah air kita, sayang

bukan laksana negeri berhampar gurun pasir

padang-padang cadas berudara kering

tempat dahulu burung-burung ababil

melemparkan kerikil-kerikil bara dari langit

ke pasukan gajah abrahah

bukan pula seperti negeri nuh yang jauh

dan pernah tenggelam tersebab prahara bah

empat puluh hari empat puluh malam

 

bukan, sayang!

 

tapi ini tanah air kita sendiri

negeri warisan leluhur yang subur

untuk menebar dan menyemai benih cinta

pun menanam pohon kasih di rahimnya

 

sebab itu

jangan biarkan

orang-orang menabur kebencian

atas nama prasangka dan keyakinan buta

jangan biarkan

lidah mereka memelihara dusta

mencela dan menista demi nafsu berkuasa

jangan biarkan

tangan-tangan kotor mereka

menabuh genderang perang dan menghunus pedang

untuk sengaja meluka

 

jangan, sayang!

 

sungguh, ini tanah air kita

bukan bayang-bayang

negeri seberang!

 

– dlg, 08112016

‘AINUN

aku akan datang, ‘ainun

bukakanlah pintu untukku

sebab dari sekian waktu

telah kuperam segala rindu

 

berpuluh purnama

aku terjaga

menanti senja

tanpa jeda

 

aku segera tiba, ‘ainun

kuakkanlah daun jendela

untuk kita bisa saling sua

bertukar hawa cinta

yang sempat tertahan

sejak mula kepergian

 

musim demi musim

kulewati dengan tintrim

dan kesendirian

adalah sunyi menyakitkan

yang selalu melahirkan

kangen tak bertepian

 

aku telah sampai, ‘ainun

di tubir kubur jalan penghabisan

mari, rentangkan tangan

untuk kita berpelukdepakan

mungkin seperti romeo juliet

atau kisah rara mendut dan pranacitra

 

aku sudah diujung waktu

menenun kafan kesunyian

menuju rumah tanpa cahaya

meninggalkan segala yang tampak fana

tapi tidak untuk cinta dan rinduku

padamu, padamu, ‘ainun

 

– dlg, 130920192020

 

Wijang Wharèk Al-Mau’ti, lahir di Demak, 5 September 1964. Menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Filsafat UNS, Solo (1992). Pernah aktif di dunia teater dan kini cukup intens menekuni dunia sastra. Ia menjadi salah satu penggerak gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (1993).

Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media massa cetak  dan terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama, seperti Panorama Dunia Keranda (Solo, 1991), Kicau kepodang 2 (Solo, 1993), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Solo, 1995), Puisi (Antologi Puisi Penyair se Sumatera, Jambi, 1996), Dari Bumi Lada (Temu Penyair Sumatera, Jawa dan Bali; Dewan Kesenian Lampung, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta; Balai Pustaka, 1996), Puisi-Puisi Dari Pulau Andalas (TB Lampung, 1999), Tanah Pilih (Temu Sastrawan Indonesia I; Jambi, 2008), Mengucap Sungai (Temu Budaya Nasional, TB Riau, 2010), Percakapan Lingua Faranca (Temu Sastrawan Indonesia III; Tanjungpinang, 2010), Puisi Menetas di Kaki Monas (Temu Sastrawan MPU IX, Jakarta, 2014), Tonggak Tegak Toleransi (Temu Sastrawan MPU X, Kupang NTT, 2015), dan Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Ia pernah diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta dalam acara ”Mengenang Kriapur dan Ibrahim Sattah” (1988) dan ”Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (1996), dan menghadiri “Perkampungan Penulis Melayu Serumpun” di Daik Lingga, Kepulauan Riau, yang dihadiri juga oleh beberapa sastrawan dari beberapa negara melayu serumpun (1999). Sedangkan namanya telah tercatat dalam buku Direktori Penulis di  Indonesia (Dekdikbud, 1997), Leksikon Susastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, Balai Pustaka, 2000), Sastrawan Jawa Tengah dan Karyanya Jilid I (Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 2015), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Adapun buku antologi puisi tunggalnya bertajuk Perayaan 99 Kematian terbit tahun 2018. (*)

Tinggalkan Balasan