Tergantung pada Martabat (Menduniakan Bahasa dan Sastra Indonesia)
Esai Triyanto Triwikromo
/1/
Mari kita mulai esai ini dengan pertanyaan kecil: bagaimana sesungguhnya martabat bahasa Indonesia mutakhir? Apakah dengan segera kita bisa menjawab: baik-baik saja? Atau ternyata nasib bahasa Indonesia muncul dalam “kemandulan berbahasa”.[1] Kemandulan berbahasa, menurut Joss Wibisono, peneliti yang kini mukim di Belanda, itu muncul karena ada otoritas bahasa[2] yang sangat ketat mengontrol bahasa dan mengendalikan pikiran orang.
Pengontrolan dan pengendalian di bidang apa pun memang cenderung memberi ruang seluas-luasnya kepada “bahasa atau budaya penguasa” lebih menyeruak dan otomatis menenggelamkan ragam bahasa lain, ragam bahasa yang lebih digunakan oleh rakyat. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika dalam mengekspresikan pikiran dan perasaaan anak-anak muda menggunakan bahasa yang dianjurkan oleh otoritas bahasa. “Ini teh susu” atau “Kutahu yang kau mau” jelas lahir dari para pendesaian iklan yang tak mau disandera oleh “ragam resmi”.
Selain itu, krisis juga muncul ke permukaan ketika Ajip Rosidi menyatakan, “keadaan perbahasaaan kita sekarang berada dalam situasi yang mencemaskan”[3]. Disebut mencemaskan, sebab “kalau terus dibiarkan tidak mustahil nanti Bahasa Indonesia hanya akan menjadi semacam pidgin English”.[4]
Ajip mencermati, pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat kian semrawut. Ia melihat para elite kian sering sebentar-sebantar menggunakan kata-kata atau ungkapan dalam bahasa Inggris agar tampak lebih intelek.
Bahasa Indonesia, dengan demikian, dianggap sebagai bahasa kaum inferior atau boleh jadi bahasa kaum ideot.
Kekhawatiran pada ketidaksempurnaan bahasa Indonesia untuk berkembang sesuai zaman juga tampak dalam esai “Ada Ancaman Bahaya Bahasa Indonesia Akan Menjadi seperti Tahun 1928”.[5] Dalam esai lugas yang boleh jadi membuat hati perih itu, setelah membeberkan betapa berat tantangan yang dihadapi (dari bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing) bahasa resmi kita yang memiliki kemenangan politik[6] itu, Benny H. Hoed menyatakan, “Alangkah menyedihkan apabila alat komunikasi resmi ini pada suatu hari harus kita ganti dengan bahasa lain, karena kita menganggapnya ‘tidak sempurna’.”
Ketidaksempurnaan dalam berbahasa mungkin masih bisa diperbaiki dan belum menjadi mimpi buruk. Akan tetapi jika ada yang menyatakan cepat atau lambat kita beranjak menjadi bangsa yang bebal budaya (dan menurut Sapardi Djoko Damono “bahasa” mewakili “budaya”), maka cepat atau lambat kita juga berada dalam situasi bebal bahasa. Situasi ini jika tidak tertolong, dalam pemahaman Radhar Panca Dahana, akan menjadikan adab mati. Radhar menulis, kita bahkan telah memasuki area the death of civilization.[7]
Situasi bebal bahasa ini terjadi ketika bahasa Indonesia dengan sengaja dibunuh oleh kegemaran kita mengganti ungkapan apa pun dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau bahasa lain. Para pengkhianat-pengkhianat bahasa ini secara tidak sadar menciptakan kanker yang menimbulkan sikap kerusakan berbahasa yang luar biasa.
Karena itulah, tidak berlebihan jika Remy Sylado menulis “Penyakit Menular Sok-Inggris Dalam Bahasa Indonesia”.[8] Dalam tulisan itu, Remy menyatakan, “Yang cenderung tidak wajar, atau bilanglah kebih keras, tidak waras adalah kebiasaan yang menular saat ini –yang bukan hanya memasygulkan, mengibakan, tetapi menjengkelkan– bercakap atau menulis bahasa Indonesia dengan sebanyak-banyaknya melintaskan kata-kata atau istilah-istilah bahasa Inggris secara bulat-bulat tanpa mematikannya terlebih dulu.”
Yang dimaksud mematikan, menurut pendapat Remy, adalah menyesuaikan dengan lafal yang lazim dala bahasa tutur. “…Celakanya, karena yang melakukan genit-genitan itu adalah para tokoh masyarakat, dan disiarkan pula oleh pers, masyarakat pun menganggap itu adalah bahasa Indonesia yang bagus.”
Sikap sok-Inggris itu bukan bualan. Para pengembang perumahan lebih memilih hill ketimbang bukit, village ketimbang perdesaan, atau residence ketimbang tempat tinggal. Kita juga kian terbiasa menggunakan launching untuk kegiatan yang bisa dinyatakan dengan peluncuran dan memakai MoU untuk nota kesepahaman?
Mengapa masyarakat menggunakan bahasa Inggris sebagai pilihan ungkap? Pertama, karena mereka meniru kaum elite yang mencampuradukkan bahasa Indonesia-Inggris dalam produk-produk usaha mereka. Kedua, mereka juga meniru para pesohor yang merasa lebih intelek jika mengutip apa pun dalam bahasa asing. Ketiga, masyarakat merasa inferior jika tidak bicara dalam bahasa global, bahasa Inggris (atau dalam kasus Indonesia bisa ditambah dengan bahasa Arab) yang dianggap telah mendunia itu.
Hanya, harus segera dipahami, situasi bahasa kita belum sampai pada tahap yang tragis. Kita belum sampai pada situasi “tragedi bahasa” sebagaimana terjadi dalam pembangunan Menara Babel. Saat itu Tuhan mengacaukan bahasa umat manusia, sehingga muncul kaos bahasa yang luar biasa.
Kita juga belum sampai pada kisah yang ditunjukkan dalam cerpen “Aksara Amananunna”.[9] Kita tidak seperti Amananunna yang berbulan-bulan setelah Tuhan mengacaukan bahasa, belum pula menemukan bahasanya. Dalam tulisan Rio Johan tersebut, “Pemuda yatim piatu itu bagai punya kutuk dalam garis kismatnya. Berminggu-minggu dihabiskannya mengelilingi kaki ziggurat Raja Nimrod yang jadi biang amuk Tuhan, menajamkan telinga dan bersusah payah menangkap bebunyian yang datang dari mulut-mulut manusia sekitar. Tidak satu punyi pun yang dia mengerti. Lidah yang satu berbeda-beda sama sekali. Seringnya yang dia tangkap cuma suara-suara asing yang coraknya tak bisa dia kenali, apalagi rumuskan. Semuanya seperti bunyi kacau yang justru mengganggu ketimbang mampu dimengertinya….”
Dengan alasan apa pun, kita agaknya masih berada dalam ketegangan antara cinta dan benci berbahasa Indonesia.
/2/
Tentu dalam situasi semacam ini harus ada gerakan-gerakan budaya yang memungkinkan bahasa menemukan kembali martabat atau harga dirinya. Karena tak tinggal pada masa prasejarah, kita tentu tidak ingin sebagaimana Amananunna mengukir aksara-aksara bahasanya di ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua, agar bisa meninggalkan jejak bahasa.
Salah satu tindakan rasional yang bisa dilakukan adalah dengan memupuk nasionalisme bahasa. Dalam “Nasionalisme: Kini Giliran Bahasa”[10], Joss Wibisono menulis, “Dengan kacamata nasionalisme bahasa, maka pertanyaannya menjadi: kalau kita sudah punya Wina kenapa harus Vienna? Kalau kita sudah punya Jenewa buat apa Geneva? Kalau kita sudah punya Cina (Tiongkok) kenapa China. Warga Wina menyebut kota mereka Wien (bahasa Jerman)….Lalu kenapa kita harus pakai bahasa Inggris?”
Hoed juga pernah risau ketika menyaksikan masyarakat lebih senang menggunakan Scientfic Center daripada Pusat Pertemuan Ilmiah, Leadership Training Course ketimbang Kursus Latihan Kepemimpinan, Youth Center daripada Gedung Pemuda, Steering Committee untuk Panitia Pengarah, dan Studen Center untuk Pusat Pertemuan Mahasiswa.
Remy Sylado punya cara yang tidak terlalu sulit untuk dilakukan untuk mengatasi persoalan yang kian menjadi kebanggaan berbahasa masyarakat yang merasa hidup dalam era modern itu. Remy menyebut tindakan yang harus dilakukan itu dengan ungkapan “mematikan kata bahasa Inggris sesuai dengan lafal yang pas dengan bahasa tutur”. Ia menganggap, strategi itu “merupakan cara yang lebih baik daripada ketentuan atau tawaran untuk mencari padanannya, baik dari bahasa Indonesia sendiri atau bahasa daerah ataupun bahasa Asia sebagaimana yang diacu komite bahasa tersebut.”
Karena begitu banyak ungkapan bahasa Inggris yang diserap secara gampangan ke dalam bahasa Indonesia (exitst jadi eksis, security jadi sekuriti, sex jadi seks), Remy menyebut bahasa Indonesia pun menjadi seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris.
Masih menurut pengamatan Remy, beberapa negara telah melakukan “strategi mematikan” ini. Malaysia mengubah bag menjadi beg, Jepang mengubah manager menjadi manajesan, dan Arab mengubah toilet menjadi al-tualit.
Apakah boleh bahasa Indonesia mengambil kata-kata bahasa asing? Karena setiap produk budaya (termasuk bahasa) tidak pernah tercipta dalam ruang vakum sejarah, sudah barang tentu bahasa pun harus senantiasa dikembangkan seturut zaman dan kontekstual.
Karena kita hidup pada era glokalisasi[11], maka meminjam yang global untuk dipakai bersama-sama dengan yang lokal bukanlah tindakan yang harus ditampik. Bagaimana akan ditampik jika ternyata paling tidak menurut penelitian Alif Danya Munsyi “9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah asing”? Bagaimana akan kita tolak jika menurut Hoed, “…pinjam-meminjam kata atau istilah dalam zaman ketika setiap masyarakat di dunia ini sudah tidak terisolisasi lagi.” Bagaimana kita akan menampik apa pun yang berasal di luar “diri” ketika menurut Julia Kristiva, kita hidup dalam ”dunia kutipan”?
Jalan lain yang harus kita pilih adalah multikulturalisme. Apakah multikulturalisme? Multikulturalisme, menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
Adapun masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.
Dalam konteks bahasa, selain kita menggunakan bahasa yang diproduksi oleh “otoritas bahasa”, maka kita perlu menghidupkan ragam lain. Inilah yang disebut dengan menghidupkan keberagaman.
Bagaimana caranya? Goenawan Mohamad pernah menawarkan “etika kedaifan” untuk menghadapi era masyarakat yang mengagungkan multikulturalisme sebagai sikap hidup. Etika kedaifan itu identik dengan menghargai liyan atau menganggap diri sebagai sosok yang lemah, yang membutuhkan orang lain untuk menjalani kehidupan bersama yang kian berat. Hidup dalam etika kedaifan sama dengan tak menganggap orang lain sebagaimana kata Satre sebagai neraka.
Dalam konteks bahasa, sekali lagi, kita harus menjadikan ”otoritas bahasa” sebagai lembaga yang tidak menang-menangan, penjaga tunggal kreativitas berbahasa. Dalam bahasa Joss Wibisono, diperlukan kemajemukan bahasa untuk sampai pada tahapan yang berasal dari multikultur. Dalam ungkapan Joss, ”Otoritas bahasa bisa saja dipertahankan tetapi sejalan dengan arus demokratisasi, sebaiknya jangan sampai ada monopoli kekuasaan lagi. Artinya: harus ada lebih dari satu otoritas. Selain otoritas tandingan, sebaiknya otoritas yang sudah ada juga tidak diberi wewenang seperti zaman orde baru.”
Mungkin pers bisa diajak untuk memunculkan bahasa yang ”demokratis dan multikultur” . Karena hakikat pers itu ”ruang publik” (Jurgen Habermas) dan ”ruang rapat umum” (John Nerone), maka sangat mungkin otoritas bahasa macam apa pun diwadahi oleh pers.
Mungkin jalan-jalan ini tidak mudah ditempuh oleh masyarakat yang cenderung ingin ”menjadi satu” dan menolak multikulturalimse dan pluralisme, namun apa boleh buat, kita harus mencobanya karena sekarang kita tak bisa menghindar dari keberagamanan dan kemajemukan.
Sekarang dalam situasi kebanggaan penggunaan bahasa Indonesia yang menurut Ivan Lanin dalam sebuah wawancara di Suara Merdeka menurun, bolehkah kita bertanya mungkinkah bahasa Indonenesia mendunia?
Tentu saja boleh. Akan tetapi jangan kaget jika kita mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Dalam kolom bertajuk “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia”12 karya Berthold Damshäuser, misalnya, kita mendapatkan seorang mahasiswa Jerman berkata, “Bahasa dunia atau lingua franca internasional adalah bahasa yang secara global dalam bidang diplomasi, hubungan dagang, juga penyebaran ilmu pengetahuan. Alangkah jauh bagi bahasa Indonesia untuk diterima sebagai bahasa yang berhak memainkan peranan itu.”13
/3/
Sekarang mari kita bahas tentang sastra kita. “Karya sastra tidak jatuh dari langit,” menurut Sapardi Djoko Damono, “tetapi diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.” [12] Pernyataan ini mengingatkan kita kepada tulisan Arif Bagus Prasetyo, ”Mencipta Sastra, Menggubah Sejarah”, sastra memang tak pernah lahir dalam tabung vakum sejarah. [13] Karena itu membicarakan sastra tanpa memperhitungkan dengan singgungan teks lain, hanyalah sebuah kesia-siaan. Termasuk ketika dihadapkan pada persoalan lokalitas dan globalitas dalam karya sastra, kita harus segera memahami betapa sastra memang tidak pernah otonom. Ia –jika kita bersepakat bahwa karya sastra adalah seni –tak pernah hadir seperti perawan suci.[14] Malah A Teeuw pernah bilang, ”sastra tak pernah tercipta dalam kekosongan budaya’’. Karena itulah, sangat beralasan jika Ignas Kleden menyatakan, ”Sastra bukanlah wahyu yang diturunkan dari langit, sekalipun pengarangnya barangkali telah digerakkan oleh suatu inspirasi yang sangat kuat.” [15]
Kleden menegaskan, ”Sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan, sekalipun seorang pengarang dengan sengaja berusaha mengambil jarak dan bahkan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah budaya yang ada di sekitarnya.”
Sastra dengan demikian, memang tidak bisa bersih dari singgungan teks-teks lain. Dalam bahasa Julia Kristeva, ia disebut sebagai intertekstualitas. Ia adalah kutipan-kutipan yang tidak pernah menjadikan dirinya sebagai entitas tunggal. Ia selalu bersifat plural. Atau jika Anda menganggap sastra adalah teks, maka, ia bukanlah sebaris kata-kata yang menampilkan sebuah makna teologis tunggal (pesan pengarang atau Tuhan) melainkan sebuah ruang multidimensi yang di dalamnya beraneka ragam tulisan, tak satu pun darinya yang orisinal, bercampur aduk, dan saling berbenturan. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhingga banyaknya. [16]
Nadine Gordimer, sepanjang yang bisa kita serap, menyatakan situasi itu sebagai ”Tak ada keadaan ada (state of being) murni, dan itu artinya tak ada teks murni, teks ’nyata’, yang sepenuhnya bergabung dengan ketidaktentuan.”[17]
Pernyataan semacam itu kian membuktikan betapa sastra bukanlah sesuatu yang tak berkait dengan apa pun yang memengaruhi keberadaannya. Bahkan karena ia harus bersinggungan dengan yang lain, ia tidak tidak dapat lepas dari konteks. Ia tidak mungkin lagi mengusung nilai-nilai yang universal dalam dirinya sendiri. Ia bahkan sangat mungkin terpenjara oleh ruang yang menjadi media dirinya.
/4/
Membicarakan lokalitas dan globalitas sebuah karya karya sastra tak pelak harus menyinggung persoalan batas-batas kebudayaan. Dulu kita mungkin memahami kelokalitasan dan keglobalitasan sebagai sebuah entitas yang beku, tak bergerak, statis, sehingga seakan-akan kejawaan, kelampungan, kebetawian, kemaduraan, kemelayuan, kearaban, keeropaan, atau keamerikaan, sebagai entitas yang dimaknai secara tunggal dan rigid. Kini ketika kita tahu betapa identitas itu tidak pernah mandek, maka yang kemudian muncul, sebagaimana diungkapkan oleh Maman S Mahayana, ”Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap lokalitas budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu.” [18] Atau jika kita hendak menggunakan pemahaman Melani Budianta, “Lokalitas adalah proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.”
Ini juga sejalan dengan ungkapan antropolog Irwan Abdullah betapa tak pernah ada ruang yang bisa didefinisikan secara beku dengan hanya mengantungkan diri kepada batas-batas fisik sebagai pendefinisian kebudayaan. Abdullah menyatakan, perubahan masayarakat menujukkan kecenderungan lain dalam pendefinisian suatu praktik yang menujukkan proses mencairnya batas-batas ruang (fisik). Mobilitas fisik, misalnya, telah dilengkapi dengan mobilitas sosial dan intelektual yang jauh lebih padat dan intensif. “Media komunikasi yang semakin canggih telah menyebabkan masyarakat terintegrasi ke dalam suatu tatatanan yang lebih luas, dari yang bersifat lokal menjadi global.” [19]
Pendefinisian terhadap ruang yang berubah ini, harus segera kita pahami, sebab jika tidak kita akan terus-menerus menganggap “sastra lokal” dan “sastra global” sebagai sesuatu yang terberi, tak berubah, dan hanya bersandar pada batas-batas geografi. Karena ruang senantiasa berubah, maka pembicaan tentang kelokalitasan sebuah karya sastra, sesungguhnya bisa diarahkan ke bagaimana sebuah teks bergerak dari identitas satu ke identitas lain, dari “pakaian” satu ke “pakaian” lain. “Sastra lokal” dengan demikian adalah sastra yang senantiasa membebaskan diri dari identitas yang semula melingkupinya. Anthony Giddens menyebut hal ini sebagai reproduction of locality, sedangkan orang Jawa mengangap pereproduksian lokalitas semacam ini sebagai gabungan antara ajur ajer (adaptif), nuting jaman kelakone (mengikuti zaman saat peristiwa itu terjadi), dan empan papan (bersandar pada tempat atau lebih tepat konteks).
Ini menunjukkan kepada kita betapa lokalitas –yang kerap dihubungkan dengan identitas yang bersifat represif—dalam bahasa Julia Kristeva sesungguhnya tak putus-putus dipersoalkan, digugat, bahkan dibatalkan. [20]
Karena itu, sekali lagi jika perbincangan tentang kelokalitasan dalam karya sastra itu bisa dianggap juga bercakap tentang identitas, maka ada baiknya kita ikuti nasihat James Baldwin. Kata Baldwin, “Identitas dapat dikatakan ibarat kain yang menutup ketelanjangan diri: bila demikian halnya, paling baik bila kain itu dikenakan longgar, sedikit seperti jubah di padang pasir, yang masih bisa menyebabkan ketelanjangan itu dirasakan, dan kadang-kadang, dapat ditilik.” [21]
Ini berarti mari kita mulai membicarakan “sastra lokal” yang dihadap-hadapkan dengan “sastra global” sebagai sesuatu yang longgar, sesuatu yang tak direpresi oleh batas-batas fisik dan geografi.
/5/
Sebenarnya dalam bentuk semacam apakah globalisme, globalitas, dan globalisasi hadir ke hadapan kita? “Globalisme,” menurut pendapat Nirwan Dewanto, “mempercayai adanya ledakan informasi yang memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang berbeda…Dunia kita bayangkan sebagai sebuah sistem, karena kita, setiap orang, tidak dapat lagi hidup dalam sebuah lingkungan budaya yang khusus asli, dan murni, baik di aras lokal maupun nasional…” [22]
Teks ini menjelaskan kepada kita betapa tak ada ruang –sekalipun dengan gagah kita sebut sebagai lokal—yang steril dari pengaruh ruang-ruang lain. Ruang-ruang lain itu menyusup sedemikian deras ke dalam kelokalan sebuah teks sastra, misalnya, karena globalisme memang tumbuh seperti sebuah virus yang tak terbendung.
Karena itu, dalam ungkapan Goenawan Mohamad, globalisasi telah menjadikan aus tiap perbatasan nasional. Meskipun demikian, kata sang penyair, ada sebuah pertemuan intim dengan yang-Lain saat globalisasi mendera. “…sebuah pertemuan dengan dengan yang-Lain justru mempertajam kesadaran teritorial, baik dalam pengertian ruang ataupun ‘kebudayaan’.” [23]
Saat orang lain (yang membawa ideologi lain) menyusup, pada saat sama sesungguhnya, dalam bahasa Baldwin, identitas –juga kelokalan—dipertanyakan. Di sinilah sesungguhnya kita bisa memetik berkah globalisasi dan globalitas. Mereka menjadi semacam counterpart bagi segala yang berkait dengan kelokalan untuk bersikap atau mempertanyakan ulang dirinya sendiri.
Yang juga harus diperhitungkan, globalisme yang melahirkan teknologi mutakhir seperti teknologi nuklir, teknologi digital, senjata kimia, senjata biologi, pada saat sama melahirkan teror global. Akibatnya, dalam ungkapan Yasraf Amir Piliang, timbul ketakutan global yang kolosal. [24]
Dalam horor lain, globalisasi juga menciptakan mesin pengintai global yang memungkinkan kegiatan apa pun yang dilakukan manusia terawasi oleh satelit pengintai, radar pengawas, sonar, video, dan internet, sehingga nyaris tak ada ruang privasi yang tak tersusupi oleh mereka yang mengoperasikan mesin pengintai global itu. [25] Kelokalan –yang sering kita anggap sebagai makhluk ajaib yang tak tersentuh dosa Barat atau sesuatu yang asing dan lain —dengan demikian sudah tak mungkin lagi menghindar dari mereka. Globalisme telah menjadi drakula yang menggigit dan menyusupkan pengaruh pada lokalitas.
Ini belum seberapa. Kapitalisme global, misalnya, juga menciptakan fobia terhadap sesuatu yang usang. Kita tahu, kelokalan jika harus dihadapkan pada keglobalan yang diasumsikan sebagai sesuatu yang baru, pastilah ia menjadi benda kuno. Ia harus dipahami sebagai sesuatu yang inferior. Agar terbebas dari keinferioran, para hamba kebudayaan lokal harus hidup dalam gairah mesin hasrat, yakni gairah yang dimunculkan oleh kapitalisme global yang memberi ruang pada segala keinginan. Hanya, jangan lupa, dalam tekanan keglobalan, selalu saja ada gerakan untuk melakukan mitos pembebasan.
Contoh paling radikal perlawanan terhadap globalisasi dapat kita lihat bagaimana muncul gerakan Jihad melawan McWorld.[26] Meskipun demikian, jalan terindah umat manusia justru tak terletak pada Jihad maupun McWorld. Benjamin R. Barber, justru menyarankan, “Hanya perjuangan demokrasi yang bukan saja melawan Jihad, melainkan juga terhadap McWord yang dapat mencapai kemenangan bagi planet ini.”[27]
Barber menambahkan, demokrasi yang beragamlah yang akan mengantarkan manusia pada kebebasan dan makna sejati multikulturalisme.
/6/
Sekarang mari kita sematkan kata sastra dalam perbincangan kita tentang relasi antara global-lokal ini. Apakah lokal dan global –lebih tepat kita sebut sebagai lokalitas dan globalitas—sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan atau sesungguhnya keduanya justru merupakan entitas yang harus direspons oleh sastra Indonesia?
Pelajaran pertama, mari kita lihat situasi yang dilakukan para pengarang Amerika Latin kontemporer. [28] Dalam pandangan Anton Kurnia, Jorge Luis Borges (Argentina), Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Carlos Fuentes (Meksiko), atau Isabel Allende (Cili) adalah nama-nama yang menulis sastra bukan sekadar sebagai cerita, ia adalah refleksi dari sebuah peradaban. Mengutip Jose Ortega, Kurnia menyatakan, “sastra Amerika Latin adalah respons imajinatif terhadap segala pandangan dunia, aturan norma, dan tata sosial yang datang dari Barat.”
Respons itu tak harus berupa penolakan. Borges melakukan interaksi secara terbuka dengan kebudayaan Eropa dan mengambil manfaat darinya. Hanya ia kemudian menohok realisme Eropa dengan realisme magis yang membuat “kelokalan Amerika Latin” –kita mungkin mengenalnya sebagai Macondo—menyusup ke ranah sastra Eropa yang diasumsikan secara keliru sebagai sastra global.
Kurnia juga menyatakan, “…cerpen-cerpen Amerika Latin…, meminjam istilah Fuentes, sebuah deklarasi melawan kematian: penolakan terhadap matinya peradaban yang sepanjang sejarahnya telah mengalami penindasan bertubi-tubi. Sastra (…) adalah bentuk perlawanan terhadap Barat melalui ‘senjata’ yang mereka adopsi dari Barat sendiri.”
Itu berarti, tandas Kurnia, “Cerpen-cerpen Amerika Latin dengan demikian mewakili semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dalam berbagai bidang kebudayaan (ekonomi, politik, kesenian, sastra) yang telah mengakar sejak berabad-abad melalui kolonialisme dan imperialisme, dari bentuknya yang paling purba hingga kemasan yang paling mutakhir.”
Nirwan Dewanto menyebut ledakan ini sebagai el boom. “El boom memang bukan semata-mata gejala sastra, melainkan juga gejala politik dan kebudayaan. Dan tak kalah penting: sukses pemasaran. Namun yang layak dicatat di sini adalah pentinya satu tawaran estetik, yakni hadirnya karya-karya itu sendiri sebagai alternatif yang memadai bagi ‘kebudayaan dunia’, yang tak lain adalah himpunan karya dari Eropa dan Amerika Utara –karya-karya yang dijajakan ke seluruh dunia oleh kolonialisme sampai kapitalisme mutakhir.” [29]
Pelajaran kedua, mari kita lihat kasus Arundhati Roy dan Jhumpa Lahiri. Lewat The God of Small Things, Arundhati telah mampu menyiasati berkah dan sekaligus ancaman globalitas. Menurut pendapat Melani Budianta, “Penggunaan bahasa dan unsur lokal di sini, seperti halnya pada sastra multikultural di Inggris, Amerika, Australia, dan Kanada, bukan sekadar ‘warna lokal’. Penggunaan bahasa lokal tanpa terjemahan membuat Yang Global bukan sekadar bersandingan dengan yang lokal, tetapi membuatnya menjadi ‘Glo-kal’. “[30]
Melani Budianta menandaskan, bahasa Inggris yang digunakan oleh Arundhati adalah bahasa Inggris yang secara kreatif diciptakan kembali dengan permainan kata dan idiom-idiom apik yang non-Anglo-Saxon. “Dengan demikian pemakai bahasa Inggris bukan meminjam atau memakai bahasa orang lain, yang notabene eks-penjajah, tetapi mendaur ulang, mancacah-kunyah dan merangkainya kembali untuk berkomunikasi dengan Barat tetapi sekaligus juga untuk memilikinya.”
Ini menjelaskan kepada kita betapa Arundhati mencoba melakukan perjalanan pergi-pulang ke globalitas dengan menggunakan kelokalitasan. Hasilnya, kita tahu, Arundhati akhirnya menjadi salah satu penulis India yang menulis dalam bahasa Inggris yang berhasil menyusup ke “sastra global”.
Kasus yang lain ditunjukkan oleh Jhumpa Lahiri. Jhumpa Lihiri dilahirkan di London dari orang tua Bengali, dan besar di Rhode Island, Amerika Serikat. Sekalipun menjadi warga negara Amerika, Lahiri tetap menganggap “rumah” Indahnya adalah India. Karena itu dalam Penafsir Kepedihan yang memperoleh Hadiah Pulitzer 2000, keterombang-ambingan untuk mendiami “dua dunia”, keterasingan, kerinduan, dan frustrasi karena “bertangkap-lepas” dengan ruh jazirah India menjadi letupan teks yang menggelora. Ini berarti Lahiri tinggal di jantung “sastra global” tetapi tak disedot olehnya, melainkan justru menafsir keglobalan dengan memunculkan kisah-kisah para imigran. Ia menggarap dunia perbatasan antara global-lokal, dan berhasil.
Pelajaran Lahiri ini sesungguhnya mirip dengan strategi teks yang dikembangkan oleh Umar Kayam, terutama dalam teks “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Teks ini melemparkan Marno –dengan segala lokalitas kejawaan—ke nuansa global yang absurd. Kayam membiarkan Marno tak terjebak ke globalitas antara lain menganggap lampu-lampu sebagai kunang-kunang, tetapi sekaligus tak kampungan karena bisa adaptif hidup bersama Jane yang mabuk. Dialog Jane, “Bulan itu ungu, Marno” yang dinegasi oleh Marno dengan kata-kata, “Kuning keemasan…” menjelaskan kepada kita betapa tarik-menarik pengaruh (global-lokal) tak terselesaikan dalam cerpen itu.
Pelajaran ketiga, mari kita tengok Bilangan Fu karya Ayu Utami. Dalam novel Bilangan Fu, paling tidak ada tiga persoalan utama yang dibabar oleh pengarang, yakni modernisme, monoteisme, dan militerisme. Menggunakan narator Yuda, seorang pemanjat tebing yang bersama Parang Jati, sahabatnya, tengah berjuang hijrah dari pemanjatan yang merusak tebing (dirty climbing) ke pemanjatan suci yang tak merusak sama sekali alam (sacred climbing) atau pemanjatan bersih (clean climbing), pengarang mempersoalkan tentang modernisme dan melakukan berbagai kritik atas isme yang berkembang dan menghancurkan berbagai kearifan lokal itu.
Selain itu teks ini berusaha membahas persoalan ”global” dengan perangkat-perangkat lokal. Yuda, salah satu tokoh dalam novel ini, memahami mengapa misalnya, Parang Jati menggunakan konsep ”Ruwatan Bumi”[31] dalam peringatan Hari Bumi dan kematian Penghulu Semar. Dalam bahasa pemuda tengil itu, selamatan bertema ”Hentikan Kekerasan pada Bumi” tersebut dipahami sebagai ”gabungan dari konsep tradisional dengan kesadaran global.” Aktivitas yang kerap juga dipahami sebagai berpikir lokal bertindak global atau bertindak lokal berpikir global itu, kita tahu, semata-mata hanya ingin mewartakan, ”Kekerasan terhadap manusia dan alam di Indonesia telah melampaui batas. Hentikan kekerasan itu.” [32]
Alhasil dengan mengusung laku-kritik yang oleh Parang Jati disebut sebagai Kejawan Baru [33], Ruwatan Bumi akhirnya bisa digunakan untuk (1) memperingati korban, (2) menuntut dihentikannya kekerasan, dan (3) menghidupkan kembali penghormatan pada bumi melalui revitalisasi agama-agama di bumi. [34]
Ruwatan, dengan demikian, tidak lagi dipahami sebagai aktivitas yang bertolak belakang dengan pikiran bebas. Narasi dan berbagai motif yang diusung dalam Ruwatan Bumi bisa dipahami secara rasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Sindhunata saat membahas pikiran-pikiran Horkheimer dalam Dilema Usaha Manusia Rasional, Yuda pada akhirnya sampai pada satu simpulan betapa puncak dari rasionalitas adalah irasionalitas. Atau karena tak mungkin menghindar dari mitos, Yuda sampai pada kesadaran betapa manusia sebaiknya hidup dalam masyarakat yang bermitos, tetapi hidup dalam kesadaran, ketimbang rasional tetapi terikat pada mitos.[35] Apa yang kemudian terjadi? Lewat Yuda yang membeberkan tulisan-tulisan Parang Jati, akhirnya kita tahu, ada tiga musuh utama posmodernisme.[36] Tiga musuh itu terdiri atas modernisme, militerisme, dan monoteisme.
Musuh pertama adalah modernisme. Modernitas dalam novel ini, digambarkan sebagai saat-saat ketika oleh filsafat modern, manusia terbebas dari kegentaran terhadap alam, institusi kerajaan maupun gereja, juga terhadap Tuhan. Setelah Rene Descartes bilang, ”Cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada)”, Nietzsche tak kalah lantang berteriak, ”Tuhan sudah mati.”
Modernitas, dalam pandangan Parang Jati, juga melepaskan manusia dari tradisi. ”Munculnya masyarakat modern menandai peralihan dari bentuk komunitas (gemeinschatf) ke mayarakat (gesellschaft). Yaitu dari komunitas berbasis adat, agama, dan kepemilikan bersama menjadi masyarakat yang berbasis hukum positif, kebebasan berpikir, dan hak milik pribadi. Di sinilah industri dan kapitalisme lahir. Inilah persoalan pertama kita. Modernitas tidak hanya membawa perkembangan positif (pembebasan) tapi juga negatif (perusakan alam).”[37]
Musuh yang kedua adalah militerisme. Menurut Parang Jati, Indonesia memasuki era militerisme pada masa Orde Baru Soeharto (1965-1998). ”Ribu bahkan juta manusia dibantai. Kekerasan, termasuk di dalamnya operasi intelijen, menjadi bahasa kekuasaan satu-satunya.”
Selain itu Parang Jati juga menyinyalir, ”…Amerika Latin dan Indonesia –negeri-negeri dengan kekayaan hutan dan alam luar biasa—militer dan kapitalisme saling memperkuat dengan jahat untuk mengeksploitasi alam.”[38]
Musuh yang ketiga adalah monoteisme. Kata Parang jati, ’’Sejak ’70-an agama, yang Tuhan-nya pernah dibilang mati oleh Nietzsche, kini memukau kembali, setelah rasionalisme terbukti tidak memperbaiki keadaan manusia.”
”Persoalannya,” lanjut tokoh yang digambarkan sebagai geolog itu, ”monoteisme ternyata memiliki sifat-sifat yang berjodoh dengan ’modernisme’ dan militerisme.
Apa persamaanya? 1) Jika filsafat rasional-modern meletakkan kebenaran ilmu di atas segala-galanya, monoteisme meletakkan kebenaran iman di atas segala-galanya…”Modernisme” dan monoteisme sama-sama memilliki dorongan untuk menguasai tubuh dan alam. 2) Monoteisme maupun ”modernisme” mendaku bersifat universal. Kebenaran dianggap sebagai di luar konteks sejarah yang dituliskan. 3) Monoteisme, keuniversalan, dan modernisme, dengan demikian, memang sulit menerima perbedaan. [39]
Apa yang kemudian terjadi jika ketiga musuh posmodern itu menyerang Watugunung? Ketiga-tiganya ternyata dianggap merusak bumi. Dalam tulisan Parang Jati, kita bisa membaca: ”Di masa lalu, hutan dan kawasan perbukitan karst Sewugunung terpelihara oleh kepercayaan lokal, yang merupakan piranti lunak hak ulayat. Penduduk sekitar bahkan percaya pada beberapa titik keramat. Pemanfaatan sumber daya, karenanya, tidak boleh sewenang-wenang.
”Kini, kapitalisme –melalui perusahaan penambangan batu dan izin pemerintah—menafikan kerpercayaan tersebut. Bahkan, untuk melemahkan pertahanan masyarakat setempat, perusahaan menggunakan juga pasukan keamanan berbaju agama. Mereka memberi stigma pada praktik lokal sebagai praktik menyembah berhala.
’’Dengan demikian, agama telah digunakan sebagai alat untuk menjaga kepentingan di luar agama (kapitalis). Demikianlah, monoteisme, jika membiarkan dirinya tidak tahan perbedaan dan tak mau mengadopsi sikap kritis dan ’laku kritik’ ke dalam dirinya akan mudah jatuh ke dalam alat kepentingan belaka. Dan bersama-sama, ’Modernisme’-Militerisme, Monoteisme akan menjadi tiga serangkai perusak bumi.”[40]
Bagaimana mengatasi tiga musuh yang digambarkan sebagai hamba bagi orang-orang atau institusi yang memiliki kehendak berkuasa dan berahi kekuasaan yang tidak terbendung itu? Parang Jati memberikan solusi agar siapa pun temasuk penduduk di kaki Watugunung agar beranjak menjadi manusia posmodern, yakni manusia yang ”sudah mengalami sejarah perkembangan kesadaran”, manusia yang ”kesadarannya bisa melampaui masa sekarang (post=setelah, modern=sekarang)”. Atau manusia ”laku kritik”, yaitu manusia yang tidak lagi bersikap anti atau berpretensi membebaskan manusia dari kegelapan.”[41]
Dalam novel ini posmodernisme juga bukan segala-galanya. Parang Jati –”sang santo tanpa Tuhan” akhirnya mati ditembak militer justru pada saat Yuda –”iblis sang juru selamat” baru saja membebaskan dia dari terkaman monoteisme Farisi dan gerombolan. Dalam perjalanan ke ”peradilan” dan ”pengamanan” bersama Kumbakarna dan Karna (dua polisi sahabat Yuda), ia diadang oleh pasukan berbaju hitam tak dikenal –kita pernah menyebut mereka sebagai pasukan ninja—dan dihabisi.
Akan tetapi kematian manusia tak kemudian menyebabkan kematian pandangan, ajaran, anjuran, atau katakanlah ideologi. Kematian Parang jati justru mengguncang dan menyadarkan masyarakat –bahkan Farisi berubah jadi penghulu yang tampak alim—betapa ada ”kebenaran lain” yang akhirnya membuat masyarakat Watugunung hidup dalam ”karya kehidupan yang baru”. Karya kehidupan yang baru itu terus berproses ke titik tak terjangkau. Ke titik hening fu Yuda, ke titik hu Parang Jati, ke titik kemanusiaan sejati Marja. Ke titik puncak suwung Suhubudi yang bilang, ” Apa yang tak selesai kau mengerti di sini, tak boleh kau tanyakan padaKu di luar.’’
Pembahasan Bilangan Fu yang cukup panjang ini, sesungguhnya hanya untuk menunjukkan betapa ”sastra lokal” dan ”kearifan lokal” sesungguhnya dengan amat sangat bisa digunakan untuk merespons persoalan-persoalan global.
Pelajaran keempat, mari kita menatap ”pengglobalan” Serat Centhini oleh Elizabeth D. Inandiak. Menurut Inandiak, ”Serat Centhini adalah salah satu karya sastra besar dunia, namun belum diterjemahkan dalam bahasa apa pun…” [42]
Setelah diterjemahkan dalam bahasa Prancis, reaksi pun muncul. ”Centhini c’est Rebelais (Centhini adalah Rebelais),” kata Onghokham.
Namun yang lebih mengejutkan adalah ungkapan Inandiak tentang Centhini. ”…Orang menganggapku mirip Odysee karena selera petualanganku, seiras Kamasutra yang dilukiskan Hieronymus Bosch karena ajaran serta nikmat asmaraku, kaya Seribu Satu Malam karena dongeng-dongeng yang dikisahkan ulama wanita di atas tikar pesantren di pedalaman belantara, serupa Ensiklopedinya Diderot karena daftar lengkap ilmu dan ngelmu-ku yang kubabarkan dalam kekacauan hayati, laksana lakon Mahabharata karena tafsir bayangan yang menghantui rimba raya, gunung berapi dan gua-gua di pulauku, setingkat karya Ibn ’Arabi karena Ilmu Sir serta pencarianku akan Kemanunggalan. Aku bahkan dibandingkan dengan Rebelais, sebab kebatinan ragaku serta tata susilaku yang melampau kebaikan dan keburukan: kelucuan.” [43]
Apa yang dapat dipetik dari pelajaran ini? Menggunakan ”bahasa global” telah membuat teks yang semula disangka ”lokal” menemukan ruang legitimasi yang lain. Teks itu bisa menyeberang ke ruang lain dan dibaca oleh orang lain di luar komunitas pembaca awalnya.
Ini senada dengan teks Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk yang kemudian diterjemahkan menjadi The Dancer. Bahkan Tohari kemudian menerjemahkan novel itu ke dalam bahasa banyumasan. Ia pulang ke ”lokal” justru ketika teks itu sudah ”mengglobal”.
Pelajaran kelima bisa kita petik dari Sutardji Calzoum Bachri. Lewat Atau Ngit Cari Agar, kita semakin tahu strategi teks yang ditiupkan oleh Presiden Penyair Indonesia ini. Ia, jelas tetap menggunakan mantera yang sering dipahami sebagai salah satu penanda kelolakalan untuk mempersoalkan gagasan-gagasan besar dunia. ”Aku datang. Aku memenuhi panggilanMu. Tapi ke mana engkau datang. Engkau tak ke mana-mana. Engkau datang ke dalam dirimu kosong, bagaikan Ka’bah…”[44]
Kita tahu sungguh tak gagap mantera berhadapan dengan teks-teks dunia. Mantera justru berani berhadap-hadapan untuk menyatakan diri. Inilah strategi yang patut dilakukan kita semua ketika inferioritas kian menggerogoti kreativitas kita, ketika kita bertekuk lutut pada kapitalisme global.
Pelajaran-pelajaran kecil yang telah terurai bukanlah sesuatu yang mutlak. Setiap teks –juga kelokalitasan sastra—punya problem kehidupan sendiri-sendiri. Tak ada obat yang seragam yang bisa digunakan untuk mengatasi kematian ”sastra lokal” yang sepanjang waktu harus bersentuhan dengan globalitas, dengan mesin pengintai global yang membuat kita seperti sosok yang terus-menerus telanjang. (***)
TRIYANTO TRIWIKROMO lulus Magister Ilmu Susastra dari Universitas Diponegoro. Ia bekerja sebagai sebagai editor untuk rubrik sastra Edisi Minggu Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif di almamaternya. Selain menganggit puisi (antara lain terbit dwibahasa di Australia dalam Mud Purgatory, 2008), ia menulis kumpulan cerita pendek Rezim Seks (Aini, 2002), Ragaula (Aini, 2002), Sayap Anjing (Penerbit Buku Kompas, 2003), Anak-anak Mengasah Pisau (Children Sharpening the Knives) (Masscom Media, 2003), dan Malam Sepasang Lampion (Penerbit Buku Kompas, 2004). Kumpulan cerpennya, Ular di Mangkuk Nabi (Gramedia Pustaka Utama, 2009) mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2009.
Cerpen-cerpennya antara lain “Mata Sunyi Perempuan Takroni”, “Seperti Gerimis yang Meruncing Merah”, “Malaikat tanah Asal”, “Sayap Kabut Sultan Ngamid”, dan “Belenggu Salju” masuk dalam cerpen pilihan Kompas. Cerpennya “Cahaya Sunyi Ibu” termuat dalam 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana. Cerpennya “Lembah Kematian Ibu” juga masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009 Anugerah Sastra Pena Kencana.
Pada 2005 dan 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Bienale. Setelah itu, 2005, ia menjadi peserta Wordstorm: Northern Territory Writer Festival di Darwin dan Januari-Februari 2008 menjadi peserta Gang Festival dan residensi sastra di Sydney, Australia. Pada tahun sama ia juga menjadi pembicara dalam Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali. Bersama Budi Darma, Eka Kurniawan, Nugroho Suksmanto, dan Chavchay Saifullah, ia menulis L.A. Underlover (Katakita, 2008), kumpulan cerpen tentang persentuhan orang-orang Indonesia dengan manusia-manusia Los Angeles.
[1] Coba simak “Otoritas Bahasa: Perlukah?” dalam Saling Silang Indonesia-Eropa, dari Diktator, Musik, hingga Bahasa (Marjin Kiri, 2012) karya Joss Wibisono.
[2] Otoritas bahasa itu, dalam pandangan Joss Wibisono, mewujud dalam lembaga Pusat Bahasa yang sekarang disebut sebagai Badan Bahasa.
[3] Sila simak Bahasa Indonesia Bahasa Kita, Akan Diganti dengan Bahasa Inggris? (2010) karya Ajip Rosidi.
[4] Sebagian dari kita kian sering menggunakan bahasa Inggris pidgin. Bahasa Inggris digunakan sebagai dasar dan lafalnya disesuaikan dengan lidah Indonesia. Dalam sosiolinguisti.blogspot, kita bisa membaca: peri cip untuk mengatakan very cheap, paip (five), masas (massage), tosen (thousand).
[5] Sebaiknya Anda segera mencari buku Caleg, Selebritas, Kekerasan, & Korupsi, Menelusuri Tanda Dalam Dinamika Budaya (Komunitas Bambu, 2011) karya Benny H. Hoed
[6] Kemenangan politik itu jelas merupakan pencapaian terbesar para genius yang mampu memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa perstuan pada 28 Oktober 1928. Hanya, sebagaimana diungkapkan oleh Benny H. Hoed kita patut bertanya, “Apakah kita akan membiarkan bahasa Indonesia kembali menduduki tempatnya seperti pada 1928?” Atau justru membiarkan ia menjadi bahasa pemecah?
[7] Sila baca “Negeri Bebal Budaya” di dalam buku Kebudayaan Dalam Politik, Kritik pada Demokrasi (Bentang, 2015) karya Radhar Panca Dahana.
[8] Simak dalam Pemberdayaan Bahasa Indonesia Memperkukuh Budaya Bangsa Dalam Era Globalisasi, Risalah Kongres Bahasa Indonesia VIII (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2011)
[9] Baca Aksara Amananunna (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014).
[10] Sila simak lagi Saling Silang Indonesia-Eropa, dari Diktator, Musik, hingga Bahasa (Marjin Kiri, 2012) karya Joss Wibisono.
[11] Glokalisasi sebagaimana diungkapkan oleh Franqois Chaubet dalam Globalisasi Budaya (Jalasutra, 2015) adalah ungkapan untuk menunjukkan sebuah situasi ketika yang global dan yang lokal terus-menerus hidup berdampingan, sulit namun konstruktif. sebagaimana diinterpretasi oleh Roland Roberton dalam, mencoba memadukan yang global dan yang lokal
12 Sila baca Ini dan Itu Indonesia, Pandangang Seorang Jerman, Komodo Books, 2015.
13 Mahasiswa lain dari Jerman juga menyatakan, “Bahasa ini gampang dipelajari, dan ini potensial menjadi bahasa dunia. Sayang, kegampangan ini agak semu….memahami teks Indonesia agak sulit, justru karena kesederhanaan tata bahasa yang menyebabkan tingkat ambiguitasnya sangat tinggi. Kadang, teks hukum saja kurang jelas.”
[12] Lihat Sapardi Doko Damono, Sosiologi Sastra Pengantar Ringkas, Editum, 2009.
[13] Prosa 2, 2002
[14] Tafsir Goenawan Mohamad terhadap ungkapan Picasso “Where it is chaste, it is not art’’ dalam “Misalkan di Sini Sensor Tak Ada Lagi: Sebuah Pengantar”, Bertandang dalam Proses, Kalam, 1999
[15] “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan”, 2004.
[16] Roland Barthes, Image, Music, Text yang dikutip oleh Yasraf Amir Piliang dalam Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
[17] “Tulisan dan Ada: Pidato Nobel Sastra, 7 Desember 1991” dalam Writing and Being, 2004.
[18] Lihat makalah “Lokalitas dalam Karya Sastra”.
[19] Simak Irwan Abdullah dalam “Pendahuluan” yang termaktub dalam Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Cetakan II, 2007.
[20] Baca Goenawan Mohamad dalam “Eksotopi”, Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas, Grafiti, 2002.
[21] Perhatikan “Kain Baldwin” dalam “Eksotopi”, Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas, Grafiti, 2002.
[22] Dikutip dari Nirwan Dewanto, “Di Zaman Global, di Zaman Informasi: Perihal Menyelenggarakan Seni” dalam Senjakala Kebudayaan, Bentang, 1996.
[23] Perhatikan “Kain Baldwin” dalam “Eksotopi”, Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas, Grafiti, 2002.
[24] Simak Yasraf Amir Piliang dalam Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika.
[25] Perhatikan Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari, Mencari Tuhan-tuhan Digital, Grasindo, 2004.
[26] McWorld adalah istilah yang digunakan oleh Benjamin R. Barber untuk menyebut kekuatan-kekuatan modernisasi integratif serta globalisasi ekonomi dan kultural agresif.
[27] Silakan simak Benjamin R. Barber dalam Jihad Vs McWorld; Fundamentalisme, Anarkisme Barat, dan Benturan Peradaban, Pustaka Promethea, 2002.
[28] Lihat Catatan-catatan dari Buenos Aires, Cerpen-cerpen Amerika Kontemporer, Anton Kurnia (Penerjemah & Editor), Jalasutra, 2002.
[29] Nirwan Dewanto, “Mengolah Pinggiran; Jorge Luis Borges dan Khazanah Amerika Selatan” dalam Labirin Impian, LKiS, 1999.
[30] Melani Budianta, “Novel untuk Yang Maha Kecil: Ulasan karya Arundhati Roy, The God of Small Things” dalam The God of Small Things karya Arundhati Roy, Yayasan Obor Indonesia, 2002.
[31] Silakan simak gambaran ruwatan versi Yuda dalam Bilangan Fu, halaman 461. “Ruwat adalah konsep tradisional Jawa untuk mendamaikan sesuatu dengan tenaga-tenaga mala demi tercapai keselamatan. Secara periodik, desa yang telah terlalu banyak desa yang terlalu banyak didatangi energi-energi jahat harus diruwat. Sering kali ruwatan itu dilakukan setelah tanda-tanda malapetaka itu semakin nyata. Ruwatan dilakukan dengan upacara selamatan. Desa dibersihkan. Ada sesaji yang dipersembahkan. Doa dipanjatkan. Tanggap wayang dihajatkan. Demikianlah cara-cara tradisional.”
[32] Bilangan Fu, halaman 461
[33] Kejawan Baru? Mengapa tidak Kejawen Baru? Parang Jati memang tidak ingin “ajaran”-nya dianggap sebagai semata-mata mistis dan jatuh ke dalam kebatinan sebagaimana tampak dalam Kejawen. Sebagaimana diungkapkan Yuda, Parang Jati sedang mencoba merevitalisasi agama nenek-moyang. Dengan memasukkan unsur kritis ke dalamnya. Kata Jati, “Unsur kritis ini bisa disuntikkan ke dalam agama apapun sebenarnya. Tapi, karena agama bumi kini sedang direndahkan dan dipinggirkan, saya memilih berada bersama yang direndahkan dan dipinggirkan.” (Bilangan Fu, 2008: 463)
[34] Bilangan Fu, halaman 463.
[35] Lihat “Jalan Panjang ke Pengosongan Kekerasan” (Triyanto Triwikromo, Suara Merdeka, 18/5/2008)
[36] Posmodernisme, menurut Madan Sarup dalam Posstrukturalisme dan Posmodernisme, Sebuah Pengantar Kritis, adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni. Terdapat pengertian bila orang melihat modernisme sebagai kebudayaan modernitas, maka posmodernisme akan dipandang sebagai kebudayaan posmodernitas. Istilah posmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960 dan diambil alih oleh para teoritikus Eropa pada 1970-an. Salah satunya, Jean-Franqois Lyotard, dalam bukunya yang terkenal berjudul The Postmodern Condition, menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (“narasi besar’), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia. Teori postmodern menjadi identik dengan kritik terhadap pengetahuan universal dan fondasionalisme. Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran yang menotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah pelbagai macam penalaran. (2003: 231-232). Dalam Jejak Posmodernisme; Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia, Radhar Panca Dahana membeberkan, “ Dalam salah satu karya yang paling ternama tentang subjek ini, La condition posmoderne, Lyotard berpendapat bahwa kondisi postmoderne, sudah mulai sejak 1950-an, ketika “ilmu pengetahuan berubah statusnya bersamaan dengan masyarakat bergerak memasuki zaman yang disebut postindustrial dan kebudayaan masuk ke dalam zaman yang disebut posmodern.” (2004:23-24).
Posmodernisme, dalam pandangan Faruk H.T dalam Beyond Imagination; Sastra Mutakhir dan Ideologi, mencoba keluar dari pemikiran yang dikotomis, biner, yang dibangun oleh modernitas…Selain itu, ia juga mencoba keluar dari kecenderungan untuk menempatkan tradisi sekadar sebagai objek, sebagai alat dari modernitas. (Gama Media, 2001: 24). Akan tetapi dalam Bilangan Fu, terutama dalam artikel Parang Jati, “3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern”, “Era postmodern yang dimaksud adalah era di mana peradaban sudah mengalami , atau sekadar mencicipi dalam bentuk compressed (dipadatkan), perkembangan kesadaran. Dari kesadaran mitologis, keagamaan, abad pertengahan yang dikuasai takhayul, renaissance, aufklarung atau fajar akal budi, rasionalisme, dan modernisme.”
Parang Jati juga menyatakan, “Indonesia memang tidak mengalami langsung pergulatan pencerahan yang terjadi di Eropa. Tapi, hasilnya terkirim juga ke Indonesia melalui sisi-sisi positif kolonialisme. Ialah: pendidikan modern, ide tentang demokrasi, humanisme, hak asasi, nasionalisme, bahkan kemerdekaan…” (2008: 474).
[37] Bilangan Fu halaman 474-475
[38] Bilangan Fu, halaman 475
[39] Untuk rincian yang lebih komplet silakan baca “3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern” (Bilangan Fu, halaman 476-477.
[40] Bilangam Fu, halaman 477
[41] Bilangan Fu, halaman 479
[42] Elizabeth D. Inandiak dalam “Berkat Sekuntum Bunga” dalam Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Galangpress, Cetakan II, 2005.
[43] Elizabeth D. Inandiak dalam “Centhini, Siapa Kamu?” dalam Minggatnya Cebolang, Galangpress, April 2005.
[44] Sutardji Calzoum Bachri, “Berdepandepan dengan Ka’bah” dalam Atau Ngit Cari Agar, Yayasan Panggung Melayu, 2008.