“Penari” dan Pseudo Sastra

Esai Handry TM

 

Handry TM

Sutradara Richard Attenborough mengatakan, “Tidak ada yang lebih penting dalam pembuatan film selain skenario.” Jargon ini serupa kata-kata normatif, “Skenario adalah the first director.” Seorang sutradara diharap mampu menciptakan audio-visual sesuai dengan yang tertulis dalam skenario. Maka, sebuah film akan menjadi sekeras Year of the Dragon (Michael Cimino/ 1985), Casino (Martin Scorses/ 1995) atau The Blacklist (Jon Bokenkamp/ 2013). Sebaliknya akan selembut film Tiga Dara (Usmar Ismail/ 1956), Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya/ 1977) atau Evita (Alan Parker/ 1996), bergantung pada konsep cerita.

Demikianlah pengertian saya mengenai skenario, yang mulai saya tulis tahun 1992. Pengalaman menulis skenario saya dapat ketika menjadi pewarta hiburan di Harian Suara Merdeka. Bagaimana cara pembuatan film, atas dasar apa karya besar itu dikerjakan dan serupa apa materi penceritaannya, semua saya amati di lapangan. Semakin memberi keyakinan ketika skenario saya mulai masuk industri film dan televisi oleh rumah produksi Jakarta.

Pertanyaan, berikutnya, apa beda naskah film dengan naskah drama? Manuskrip itu sama-sama memiliki cerita, dialog dan pengadeganan. Kalau naskah drama dapat dikategorikan sebagai karya sastra, mengapa skenario atau naskah film tidak?

Tagline

Buku Penari pada cover-nya terbubuh tagline (deskripsi singkat yang terdiri atas beberapa kata) bertuliskan “Negeri ini sudah kerepotan mengurus dirinya sendiri.” Tagline biasa digunakan untuk untuk mereklamekan isi buku. Sengaja saya cantumkan ini, mungkin karena terpengaruh kebiasaan mengerjakan media berupa tabloid dan majalah.

Kalimat itu merupakan potongan dialog Bu Guru Lanita ketika menjelaskan kondisi sekolah yang diajarnya kepada Ony, salah seorang mahasiswa Jakarta yang akan membuat film di desanya.

“Anak-anak di desa ini harus mengejer kepandaiannya, kalau tidak mereka akan tetap terbelakang. Negara ini sudah kerepotan mengurus dirinya sendiri. Sudah tak sanggup lagi memikirkan rakyatnya yang pucat-pasi.” (Scene 039, Hal. 67-68).

Berkisah tentang misteri Penari Utama Sendratari Prambanan, yang setiap berpentas ditutupi wajahnya dengam topeng. Inilah yang membuat penasaran Bima, mahasiswa jurusan film Jakarta ketika hunting location ke Desa Prambanan. Bima akhirnya bertemu Bu Guru Lanita, pelatih tari di Sekolah Dasar tempatnya mengajar. Sayang Bu Lanita pun tidak tahu siapa sebenarnya penari utama sendratari. Atas kegigihan Bima dan kawan-kawan, dengan dibantu Margono, seorang siswa Lanita, mereka berhasil membongkar rahasia siapa sebenarnya penari utama di pergelaran sendratari Prambanan tersebut.

Pada beberapa dialog dibuat cair, tujuannya untuk memancing ketertarikan pembaca ke rangkaian cerita yang berikut. Saya menghidupkan tokoh Margono, anak berusia delapan tahun yang polos dan memancing kelucuan. Pada scene 013, Hal. 24, ia sedang mengadu pada Ibu Gurunya, bahwa Bu Guru Lanita mirip aktris Maudy Koesnaedi:

Margono

Wajah Bu Guru niki persis Maudy Koesnaedi.

Maudy saja malah kalah persis, ha ha ha ….

Lanita

Heh, sapa kuwi Maudy?

Margono

Istrinya si Doel di film itu lho…

        Kata Eddy D Iskandar, Direktur Festival Film Bandung yang saya minta menuliskan komentarnya untuk buku ini, Cerita Penari menarik, karena tidak terjebak sebagai kisah misteri. Yang lebih menarik lagi karena menyentuh kebudayaan etnik yang mulai enggan digarap.

Naskah ini sebenarnya pernah mengalami metamorfosa dengan judul Penari dari Majapahit, yang digarap dalam bentuk FTV oleh sutradara Boy Sopingi. Namun saya kembalikan ke judul asli ketika terbit menjadi buku.

 

Pseudo Sastra

            Istilah “pseudo sastra’ atau “Sastra yang tidak sebenarnya,” saya dapat dari seorang sutradara ketika merevisi beberapa skenario. Diskripsi di luar dialog, misalnya, Sementara Ade, Lita dan Ony, memperhatikan tarian itu dengan ekspresi bertanya-tanya. (Scene 017, Hal. 31). Ataui, ESTBLISH SHOT: ….. Rumah mewah dengan geriap lampu yang menawan dari kejauhan. (Scene 50, Hal. 88) menjadi pertanyaan. Sutradara menolak penggunaan kalimat “ekspresi bertanya-tanya” atau “geriap lampu yang menawan.” Kalimat itu dinilai sangat subjektif dan tidak mudah dipahami di dalam proses produksi. Mereka meminta agar mengganti dengan kalimat informatif seperti “Ekspresi terlongong” atau “Lampu kecil yang terlihat dari kejauhan.”

Namun dalam buku Penari, kalimat sastrawi sebagai kebiasaan menulis fiksi saya lepas saja. Tujuannya unruk edukasi agar sutradara bekerja dengan tafsirnya yang dalam. Yang saya kerjakan ini saya dapati pula pada scenario  Arifin C Noer (Serangan Fajar) dan Putu Wijaya (Kembang Kertas). Beberapa sutradara membebaskan penulis skenario mengekspresikan apa yang ia rasa. Mereka hanya mengetengahkan rambu-rambu agar dialog jangan sampai tidak menjelaskan cerita. Atau diskripsi (perintah gambar) tidak melampaui kebutuhan gambar. Sutradara Indonesia seperti Djun Saptohadi (Sinetron Di Bawah Matahari Bali), Slamet Rahardjo (Kodrat, Ponirah Terpidana) dan Teguh Karya (Badai Pasti Berlalu, Pacar Ketinggalan Kereta) juga melakukan pembiaran subjektif bagi penulis yang terbiasa menulis karya sastra.

Dalam perkembangannya, penerbitan buku skenario mudah-mudahan dipertimbangkan sebagai anak kandung sastra literer. Skenario dengan bobot cerita yang dalam, namun karena fungsinya sebagai script teknis di lapangan, akan masuk sebagai naskah literer. Secara otokritik, saya lebih memilih istilah “Pseudo Sastra.” Sebuah karya literasi teknis yang pengungkapan sastranya tidak hilang. Bolehlah dkatakan hal ini sebagai “Sastra Semu.”

Ketika novelis pop seperti Ashadi Siregar, Marga T dan Eddy D Iskandar yang pada tahun 1977-an ditolak keberadaannya. Apakah novel – novel pop termasuk karya sastra atau karya literer? Akhirnya industri film menjawab dengan diterimanya novel-novel pop seperti Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar), Karmila (Marga T), Semau Gue (Eddy D Iskandar) maupun Jangan Ambil Nyawaku (Titi Said), sangat mewarnai industri perfilman nasional, Lantas di manakah posisi naskah drama seperti Panembahan Reso (Rendra), Sumur tanpa Dasar (Arifin C Noer) dan Kebebasan Abadi (C.M. Nas)?

Pada kondisi tersebutlah buku film Penari ikut berjuang. Dalam penerbitannya, Penari mengalami proses yang tidak sederhana. Saya berusaha agar buku ini diposisikan seperti buku sastra yang lain. Tidak menggunakan foto adegan film sebagai sampul, melainkan ilustrasi tangan yang bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa tokoh film dan penulis fiksi diundang untuk berkomentar, istilah-istilah pengambilan adegan juga disertakan.

Mungkin akan diolok, namun saya yakin, akan ada penulis lain yang mengikuti jejak perjuangan ini. Selamat menikmati.

 

Handry TM, Penulis Buku Skenario Film Penari

One thought on ““Penari” dan Pseudo Sastra

Tinggalkan Balasan