Puisi Mukti Sutarman Espe
Tentang Penyair dan Sebutir Batu
*bagi jimat kalimasadha*
sebutir batu
runcing ia lempar kepada kita
sambil tertawa
“itu tanda cinta,” katanya
tanpa peduli pada pedih luka
dan leleh darah di rongga dada
kita memilih tersenyum
sebagai laku penolakan
marah dan sakit kita tahan
demi nilai kemanusiaan
tetapi masih adakah orang culas
yang bisa membaca perlambang
masih adakah orang kasar
yang bisa memaknai kelembutan
lupakan
bila nanti kepadamu
ia datang dengan mawar
jangan silau apalagi mabuk
sebab itulah puisi semu
kepura-puraan bujuk rayu
perca yang terbungkus beludru
sebab ia penyair manis lidah
penyihir yang suka mencuri kesadaran
setiap silap langkah
lalu memainkannya dengan indah
di antara bacin ludah
dan busuk sebarang sampah
kita memilih tersenyum
bukan untuk kalah atau menang
tetapi agar terpelihara kehidupan
yang labih teduh lagi tenang
sebab ia penyair penyihir
2019 – 2020.
Tentang Pemilih Diam
ia memilih berdiam
di diam
kapan orang suka bercakap
menjadikan kata sebagai tuba
peluka bahkan bencana
di diam ia ingin bergeming
mengaji suara-suari sejati
di balik hening
pikir dan hati
menggali sungai dalam
yang airnya mengilau emas
mengalir tanpa riam jeram
banglas
menghanyut ke masa kanak
di buaian ninabobo emak
ia memilih berdiam
di diam
karena di palungnya
ia bisa menjadi dingin air
bagi api
yang membakar diri
karena di keluasannya
ia bisa menjadi suar
bagi gelap nalar
sesat hasrat bahkan sasar
ia memilih berdiam
di diam
sekalipun mesti sendiri
remuk redam
2019 – 2020.
Tentang Masa Lalu dan Masa Depan
aku ingin kembali ke masa lalu
dunia kanak yang sorga
jauh dari pengetahuan baik buruk
segala waktu semata ruang bermain
gelak adalah murni kegembiraan
tangis bukan lambang penderitaan
tak ada kepura-puraan
kita berjalan tanpa beban
sepanjang hari bernyanyi
seturut hasrat hati
tetapi, katamu, masa lalu adalah residu
kenangan percuma
yang tak berarti apa-apa
bila dipahami semakna air mata
tetapi, kataku, apa salahnya air mata
ia adalah kejujuran paripurna
menetes semata kala
kapan ada yang menyentuh jiwa
kau tersenyum dan berucap pelahan
masa lalu dan masa depan kita
satu kesatuan
yang mesti dikelola dengan bijaksana
aku terharu
lalu kita kembali menyatu
bergandeng tangan
melangkah ke depan
sambil sesekali menengok ke belakang
2020.
Tentang Jarak dan Rindu
izinkan aku menjadi air
bagi bara api
siapa pun yang berjarak
terpisah dari rumah
berseberang ruang
dan lantaran sedari dulu
tabiat jarak suka kirim lelatu
maka izinkan aku menjadi air
menetes-netes di atas bara itu
hingga sepi tak bernyala rindu
membakar kepercayaan
dan janji prasetia
yang kepalang diikrarkan
mengapa selalu ada perpisahan
ruang memperlebar batas
yang di sini dan di sana ingin bertemu
bakurindu
“minggu aku kan datang,” janji yang di sana
di mripatnya seraut paras timbul tenggelam
“aku selalu menantimu,” ujar yang di sini
di penantiannya sabtu seperti enggan berlalu
2020.
Tentang Laut di Dada
laut di dadamu memeram guruh
bergelombang dan keruh
saat surut saat pasang
cuaca mengirim pancaroba
musim demi musim
hendak nian aku menyelam
di situ
hingga abis terdalam
mengusut persekutuan ombak-angin
yang diam-diam bersekongkol
agar lautmu tak biru-biru
tak tenang dan landai
selalu cemar dan berlangsai
menyimpan amuk badai
tetapi darimana aku mesti memulai
sedang pantai penuh lancip karang
penuh pecahan cangkang kerang
sedang kamu sendiri tak pernah mau
laut di dadamu berair biru
tetapi bagaimana aku mesti memulai
jika kepadaku kami memilih tikai
kerap melengos bahkan abai
laut di dadamu selalu bergemuruh
aku hanya bisa memandang rusuh
dari jauh
2020.