Tokoh Kamu yang Bertarung Dengan Ramalan

Tokoh Kamu masih duduk lemas. Tangan kanannya menggenggam gadget, dan ibu jarinya memain-mainkan layar. Matanya kosong. Tokoh Kamu seperti menunggu panggilan, atau menunggu pesan, atau barangkali justru mau menuliskan pesan yang ingin Tokoh Kamu kirimkan kepada seseorang di seberang sana, entah di mana dan entah siapa. Kita sepakati saja bahwa Tokoh Kamu sedang melamun. Artinya pergerakan jempol di layar gadgednya tidak penting lagi untuk kita bahas dalam cerpen ini.

Tokoh Kamu menghela napas panjang. Tokoh Kamu kembali membuka buku Mistik Kejawen untuk kesekian kalinya. Tokoh Kamu terus mengulang-ulang bagian perhitungan weton. Tokoh Kamu terbawa pada ingatan tepat sebulan sebelum memutuskan untuk menikah.

“Kamu pikirkan lagi aja, gah” nada pelan ibunya yang berusaha menenangkan “Wajar, bapak menentang rencana pernikahanmu itu. Kita orang Jawa, mau nggak mau tetap berpegangan pada kepercayaan wong tua”. Tokoh Kamu masih belum percaya dengan cara berpikir kolot bapak dan ibunya, dan hampir seluruh masyarakat tempat Tokoh Kamu tinggal. Bahkan konon, bapak ibunya juga sebelum memutuskan menikah, melalui pertimbangan matang mengenai hitung-hitungan hari lahir, atau yang diistilahkan dengan weton. Dan betapa beruntungnya mereka, mendapatkan hitungan Tinari, sehingga rumah tangga mereka awet sampai Tokoh Kamu sendiri sudah dewasa dan hendak menikah.

Tokoh Kamu adalah seorang berpendidikan tinggi. Bagi Tokoh Kamu, hal-hal tidak lazim semacam ini tetap tidak masuk logika, cacat sebagai sebuah penalaran. Tidak ada keterkaitan secara ilmiah antara hari lahir suami-istri dengan hubungan rumah tangga yang akan dibangun. Karena betapapun semua tergantung garis takdir. Dan sebagaimana yang Tokoh Kamu yakini, takdir bisa diupayakan.

Tokoh Kamu tetap berusaha untuk meyakinkan diri bahwa ketakutan orangtuanya lantaran Tokoh Kamu dan istrinya mendapat hitungan sial itu tidak akan pernah terjadi. Itu hanya mitos belaka. Tetapi, manusia dibentuk oleh lingkungan. Tokoh Kamu mulai sedikit didera rasa cemas dan takut beberapa bulan setelah menikah. Pasalnya, Tokoh Kamu lahir di hari Selasa Pon, yang berarti punya hitungan 10, lantaran Selasa adalah 3 dan Pon itu 7, sedangkan istrinya lahir di hari Senin Legi yang berarti punya hitungan 9, lantaran Senin adalah 4 dan Legi itu 5. Jumlah keduanya menjadi 19. Dalam kepercayaan Jawa, jika sepasang suami istri memiliki hitungan weton dengan jumlah 19, maka diistilahkan dengan pegat, yaitu keadaan di mana pasangan itu akan mengalami masalah-masalah yang menyebabkan perceraian.

Ketakutannya semakin bertambah lantaran ada tetangganya yang mengalami hal serupa. Tetangga yang masih saudara jauh dari Tokoh Kamu mengalami nasib buruk, yang konon ditengarai lantaran perhitungan weton yang tidak cocok dan mereka tetap  memaksa menikah.

Cerita itu Tokoh Kamu dapatkan ketika menemui Ki Daslam, adik dari kakeknya, untuk meminta pendapat mengenai keputusannya tetap menikah mesti hitungan wetonnya tidak cocok. Ki Daslam mencoba memberikan pengertian kepada Tokoh Kamu dengan sangat hati-hati. Ki Daslam tidak mau Tokoh Kamu tersinggung ataupun sedih.

Dengan nada suaranya yang agak berat, Ki Daslam bercerita tentang anak sepupunya yang mengalami kesialan. Penjumlahan neptu dari anak sepupunya dan istrinya berjumlah 33, yang berarti masuk kategori Padu. Kehidupan keluarga mereka dipenuhi dengan  pertengkaran. Hingga para tetangga sudah hafal jam-jam mereka bertengkar. Keluarga kecil itu tidak ayal menjadi bahan gunjingan di pos ronda, di arisan dasa wisma, di pertigaan desa tempat tukang sayur dan ibu-ibu berkumpul setiap pagi.

“Mungkin itu memang sudah takdir mereka, Ki” Tokoh Kamu mencoba menjawab sekenanya, agar kesan mistis dari perhitungan weton tidak begitu menjadi alasan “Kalau toh mereka punya kepala yang dingin dan dada yang lapang, urusan rumah tangga tentu tidak akan menjadi persoalan serius” Tokoh Kamu membuang napasnya pelan-pelan.

“Bukannya setiap rumah tangga punya masalah masing-masing, Ki?” Tokoh Kamu menghadapkan wajahnya ke Ki Daslam. “Benar, Gah” Ki Daslam, dengan tetap tenang mencoba memberi pengertian, “Setiap keluarga, atau rumah tangga pasti mempunyai masalah, apapun itu” Ki Daslam memutuskan untuk duduk di rusbang di ruang tamu rumahnya. “Tetapi, kita juga harus tetap berpegangan pada kepercayaan wong tua. Kita kan semua pasti menginginkan rumah tangga yang dibangun itu awet” lanjutnya dengan menatap dalam-dalam ceruk mata Tokoh Kamu.

“Kamu tahu kan Karman anaknya Kaji Dullatip? Hidupnya bahagia lantaran ia menikah dengan perempuan yang hitungan wetonnya pas. Mereka mendapat hitungan Ratu” Ki Daslam tidak kurang bahan untuk meyakinkan Tokoh Kamu. “Apa kamu nggak kepengin punya kehidupan seperti mereka?” Ki Daslam mencoba merayu.

“Ki, si Karman itu hidupnya bahagia karena memang orang kaya, dari keluarga berada, bapaknya lurah yang sudah dua periode menjabat” Tokoh Kamu dengan sigap langsung melancarkan jawaban, “Sawahnya luas, punya Ricemil sendiri. Istrinya si Juleha, dokter, anaknya Pak Camat. Lha, bagaimana mereka tidak bahagia?” tukas Tokoh Kamu.

Tokoh Kamu ikut duduk di rusbang yang terbuat dari kayu jati. “Ki Daslam pernah dengar cerita Samidi dan Siti warga dukuh sebelah?” kali ini Tokoh Kamu seperi akan menguasai pembicaraan sepenuhnya. “Dua orang yang saling mencintai itu gagal menikah lantaran perhitungan weton yang konon jatuh dalam hitungan Sujana” nada Tokoh Kamu mulai agak meninggi. Dalam kepercayaan Jawa, jika hitungan sepasang suami istri mendapat Sujana, maka rumah tangganya akan dipenuhi pertengkaran dan perselingkuhan.

“Tapi apa nyatanya? Kaji Darso, si juragan ayam, orang paling kaya di desa ini, menolak anaknya menikah dengan Samidi bukan lantaran weton. Tetapi karena si Samidi anak orang miskin dan sarjana pengangguran!” Tokoh Kamu tidak memberi kesempatan Ki Daslam untuk menyela. “Omong kosong dengan perhitungan weton, Ki!”.

Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepahaman apapun. Keduanya bersetia dengan keyakinan masing-masing. Tokoh Kamu pulang dalam wajah muram. Tokoh Kamu kecewa lantaran tidak mendapatkan dukungan dari Ki Daslam, orang yang sering dimintai pendapat setiap Tokoh Kamu mendapatkan masalah atau dalam keadaan gundah.

Tokoh Kamu masih memegang erat-erat keyakinannya. Sampai tiba saatnya sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Tokoh Kamu dan istrinya mengalami kerugian dalam usahanya. Tokoh Kamu terlilit hutang. Persoalan itu berimbas pada pola komunikasi suami istri yang tidak lagi sehat. Rumah tangganya tidak lagi seharmonis dulu, awal-awal pernikahan. Tokoh Kamu dan istrinya sering bertengkar. Dalam kondisi yang serba membingungkan itu, Tokoh Kamu mendapat peringatan dari bapak mertuanya. Tokoh Kamu dinilai tidak becus menjadi suami bagi anak perempuan semata wayangnya.

Waktu terasa begitu cepat. Tokoh Kamu seperti terjerembab di lembah kebingungan paling menyiksa. Ketakutan-ketakutannya seolah mewujud dalam kenyataan pahit. Tokoh Kamu tidak pernah membayangkan rumah tangganya akan sekacau itu. Tokoh Kamu tidak pernah membayangkan ramalan tentang kehancuran rumahtangganya akan terjadi. Tokoh Kamu stres berat. Hari-hari dilalui dengan mengumpati nasib dan melamun dan membaca buku Mistik Kejawen dan penyesalan dan tangis paling rintih: menyadari tidak lagi ada istri yang akan menemani hari-harinya lagi.

***

“Eyang bangun” lamat-lamat Tokoh Kamu mendengar rengekan anak kecil, sebelum Tokoh Kamu benar-benar membuka matanya secara utuh, “ayo kita pulang” suara itu sedemikian dekat, dan Tokoh Kamu sangat hafal dengan nada suara itu: cucu ke tiga dari anak keduanya.

Tokoh Kamu telah siuman. Anak dan cucunya saling melempar senyum bahagia. Mengitari kasur tempat Tokoh Kamu tergeletak selama lebih dari tiga jam koma, setelah Tokoh Kamu terjatuh di kamar mandi rumahnya. Di ruangan itu, Tokoh Kamu merasakan kehangatan keluarga. Dinding berwarna putih dan gorden hijau muda seakan memberinya selamat, lantaran Tokoh Kamu kembali kepada pelukan istrinya, yang setia menemani selama Tokoh Kamu tak sadarkan diri. Tokoh Kamu terus mengamati keadaan sekitar, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang Tokoh Kamu alami hanyalah mimpi. Tentang perceraian dan kehancuran rumah tangga lantaran perhitungan weton yang sempat Tokoh Kamu takutkan.

Tokoh Kamu mulai menyusun mozaik ingatannya. Tokoh Kamu melihat airmuka istrinya yang penuh sayang. Dilihatnya kasih paling penuh dari mata yang teduh. Garis-garis lipatan di keningnya adalah bukti nyata cinta sejati yang telah diperjuangkan. Tangannya yang mengeriput menggenggam tangan Tokoh Kamu, dan Tokoh Kamu lekas mengusap airmata di pipinya.

Tokoh Kamu mengingat betapa berat upayanya dalam mempertahankan rumah tangga selama ini. Juga segala upayanya dalam menghalau ketakutan-ketakutan yang sering menghantui. Selama ini Tokoh Kamu tidak pernah menceritakan soal perhitungan weton mereka kepada istrinya. Tokoh Kamu khawatir jika diberitahu, maka istrinya akan tersugesti dan kehancuran yang diramalkanpun akan terjadi.

Dalam hangat dekap istrinya, Tokoh Kamu mengingat masa-masa sulit di awal pernikahan. Tokoh Kamu selalu memperjuangkan kebahagiaan istrinya. Selalu berusaha menjadi suami yang baik, agar biduk rumah tangganya tidak karam meski terombang-ambing badai cobaan kehidupan yang datang bertubi-tubi. Bahkan ketika terjadi perselisihan dengan istrinya, Tokoh Kamulah yang meminta maaf terlebih dahulu. Bagi Tokoh Kamu, keutuhan rumah tangganya lebih penting dari apapun. Tokoh Kamu senantiasa meyakinkan diri bahwa kehidupannya akan baik-baik saja.

“Eyang baik-baik saja kok. Eyang hanya butuh istirahat” Seorang dokter yang ditemani perawat pembawa catatan pasien menyeletuk di tengah ketegangan yang terjadi  sore itu. Tiga anak dan lima cucunya memeluk Tokoh Kamu satu persatu penuh kehangatan. Tokoh Kamu menarik napas panjang dan tersenyum lega. Tokoh Kamu menyeringai ke arah pembaca cerpen ini. Seolah Tokoh Kamu berkata “Aku telah menang dalam pertarungan melawan ramalan”.

Halaman Indonesia, 2020

 

 

Dimas Indiana Senja.  Penulis, dosen, dan Instruktur Literasi Nasional. Bukunya: Nadhom Cinta, Suluk Senja, Sastra Nadhom, Kidung Paguyangan, Museum Buton, Pitutur Luhur. Ketua Instruktur Literasi Jawa Tengah, Founder Bumiayu Creative City Forum (BCCF), Pengasuh Komunitas Sastra Santri “Pondok Pena” Purwokerto, Pembina komunitas Rumah Penyu Cilacap. Pada 2016 pernah diundang di UWRF, Bali. Pada 2019 pernah diundang di MWCF, Sulawesi.  Pada 2020 menjadi peserta terpilih Jejak Virtua Aktor (JVA) Kemendikbud. Nomer HP, 085741060425. Pos-el: dimassenja07@gmail.com

Tinggalkan Balasan