Cerpen

Laut Memeluk Luka

Cerpen Puspa Seruni

 

P

erempuan berkulit kelabu itu terlihat dua puluh tahun lebih tua dari usianya. Selama dua tahun terakhir, perempuan yang disangka gila itu sudah menjalani berbagai macam pengobatan: disembur air doa oleh lelaki berikat kepala hitam, dioles ramuan-ramuan di dahi dan dada, dipakaikan jimat yang dilingkarkan di leher dan lengan, hingga diantar ke sebuah makam tua yang dianggap dapat menyembuhkannya.

Bobot tubuh perempuan itu makin lama menyusut, makin ringkih, makin bertonjolan tulang-tulangnya. Tatapannya kosong, tubuhnya kaku, lidahnya kelu. Hanya satu kalimat yang berkali-ulang dia ucapkan, “Mengapa laut memeluk anakku?”

Sumiati tinggal di rumah dengan dinding sudah lama tidak dilabur kapur dan langit-langit bolong di beberapa bagian dan lantai kotor dan jendela-jendela kaca berdebu. Dia menempati sebuah kamar yang dulu ditempati Lutfi, anaknya yang sudah dua tahun lalu dikabarkan meninggal. Kamar dengan jendela selalu terbuka setiap pagi dan akan ditutup kembali menjelang petang itu berisi beberapa perabotan dari kayu murah: sebuah dipan, lemari, kursi, dan meja untuk meletakkan obat-obatan atau makanan.

Perempuan itu tidak pernah beranjak. Sepanjang siang dia hanya duduk di kursi kayu yang berderit saat diduduki sambil menghadap ke luar jendela.

“Kenapa mereka membuang anakku ke laut?”

Sumiati kembali mengulang pertanyaan saat aku mengusap badannya, membersihkan wajahnya, hingga mengganti pakaiannya. Aku biasa datang sore hari, bergantian dengan Ningsih, sepupunya. Usia Sumiati baru 34 tahun, tetapi di bagian matanya terlihat gurat-gurat halus seperti akar serabut, dahi selalu berkerut, mulut yang selalu mengerucut, dan tidak henti bergerak-gerak menggumamkan sesuatu. Sejak dia berhenti hidup normal, hanya matanya yang berkedip dan masih bernapas, Sumiati seperti seonggok mayat hidup. Makanan yang kami bawa sangat jarang dia sentuh. Kami harus menyuapi agar Sumiati tak mati kelaparan.

“Kamu tahu kan aku tidak gila?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil terus menyisir rambutnya. Saat bersamaku, Sumiati biasanya lebih banyak bicara. Meski yang dia bicarakan selalu bertema sama dari hari ke hari; tentang laut yang menelan anaknya.

“Kamu tahu, mereka menghubungiku lewat telepon?” Sumiati tertawa. “Lalu mereka bilang, ‘Bu, Bu, anaknya dibuang ke laut saja ya?’,” lanjutnya. Tangannya sibuk menggaruk-garuk kepala.

“Mandi yuk. Keramas,” kataku membujuk.

Sumiati menggeleng. Dia menatapku dengan mata polos.

“Gatal kan?” tanyaku saat melihatnya menggaruk-garuk kepala lagi.

“Kenapa…, kenapa anakku dibuang ke laut? Kenapa jadi seperti sampah?” Sumiati kembali tertawa.

Aku sangat ingin menyangkal dia gila, tetapi sikapnya sering kali menunjukkan kesadarannya memang sudah hilang. Dia kerap bertanya-tanya kepadaku mengapa anaknya diperlakukan seperti buntalan sampah yang dibuang begitu saja ke laut.

Nggak dibuang ke laut. Masih di Selat Malaka. Nanti juga datang,” ucapku sambil terus merapikan rambut panjangnya.

“Terlalu lama. Suruh cepat bawa pulang. Aku mau meluk anakku.” Sumiati berbalik, lalu memegang kedua tanganku.

“Iya, pasti pulang.” Aku mengangguk.

“Jangan dibuang, aku mau meluk anakku,” ucapnya lagi.

Kalau sudah begitu, suaranya akan terdengar kekanak-kanakan. Dia merengek seperti Zahid, anakku yang berusia lima tahun.

“Iya, nggak dibuang. Masih berlayar.”

Setelah badannya kubersihkan, rambutnya kusisir, pakaiannya kuganti dan wajahnya kubedaki, aku memapah Sumiati kembali ke kasur, lalu menutup jendela kamar. Biasanya sepanjang malam dia akan duduk sambil bersandar ke kepala dipan, lalu tertidur tiga atau empat jam kemudian. Aku sudah hafal kebiasaan Sumiati, sebagaimana aku hafal semua ceritanya tentang Lutfi, anak lelakinya yang berusia tujuh belas tahun.

“Mereka selalu menelepon, selalu bertanya ke mana Lutfi akan diantar pulang. Sudah kubilang ke kampung ini, sudah kusebut lengkap dengan nama desa dan kecamatan. Tapi mana? Lutfi tak pernah sampai.”

”Masih di tengah, sebentar lagi sampai.”

“Jawabanmu makin lama mirip jawaban mereka. Selalu saja bilang masih di tengah. Masih di pelabuhan ini, masih di pelabuhan itu. Mana,  mana buktinya?” Suara Sumiati menjadi serak.

“Rin, kamu kan terpelajar. Katanya kamu bisa bantu aku. Bawa pulang anakku ya!”

Sumiati mengucurkan air mata. Saat dia memohon seperti itu, aku tahu dia tidak gila. Mungkin dia hanya merasa kosong setelah dua orang lelaki yang dia sayangi sama-sama mati di tengah laut.

Sebelum menjadi seperti itu, Sumiati memiliki seorang anak lelaki yang baru saja lulus SMP. Dia perempuan yang tak banyak bicara dan jarang ke luar rumah, kecuali untuk ke warung atau mengambil cucian di tetangga yang menjadi langganan. Sumiati menjadi buruh cuci sejak suaminya yang bekerja di kapal penangkap ikan meninggal dan jasadnya diantar pulang ke kampung halaman. Perempuan itu bahkan tidak mendapat upah suaminya yang sudah tidak dibayar selama sembilan bulan. Saat aku bertanya, apakah tidak ada asuransi, Sumiati menggeleng. Dia bahkan tak tahu apa itu asuransi.

Dua tahun lalu, dia mendapat kabar serupa dari tengah laut. Anak lelakinya yang sejak usia 15 tahun juga bekerja sebagai anak buah kapal di kapal perikanan berbendera asing, dikabarkan meninggal dunia. Akan tetapi, setelah beberapa bulan sejak kabar itu sampai kepadanya, jasad anaknya tidak pernah tiba dalam pelukannya.

Aku mencari informasi melalui agensi yang merekrut Lutfi. Agensi tidak mau membahas denganku dan menyatakan aku bukan keluarga dekat. Mereka seolah menutupi sesuatu. Mereka hanya menunjukkan surat persetujuan untuk membuang jasad anak Sumiati ke laut yang Sumiati tandatangani. Agensi bahkan mengaku Sumiati sudah menerima ganti rugi dan merelakan jasad anaknya.

“Aku menandatangani kertas kosong, Rin. Mereka bilang kalau aku mau Lutfi cepat pulang, aku harus tanda tangan,” ucapnya saat aku menanyakan perihal surat itu.

Semua upaya kami menemui jalan buntu. Aku tidak punya kuasa mendesak agensi. Meski kasus Lutfi bukan yang pertama dan telah banyak pihak berusaha membantu: LSM, masyarakat, bahkan pemerintah, toh akhirnya semua menyerah. Aku dan Ningsih akhirnya bersepakat mengurus Sumiati saja, membuat perempuan itu tetap hidup meski dengan tatapan mata kosong.

Pada bulan ke-26, setelah kulit Sumiati terlihat makin keriput dan wajahnya tampak lebih tua dua puluh tahun, untuk kali pertama Sumiati tersenyum saat aku masuk ke dalam kamarnya membawakan teh panas dan semangkuk bubur. Matanya terlihat bersinar dengan lengkung bibir menggantung.

“Dia datang, Rin, dia datang,” ucapnya segera, tak menunggu aku meletakkan nampan di atas meja.

“Siapa?” tanyaku bingung.

“Lutfi.” Sumiati menyebut nama anak semata wayang yang sudah meninggal dua tahun silam. Aku mengerutkan kening menatapnya.

“Dia tidak meninggal. Sungguh. Dia hanya tidak mau lagi bekerja di kapal itu. Katanya, kapten kapal tidak memberi makan. Mereka harus mencuri-curi ikan untuk makan, padahal di kapal itu banyak sekali ikan. Aku lega, akhirnya anakku bebas dari kapal yang menyiksa itu.”

Suara Sumiati terdengar tanpa beban seolah lubang yang selama ini menggerogoti dadanya lenyap hanya dalam satu malam.

“Bagaimana bisa?” tanyaku masih tak mengerti.

Sumiati tidak menjawab. Dia justru turun dari ranjang dan duduk di kursi tanpa bantuanku. Entah apa yang dia alami, mungkin mimpi atau kesadarannya sudah sepenuhnya hilang sehingga berhalusinasi tentang anaknya, tetapi melihatnya mengambil bubur yang kubawa kemudian memakan dengan lahap membuat air mataku menetes jatuh. 

 

Puspa Seruni terpilih sebagai emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022. Berhubungan melalui akun Facebook Puspa Seruni, Instagram puspaseruni07, dan alamat posel puspaseruni11@gmail.com.

Leave a Reply