Puisi Timur Sinar Suprabana

meriuh

lalu hening
begitu riuh
merayakan denting
meremajakan ruh

dalam jiwa
dalam jiwa
dalam jiwa
:rindukah yang merawa

…..

13.53
12.02.2020
semarang

langgam kecombrang

jambonjambon kembang kecombrang
ia sawang di sembarang
ia sawang sembari berdendang
seperti kerna butuh melupa ranjang

sendiri
seolah peri di pagi hari
ia petik satusatu
ia taruh di atas batu

kembang kecombrang
bunga kasih sayang
kembang kecombrang
mekar di hati pencinta terang

ingin juga menanam
serumpun saja
tapi hatiku gelap,
kelam
tanpa sahaja
begitu senyap

hingga tiap kudekat
kecombrang pilih pengin lenyap
ketimbang jambonnya terjerat
segala pucatpenyap
…..

06.35
30.01.2020
semarang

perempuan di dalam vas bunga

sabtu belum pukul sebelas
langit, jamjam sembilan, sempat mendung
orang-orang menguatirkan hujan
seekor burung, kuning, mungkin kepodang,
terbang dari setelah hinggap di dahan pohon salam
: mencari gerimis

seperti kerinduan yang tapi tak bermula dari kangen
gelibetan dari sela iga ke hati pada rongga dada kosong
yang mendamba gelora, semacam cumbuan berlama,
ombak atas laut berbadai yang hanya ada dalam pikiran
ketika sabtu belum pukul sebelas
: mencari ingatan pada ciuman silam

kini sudah hampir sampai pada tengah hari,
bayang gunung, di selatan, barangkali sumbing-sindara,
kukuh jelita. “mereka tak pernah berjoget,” katanya.
“meski padahal diamnya mengandung ribuan lagu ndangndut.”
aku tertawa
: mencari gelak di sebalik rasa ingin memeluk

tibatiba, memandangku mesra, ia berkata, “lihat,
Beno Siang Pamungkas mengunggah foto blanja mentog.”
aku baru hendak menyahut, barangkali sambil njawil dagunya,
saat ia sudah kembali berkata, “sudah mau masak lagi. sexy.”
aku tergelak
: mencari peluk di sela gairah yang mulai mengantuk

tapi sabtu sudah jauh dari pukul sebelas
…….

12.01
01.02.2020
semarang

di jalan

semacam sisa mimpi
masih mengapung sepi
padahal jalanan riuh
oleh banyak tetes peluh

seorang lelaki
mungkin pelaut
melangkah mencari kaki
buat lari menjauh dari maut

aku ke kota lama
bersepatu baru
udara mengandung hama
gigih memburu

ketika tiba
trotoar lengang
ubinnya coklat basah bertuba
hari siang terasa tegang

kusua rasa ingin tak jumpa
kupeluk yang butuh kuurai
dan bungabunga tak lagi puspa
sebab terbikin dari plastik lunglai

di jalan
harapan jadi kulai penghabisan
jadi gentar getir
tanpa kanal yang bikin bisa ngalir

makin banyak
yang merasa begitu
terkoyak
sampai terluka sehitam batu

makin banyak
…..

11.18.
09.03.2020

fragmen

lalu sebagian diantara mereka
memainkan apa yang dipikirnya dimau langit
dan bisa diterima dunia,

padahal sudah terlalu aneka
yang terguling, menjerit,
menemu akhir siasia.

apakah kurang
bagaimana apapun yang dipandang
memberi terang?

apakah belum
bagaimana apapun yang dirangkum
cuma bikin alum?

menepilah sejauh jangkau tak menyentuh
biar pahit, yang berkilau gula, tak merengkuh
kerna panggung berpenyangga rapuh

atau apakah mereka itu kaum pemuja jatuh?

03.37
30.01.2020
semarang.

angka angka

angka angka
nol sampai sembilan
mengembara ke aneka
meliukkan harapan

ada yang kupikir berkereta
ke ibu kota
beberapa, 2 dan 7, bersama 5
tak bosan berlarian di sepanjang gang

4 dan 1
sejak berbulan lalu
sembunyi di laci
melamunkan ujung pensil

lalu kusua deret hari
muram dan gentar
gemetar oleh wabah
dan hujan abu dari mata pengantuk

tak kutahu
warna apa lagi yang belum
ketika cat mulai menolak ujung kuas
dan uap hujan melembabkan kanvas

saat itu
bersama angka angka
aku ingin ke mana saja
barangkali kecuali ke di mana kamu berada

bertahun
: menungguku
………..

17.59, 30.05.2020, semarang.

suluk suwung

genderang ditabuh
menyambut yang berlabuh
bahkan angin ikut menari
melipur rasa nyeri

orangorang laut
yang tak gentar akan maut
pulang dari tengah
ke tepian berlampu merah

di jauh
lini membayang
terentang
lurus dan luruh

“ke sana,” kata seseorang
tanpa mengalihkan pandang,
“segera kita kembali
kerna cinta tak bisa ditali.”

di kedai
tentu, tiada ombak menggelora,
tinggal sisa angin patahpatah menderai
begitu sunyi dan sengsara.

lamatlamat masih terdengar
genderang ditabuh
menyambut yang berlabuh
tapi api sejak sejamdua lalu tak lagi berkobar

seorang perempuan
yang walau telah paruh baya namun cantik tak terkata,
di tengah laut tak bertuan,
bikin banyak bergununggunung ombak

memanggil pencinta
…..

03.12.
09.03.2020.

 

syair rambut angka

duabelas dara bersahut dendang menidurkan malam,
bulan tanggal limabelas, bundar, merampas kantuk dari helaihelai dedaun,
lalu musim ketiga mendesak angin hingga terpojok di ujung perempatan sisi tenggara,

seorang anak, yang nampaknya bengal namun bukan kerna kurang kasih sayang,
menggambar sembilan belas kepala kucing di dinding rumah tetangga,

dan duabelas dara, dengan lembut, terus bersahut dendang

menidurkan malam
…..

19.23
25.06.2020
semarang

 

Timur Sinar Suprabana lahir di Solo, Jawa Tengah, 4 Mei 1963, dari pasangan Bolo Soetiman dan Munasijah Moenadji.

Puisi-puisinya terpublikasikan melalui berbagai media masa cetak yang terbit di Indonesia dan ia komunikasikan, sejak dasawarsa 1980 hingga kini, melalui berbagai forum sastra.

Kumpulan puisinya, antara lain, Sihir Cinta (tunggal), Gobang Semarang, Menyelam Dalam (bersama Beno Siang Pamungkas), Dari Rumah Cokelat ke Cinta (bersama Handry TM), dan setidaknya 39 antologi puisi lain bersama penyair dari berbagai komunitas dan kota di Indonesia.

Selain menulis puisi, Timur Sinar Suprabana, juga mengelola Rumah Budaya Gubug Penceng bersama Ompong Kuswanto dan aktif di berbagai kegiatan berkesusasteraan di Tanah Air.

Penyair ini tinggal di Semarang.

2 komentar pada “Puisi Timur Sinar Suprabana

  • Mei 5, 2021 pada 8:05 am
    Permalink

    Seandainya kolom komentar terdapat dalam setiap akhir satu karya….hmmm…
    Namun, begini pun cukup. Sebagai penyuka puisi-puisi pendek dan juga yang tak terlalu panjang saya merasa lega membaca puisi-puisi karya Om Timur ini. Terlebih adanya visualisasi yang begitu mewakili kata demi kata juga bait demi bait pusi-puisi keren itu. Bagaimana bisa?? Misalnya dalam puisi “Di Jalan” terdapat bait yang tertulis:
    seorang lelaki
    mungkin pelaut
    melangkah mencari kaki
    buat lari menjauh dari maut

    Tidak disangka akan divisualkan dengan gambar kaki yang seolah menjadi labirin. Sepatu yang menggambarkan kaki seorang laki-laki, warna biru yang menggambarkan mungkin seorang pelaut, dan seterusnya. Saya rasa sangat mewakili makna rumit di balik “melangkah mencari kaki”.
    Yang lainnya? Waaahh.. ingin berkata banyak tapi ya sudah sepantasnya saja selayaknya kolom komentar. Thanks Karas. Kuberharap padamu menampilkan lebih banyak lagi karya-karya keren dari para sastrawan kece dan menyajikannya dg lebih wau!

Tinggalkan Balasan